Protokol Kesehatan Harga Mati, Kepala Daerah Bisa Dicopot Jika Melanggar
Jum'at, 20 November 2020 - 07:09 WIB
Di bagian lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Instruksi ini diterbitkan untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas Senin lalu agar kepala daerah konsisten menegakkan protokol kesehatan (lihat grafis). Melalui instruksi itu Tito menegaskan pemerintah pusat bisa memberhentikan kepala daerah jika terbukti melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengaku instruksi Mendagri perlu ditanggapi dengan bijak. Menurut dia, instruksi itu terbit atas berbagai pertimbangan yang sudah dilakukan Mendagri. Namun, kata dia, pemberian sanksi tidak bisa serta-merta dilakukan. Ada rambu-rambu lain yang mesti dijadikan dasar yang jadi pertimbangan dalam menghukum seseorang. “Kecuali rambu-rambu itu sudah dihilangkan, dihapus, diubah. Jadi saya kira kita menerjemahkan (instruksi) Menteri Dalam Negeri juga secara arif dan bijaksana,” ucap Nurdin. (Baca juga: Tips Agar Anak Betah di Rumah Selama Pandemi)
Dia melanjutkan, kalaupun ada seorang kepala daerah yang dianggap melanggar, harus diproses lebih dulu untuk memastikan jenis dan bentuk sanksi yang akan diberikan jika sudah terbukti bersalah. “Karena mereka juga punya hak untuk membela. Makanya dalam pengambilan keputusan menghukum orang, kita harus melihat dulu dari awal proses, terus lihat aturan yang kira-kira yang bisa kita berikan," sambung dia.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera sependapat bahwa protokol kesehatan (prokes) Covid-19 harus dijalankan secara konsisten oleh semua pihak. "Penerapan prokes wajib ditegakkan. Karena pandemi corona (Covid-19), tidak bisa dilakukan dengan disiplin setengah-setengah," kata Mardani.
Namun dia mengingatkan bahwa jangan ada pendekatan hukum yang tidak adil. Kasus pemanggilan Gubernur DKI Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya harus diterapkan juga ke kepala daerah lain yang dinilai melalukan pelanggaran serupa. "Jangan ada pendekatan penegakan hukum yang tidak adil. Kisah pemanggilan Gubernur DKI mesti diikuti jika ada kepala daerah lain yang juga melanggar," tegas legislator asal DKI Jakarta itu.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari angkat bicara soal diterbitkannya instruksi Mendagri yang menyebut bahwa pemerintah bisa memberhentikan kepala daerah jika terbukti melanggar protokol kesehatan. “Secara prinsip instruksi ini tidak diperlukam karena telah diatur dalam UU Pemda soal pemberhentian," kata Feri. (Baca juga: Puluhan Anggota TNI Datangi Markas FPI, Ini Penjelasan Pangdam Jaya)
Feri khawatir instruksi tersebut justru diterbitkan hanya karena ada kaitan dengan situasi kekinian. Dalam hal ini dia menyinggung kasus yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
Dia menjelaskan bahwa siapa pun kepala daerah yang melanggar undang-undang (UU) dapat dimakzulkan (dilakukan impeachment). Kendati demikian, proses pemberhentian juga tidak mudah. Urusan pemakzulan, lanjut Feri, bukanlah kewenangan Mendagri atau pemerintah pada ujungnya, melainkan Mahkamah Agung (MA). "MA adalah ujung akhir proses pemberhentian," ujar dia.
Feri mengatakan, instruksi Mendagri mengacu pada sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pengendalian penyebaran corona. Salah satunya UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut dia, sulit juga bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan maupun kepala daerah lain untuk diberhentikan jika berbasis pada UU Kekarantiaan Kesehatan tersebut. “Apalagi jika mencermati Pasal 93 UU Nomor 6/2018," ungkapnya. (Baca juga: Ternyata, UU Ciptaker Lahirkan Seabrek Aturan Baru)
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengaku instruksi Mendagri perlu ditanggapi dengan bijak. Menurut dia, instruksi itu terbit atas berbagai pertimbangan yang sudah dilakukan Mendagri. Namun, kata dia, pemberian sanksi tidak bisa serta-merta dilakukan. Ada rambu-rambu lain yang mesti dijadikan dasar yang jadi pertimbangan dalam menghukum seseorang. “Kecuali rambu-rambu itu sudah dihilangkan, dihapus, diubah. Jadi saya kira kita menerjemahkan (instruksi) Menteri Dalam Negeri juga secara arif dan bijaksana,” ucap Nurdin. (Baca juga: Tips Agar Anak Betah di Rumah Selama Pandemi)
Dia melanjutkan, kalaupun ada seorang kepala daerah yang dianggap melanggar, harus diproses lebih dulu untuk memastikan jenis dan bentuk sanksi yang akan diberikan jika sudah terbukti bersalah. “Karena mereka juga punya hak untuk membela. Makanya dalam pengambilan keputusan menghukum orang, kita harus melihat dulu dari awal proses, terus lihat aturan yang kira-kira yang bisa kita berikan," sambung dia.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera sependapat bahwa protokol kesehatan (prokes) Covid-19 harus dijalankan secara konsisten oleh semua pihak. "Penerapan prokes wajib ditegakkan. Karena pandemi corona (Covid-19), tidak bisa dilakukan dengan disiplin setengah-setengah," kata Mardani.
Namun dia mengingatkan bahwa jangan ada pendekatan hukum yang tidak adil. Kasus pemanggilan Gubernur DKI Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya harus diterapkan juga ke kepala daerah lain yang dinilai melalukan pelanggaran serupa. "Jangan ada pendekatan penegakan hukum yang tidak adil. Kisah pemanggilan Gubernur DKI mesti diikuti jika ada kepala daerah lain yang juga melanggar," tegas legislator asal DKI Jakarta itu.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari angkat bicara soal diterbitkannya instruksi Mendagri yang menyebut bahwa pemerintah bisa memberhentikan kepala daerah jika terbukti melanggar protokol kesehatan. “Secara prinsip instruksi ini tidak diperlukam karena telah diatur dalam UU Pemda soal pemberhentian," kata Feri. (Baca juga: Puluhan Anggota TNI Datangi Markas FPI, Ini Penjelasan Pangdam Jaya)
Feri khawatir instruksi tersebut justru diterbitkan hanya karena ada kaitan dengan situasi kekinian. Dalam hal ini dia menyinggung kasus yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
Dia menjelaskan bahwa siapa pun kepala daerah yang melanggar undang-undang (UU) dapat dimakzulkan (dilakukan impeachment). Kendati demikian, proses pemberhentian juga tidak mudah. Urusan pemakzulan, lanjut Feri, bukanlah kewenangan Mendagri atau pemerintah pada ujungnya, melainkan Mahkamah Agung (MA). "MA adalah ujung akhir proses pemberhentian," ujar dia.
Feri mengatakan, instruksi Mendagri mengacu pada sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pengendalian penyebaran corona. Salah satunya UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut dia, sulit juga bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan maupun kepala daerah lain untuk diberhentikan jika berbasis pada UU Kekarantiaan Kesehatan tersebut. “Apalagi jika mencermati Pasal 93 UU Nomor 6/2018," ungkapnya. (Baca juga: Ternyata, UU Ciptaker Lahirkan Seabrek Aturan Baru)
tulis komentar anda