Mafia Bisnis Lobster
Senin, 30 November 2020 - 04:30 WIB
Mafia BBL jelas meraup keuntungan besar tanpa mesti membayar PNBP maupun pajak ekspor. Komprador mengejar rente ekonomi bisnis (economic rent seeker) BBL alias mendapatkan setoran (suap). Komprador ini bisa saja beroperasi semasa era perdagangan gelap BBL maupun semasa dilegalkan. Berapa rente ekonomi yang mereka peroleh? Tak ada yang mengetahuinya. Soalnya itu beragam dan canggih operasinya. Namun kesuksesan KPK mengungkap suap ekspor BBL ini patut diacungi jempol.
Dalih pemerintah melegalisasi ekspor BBL buat mencegah penyelundupan, mendongkrak devisa, dan menyejahterakan nelayan gugur dengan sendirinya. Kenyataannya berkebalikan seratus delapan puluh derajat. Kongkalikong mafia dan komprador dengan birokrasi jadi terang-benderang. Terminologi ekonomi politiknya disebut sebagai praktik birokrasi pemburu rente (bureaucratic rent-seeking) (Brand, 2003). Praktik ini jelas merugikan negara. Pasalnya PNBP-nya jauh panggang dari api. Bagaimana nasib nelayan? Mereka gigit jari karena nilai surplus ekonomi dari bisnis ekspor BBL ini justru dinikmati mafia dan komprador.
Kebijakan
Kasus ini telah mencoreng tata kelola sumber daya perikanan kita dan melukai nelayan. Di masa datang pemerintah mestinya melakukan beberapa hal. Pertama, melacak dan menindak tegas mafia maupun komprador yang berkonspirasi dengan birokrasi maupun politisi dalam bisnis ekspor BBL. Soalnya telah merugikan negara, melukai nelayan, dan mengancam kelestarian BBL. KPK jangan hanya berhenti pada Menteri KP dan pihak lain yang tertangkap, melainkan juga mengejar oknum di balik layar yang membekingi dan memuluskan kebijakan ini.
Kedua, pemerintah mesti mengevaluasi Permen-KP Nomor 12/2020 yang awalnya diklaim paling bagus karena mengakomodasi aktivitas budi daya domestik dan kelestarian sumber daya BBL. Nyatanya malah menyuburkan korupsi. Bandingkan dengan Permen-KP 56/2016, apakah ada petinggi KKP yang tertangkap korupsi semasa itu?
Ketiga, belajar dari kasus ekspor BBL, KPK mesti mengejar juga kebijakan kelautan dan perikanan lainnya, baik di pusat maupun daerah yang berpotensi menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Kasus suap BBL jadi pintu masuk untuk memonitor dan menilai kebijakan lain yang berpotensi memicu KKN. Umpamanya, rencana legalisasi kapal ikan asing, penetapan kuota di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), legalisasi alat tangkap yang merusak (cantrang dan trawl), dan membebaskan alih muatan di tengah laut (transshipment).
Kita berharap KPK bisa menyelamatkan dan menjaga keberlanjutan stok sumber daya ikan kita, khususnya BBL. Itu agar negara tak merugi dan nelayan mendapatkan manfaat surplus ekonomi secara adil dan berkelanjutan.
Makanya, memberantas suap, mafia BBL, dan semua jenis kejahatan perikanan tanpa pandang bulu menjadi keniscayaan. Itu harus agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan digunakan buat sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat dan dimanfaatkan secara adil dan merata. Semoga!
Lihat Juga: Begini Situasi Terkini Rumah Susi Pudjiastuti di Jakarta Timur Usai Pilot Susi Air Dibebaskan
Dalih pemerintah melegalisasi ekspor BBL buat mencegah penyelundupan, mendongkrak devisa, dan menyejahterakan nelayan gugur dengan sendirinya. Kenyataannya berkebalikan seratus delapan puluh derajat. Kongkalikong mafia dan komprador dengan birokrasi jadi terang-benderang. Terminologi ekonomi politiknya disebut sebagai praktik birokrasi pemburu rente (bureaucratic rent-seeking) (Brand, 2003). Praktik ini jelas merugikan negara. Pasalnya PNBP-nya jauh panggang dari api. Bagaimana nasib nelayan? Mereka gigit jari karena nilai surplus ekonomi dari bisnis ekspor BBL ini justru dinikmati mafia dan komprador.
Kebijakan
Kasus ini telah mencoreng tata kelola sumber daya perikanan kita dan melukai nelayan. Di masa datang pemerintah mestinya melakukan beberapa hal. Pertama, melacak dan menindak tegas mafia maupun komprador yang berkonspirasi dengan birokrasi maupun politisi dalam bisnis ekspor BBL. Soalnya telah merugikan negara, melukai nelayan, dan mengancam kelestarian BBL. KPK jangan hanya berhenti pada Menteri KP dan pihak lain yang tertangkap, melainkan juga mengejar oknum di balik layar yang membekingi dan memuluskan kebijakan ini.
Kedua, pemerintah mesti mengevaluasi Permen-KP Nomor 12/2020 yang awalnya diklaim paling bagus karena mengakomodasi aktivitas budi daya domestik dan kelestarian sumber daya BBL. Nyatanya malah menyuburkan korupsi. Bandingkan dengan Permen-KP 56/2016, apakah ada petinggi KKP yang tertangkap korupsi semasa itu?
Ketiga, belajar dari kasus ekspor BBL, KPK mesti mengejar juga kebijakan kelautan dan perikanan lainnya, baik di pusat maupun daerah yang berpotensi menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Kasus suap BBL jadi pintu masuk untuk memonitor dan menilai kebijakan lain yang berpotensi memicu KKN. Umpamanya, rencana legalisasi kapal ikan asing, penetapan kuota di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), legalisasi alat tangkap yang merusak (cantrang dan trawl), dan membebaskan alih muatan di tengah laut (transshipment).
Kita berharap KPK bisa menyelamatkan dan menjaga keberlanjutan stok sumber daya ikan kita, khususnya BBL. Itu agar negara tak merugi dan nelayan mendapatkan manfaat surplus ekonomi secara adil dan berkelanjutan.
Makanya, memberantas suap, mafia BBL, dan semua jenis kejahatan perikanan tanpa pandang bulu menjadi keniscayaan. Itu harus agar pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan digunakan buat sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat dan dimanfaatkan secara adil dan merata. Semoga!
Lihat Juga: Begini Situasi Terkini Rumah Susi Pudjiastuti di Jakarta Timur Usai Pilot Susi Air Dibebaskan
(bmm)
tulis komentar anda