Haris Azhar Sebut Ada Buzzer dalam Sengketa Tanah
Minggu, 08 November 2020 - 15:00 WIB
JAKARTA - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Advokasi Rakyat, Haris Azhar menemukan adanya fenomena penggunaan buzzer dalam persoalan sengketa tanah . Demi kemenangan, sampai bisa melakukan framing terhadap personifikasi seseorang.
“Membangun kesan bahwa pihak yang dibela mereka adalah korban, tertindas, dan miskin sedangkan lawannya adalah kebalikannya,” ujarnya dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (8/11/2020). (Baca juga: Kementerian ATR Pertanyakan Penuntut Tidak Masukkan Hasil Investigasi Kasus Tanah)
Itulah alasan Haris Azhar bersedia menjadi kuasa hukum Benny Tabalujan, yang belakangan ramai diberitakan sebagai tersangka pemalsuan dokumen tanah. “Dia dikerjain secara sistematis dan teorganisir oleh pihak di belakang lawannya. Menurut saya ini adalah rekayasa, jadi kan menarik, di mana lawannya dipersonifikasikan orang miskin yang punya tanah, tanahnya diambil. Tapi ini ada buzzer di belakang itu, buzzer itu kan bukan kelompok advokasi. Buzzer itu kan kalo ga ada duitnya tidak akan jalan dan ini kontradiktif, lawan digambarkan sebagai orang miskin tiba-tiba ada kelompok buzzer,” jelas pria yang juga sering membela petani dalam advokasi pertanahan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Anggota Komisi II DPR, Johan Budi SP juga mendapati informasi tentang adanya penggunaan buzzer dalam sengketa tanah yang digunakan para mafia tanah. “Mafia tanah ini begitu kuat. Bahkan saya dengar, mafia tanah seperti di pilpres kemarin, pakai buzzer-buzzer juga,” ujar Johan dalam sebuah Webinar bertajuk “Bisakah Reformasi Agragria Berantas Mafia Tanah”, Jumat (6/11/2020).
Kasus Benny Tabalujan, menurut Haris, banyak menimbulkan tanda tanya. Keluarga Benny Tabalujan sudah memiliki SHM tanah seluas 7,7 hektar di daerah Cakung, Jakarta Timur sejak 1975. Namun, malah jadi tersangka karena dianggap memalsukan keterangan dalam formulir penurunan hak dari SHM ke HGB untuk keperluan imbreng ke perusahaan. Dan, oleh BPN kepemilikan tanahnya malah dialihkan ke Abdul Halim, pihak lawannya. (Baca juga: Kementerian ATR/BPN Gandeng KPK untuk Atasi Mafia Tanah)
“Dalam proses PTUN, tanpa menunggu hasil kasasi, BPN sudah keluarkan SK Pembatalan SHGB dan selanjutnya SHM Abdul Halim diterbitkan cuma dalam waktu 1 hari, padahal seharusnya ada prosedur pengumuman ke publik dulu sebelum penerbitan. Yang gilanya lagi, girik yang diklaim Abdul Halim itu luas 5,5 Hektar, kok kemudian diterbitkan SHM atas nama Abdul Halim seluas 7,7 Hektar,” tandas Haris. Belakangan, kasasi dimenangkan oleh pihak Benny Tabalujan.
“Membangun kesan bahwa pihak yang dibela mereka adalah korban, tertindas, dan miskin sedangkan lawannya adalah kebalikannya,” ujarnya dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (8/11/2020). (Baca juga: Kementerian ATR Pertanyakan Penuntut Tidak Masukkan Hasil Investigasi Kasus Tanah)
Itulah alasan Haris Azhar bersedia menjadi kuasa hukum Benny Tabalujan, yang belakangan ramai diberitakan sebagai tersangka pemalsuan dokumen tanah. “Dia dikerjain secara sistematis dan teorganisir oleh pihak di belakang lawannya. Menurut saya ini adalah rekayasa, jadi kan menarik, di mana lawannya dipersonifikasikan orang miskin yang punya tanah, tanahnya diambil. Tapi ini ada buzzer di belakang itu, buzzer itu kan bukan kelompok advokasi. Buzzer itu kan kalo ga ada duitnya tidak akan jalan dan ini kontradiktif, lawan digambarkan sebagai orang miskin tiba-tiba ada kelompok buzzer,” jelas pria yang juga sering membela petani dalam advokasi pertanahan tersebut.
Di kesempatan terpisah, Anggota Komisi II DPR, Johan Budi SP juga mendapati informasi tentang adanya penggunaan buzzer dalam sengketa tanah yang digunakan para mafia tanah. “Mafia tanah ini begitu kuat. Bahkan saya dengar, mafia tanah seperti di pilpres kemarin, pakai buzzer-buzzer juga,” ujar Johan dalam sebuah Webinar bertajuk “Bisakah Reformasi Agragria Berantas Mafia Tanah”, Jumat (6/11/2020).
Kasus Benny Tabalujan, menurut Haris, banyak menimbulkan tanda tanya. Keluarga Benny Tabalujan sudah memiliki SHM tanah seluas 7,7 hektar di daerah Cakung, Jakarta Timur sejak 1975. Namun, malah jadi tersangka karena dianggap memalsukan keterangan dalam formulir penurunan hak dari SHM ke HGB untuk keperluan imbreng ke perusahaan. Dan, oleh BPN kepemilikan tanahnya malah dialihkan ke Abdul Halim, pihak lawannya. (Baca juga: Kementerian ATR/BPN Gandeng KPK untuk Atasi Mafia Tanah)
“Dalam proses PTUN, tanpa menunggu hasil kasasi, BPN sudah keluarkan SK Pembatalan SHGB dan selanjutnya SHM Abdul Halim diterbitkan cuma dalam waktu 1 hari, padahal seharusnya ada prosedur pengumuman ke publik dulu sebelum penerbitan. Yang gilanya lagi, girik yang diklaim Abdul Halim itu luas 5,5 Hektar, kok kemudian diterbitkan SHM atas nama Abdul Halim seluas 7,7 Hektar,” tandas Haris. Belakangan, kasasi dimenangkan oleh pihak Benny Tabalujan.
(kri)
tulis komentar anda