Rekonsiliasi Nasional Hanya untuk Rangkul Kubu Habib Rizieq Dinilai Keliru
Kamis, 12 November 2020 - 10:42 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menyatakan, rekonsiliasi nasional merupakan kebutuhan bangsa agar tidak terjebak ke dalam kubangan konflik yang berkepanjangan.
Tetapi yang terjadi, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. (Baca juga: Massa Penjemput Habib Rizieq Dipersoalkan, Ustaz Haikal: Cinta Itu Resonansi)
Hal itu dikatakan Karyono menganggapi wacana rekonsiliasi nasional yang disuarakan sejumlah pihak merespons kepulangan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) yang kembali ke tanah air.
"Rekonsiliasi itu harus memiliki urgensi, tujuan dan kerangka atau konsep rekonsiliasi," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Kamis (12/11/2020).
Karyono menuturkan, dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan, mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu. Namun demikian tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi. Pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.
(Baca juga: Bawaslu Usul Sirekap Tak Digunakan di Pilkada 2020)
Masalahnya, kata dia, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu.
"Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elite. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elite. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," ujarnya.
Menurut Karyono, wacana rekonsiliasi salah kaprah juga pernah didengungkan saat Pilpres 2019 yang berujung rusuh. Kondisi itu, seketika membuat pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang berkenan merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut.
Tetapi yang terjadi, wacana rekonsiliasi mengalami bias makna dan salah kaprah. (Baca juga: Massa Penjemput Habib Rizieq Dipersoalkan, Ustaz Haikal: Cinta Itu Resonansi)
Hal itu dikatakan Karyono menganggapi wacana rekonsiliasi nasional yang disuarakan sejumlah pihak merespons kepulangan Imam Besar FPI, Habib Rizieq Shihab (HRS) yang kembali ke tanah air.
"Rekonsiliasi itu harus memiliki urgensi, tujuan dan kerangka atau konsep rekonsiliasi," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Kamis (12/11/2020).
Karyono menuturkan, dari aspek urgensi, rekonsiliasi memang diperlukan, mengingat sepanjang perjalanan bangsa ini masih terbebani konflik masa lalu. Namun demikian tidak mudah untuk mewujudkan rekonsiliasi. Pasalnya, rekonsiliasi memerlukan komitmen kuat untuk menghapus dendam demi mengakhiri konflik.
(Baca juga: Bawaslu Usul Sirekap Tak Digunakan di Pilkada 2020)
Masalahnya, kata dia, konflik masa lalu justru dikelola untuk tujuan tertentu yang malah memperpanjang dan memeruncing konflik. Konflik lama justru kerap direproduksi, diduplikasi dan dimodifikasi untuk tujuan tertentu.
"Ujungnya, yang terjadi bukan rekonsiliasi nasional yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, tapi yang terjadi adalah kompromi politik sebatas kepentingan elite. Rekonsiliasi akhirnya terdistorsi menjadi sebatas kompromi elite. Upaya rekonsiliasi seperti ini niscaya tidak akan menyelesaikan akar persoalan," ujarnya.
Menurut Karyono, wacana rekonsiliasi salah kaprah juga pernah didengungkan saat Pilpres 2019 yang berujung rusuh. Kondisi itu, seketika membuat pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pemenang berkenan merangkul Prabowo Subianto yang menjadi lawan politiknya selama dua kali Pilpres berturut-turut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda