Resesi Ekonomi Datang, Rupiah Malah Berotot
Jum'at, 06 November 2020 - 05:13 WIB
RESESI ekonomi akhirnya mampir juga ke Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi 3,49% pada triwulan ketiga tahun ini bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian Indonesia mencatat kontraksi pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut, yakni kuartal kedua tercatat minus 5,32% dan triwulan ketiga di level 3,49%. Ini dengan sendirinya membuat Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi. Sebenarnya sebelum angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga dipublikasi BPS, suasana resesi ekonomi sudah terjadi yang ditandai aktivitas dunia usaha melemah dan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin tinggi yang disertai daya beli masyarakat kian lemah.
Sejauh mana reaksi pemerintah? Meski pertumbuhan ekonomi masih mencatatkan kontraksi, pemerintah sedikit bernapas lega karena kontraksi pada kuartal ketiga angkanya lebih kecil daripada kuartal kedua. Artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai mengalami pemulihan. Selain itu kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga yang lebih kecil daripada triwulan kedua memberi rasa optimistis pemerintah untuk menghindari pertumbuhan negatif pada kuartal keempat mendatang.
Memang, apabila membandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga sejumlah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik. Singapura misalnya kontraksi 7,0% dan Meksiko minus -8,58%. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS) sedikit lebih baik dari Indonesia, masing-masing minus 1,3% dan minus 2,9%. Sebaliknya ekonomi China bertumbuh positif 4,9%, Taiwan 3,3%, dan Vietnam 2,62% pada triwulan ketiga tahun ini. Padahal China adalah sumber munculnya virus korona. Tantangan pemerintah sekarang bagaimana mempertajam strategi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sehingga bisa memberi daya dobrak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Yang menarik dicermati adalah perkembangan pasar saham dan pasar keuangan pada hari pertama Indonesia masuk jurang resesi ekonomi. Para investor pasar saham dan pasar keuangan sepertinya tidak peduli. Faktanya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) malah menguat. Pada penutupan pasar spot nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam, mata uang Garuda menguat tajam. Sebagaimana dilansir Bloomberg, pada penutupan perdagangan rupiah berotot hingga 185 poin ke level Rp14.380/USD atau mengalami penguatan sekitar 1,27% bila dibandingkan dengan pada penutupan perdagangan sebelumnya yang bertengger di level Rp14.565/USD.
Sementara itu pada sesi terakhir penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (5/11), IHSG bertengger di level 5.260,32 atau naik 155,12 poin (3,04%) bila dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya pada level 5.105,19. Tercatat sebanyak 320 saham berada di zona hijau, sebaliknya sebanyak 140 saham tenggelam di zona merah, dan sebanyak 150 saham alami stagnan. Nilai transaksi saham mencapai Rp9,9 triliun dengan volume sebanyak 14,6 miliar saham. Penguatan IHSG sudah mulai terbaca pada penutupan perdagangan sesi pertama.
Dengan melihat kecenderungan pertumbuhan ekonomi mulai berbalik arah, ini adalah momentum bagi pemerintah untuk meraih angka pertumbuhan pada kuartal keempat tidak tertekan lagi alias positif. Namun itu butuh perjuangan lebih keras lagi. Pasalnya perbaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga tidak maksimal, padahal sektor tersebut kunci utama dalam menggerakkan perekonomian nasional. Selain itu Covid-19 masih terus menghantui dengan angka positif masyarakat yang tertular tetap tinggi. Lalu bantuan sosial (bansos) yang menjadi andalan pemulihan daya beli masyarakat dinilai sejumlah ekonom tidak begitu berpengaruh mengingat nilai bansos sangat kecil per keluarga. Kondisi dan situasi perekonomian global pun masih fluktuatif dengan kecenderungan terus melemah.
Lalu bagaimana kehidupan masyarakat dalam masa resesi ekonomi ini? Sejumlah dampak akan terasa, terutama pada kelas menengah dan bawah yang mengalami penurunan pendapatan, yang ujungnya mendongkrak angka kemiskinan. Aktivitas bisnis melambat berdampak pada PHK yang menambah angka pengangguran. Daya beli masyarakat bakal lebih lesu dari sebelumnya. Meski demikian masyarakat jangan panik agar mereka dapat bekerja maksimal keluar dari jurang resesi ekonomi ini. Kita percaya, pemerintah sudah memiliki sejumlah instrumen untuk memutar roda ekonomi, mulai dari memaksimalkan penyerapan anggaran belanja negara hingga akhir tahun ini dan program PEN yang dianggarkan sebesar Rp 695 triliun bisa digelontorkan secara maksimal untuk menyuntik daya beli masyarakat yang loyo. (*)
Sejauh mana reaksi pemerintah? Meski pertumbuhan ekonomi masih mencatatkan kontraksi, pemerintah sedikit bernapas lega karena kontraksi pada kuartal ketiga angkanya lebih kecil daripada kuartal kedua. Artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai mengalami pemulihan. Selain itu kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga yang lebih kecil daripada triwulan kedua memberi rasa optimistis pemerintah untuk menghindari pertumbuhan negatif pada kuartal keempat mendatang.
Memang, apabila membandingkan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga sejumlah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik. Singapura misalnya kontraksi 7,0% dan Meksiko minus -8,58%. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan Amerika Serikat (AS) sedikit lebih baik dari Indonesia, masing-masing minus 1,3% dan minus 2,9%. Sebaliknya ekonomi China bertumbuh positif 4,9%, Taiwan 3,3%, dan Vietnam 2,62% pada triwulan ketiga tahun ini. Padahal China adalah sumber munculnya virus korona. Tantangan pemerintah sekarang bagaimana mempertajam strategi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sehingga bisa memberi daya dobrak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Yang menarik dicermati adalah perkembangan pasar saham dan pasar keuangan pada hari pertama Indonesia masuk jurang resesi ekonomi. Para investor pasar saham dan pasar keuangan sepertinya tidak peduli. Faktanya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) malah menguat. Pada penutupan pasar spot nilai tukar rupiah terhadap mata uang Negeri Paman Sam, mata uang Garuda menguat tajam. Sebagaimana dilansir Bloomberg, pada penutupan perdagangan rupiah berotot hingga 185 poin ke level Rp14.380/USD atau mengalami penguatan sekitar 1,27% bila dibandingkan dengan pada penutupan perdagangan sebelumnya yang bertengger di level Rp14.565/USD.
Sementara itu pada sesi terakhir penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (5/11), IHSG bertengger di level 5.260,32 atau naik 155,12 poin (3,04%) bila dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya pada level 5.105,19. Tercatat sebanyak 320 saham berada di zona hijau, sebaliknya sebanyak 140 saham tenggelam di zona merah, dan sebanyak 150 saham alami stagnan. Nilai transaksi saham mencapai Rp9,9 triliun dengan volume sebanyak 14,6 miliar saham. Penguatan IHSG sudah mulai terbaca pada penutupan perdagangan sesi pertama.
Dengan melihat kecenderungan pertumbuhan ekonomi mulai berbalik arah, ini adalah momentum bagi pemerintah untuk meraih angka pertumbuhan pada kuartal keempat tidak tertekan lagi alias positif. Namun itu butuh perjuangan lebih keras lagi. Pasalnya perbaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga tidak maksimal, padahal sektor tersebut kunci utama dalam menggerakkan perekonomian nasional. Selain itu Covid-19 masih terus menghantui dengan angka positif masyarakat yang tertular tetap tinggi. Lalu bantuan sosial (bansos) yang menjadi andalan pemulihan daya beli masyarakat dinilai sejumlah ekonom tidak begitu berpengaruh mengingat nilai bansos sangat kecil per keluarga. Kondisi dan situasi perekonomian global pun masih fluktuatif dengan kecenderungan terus melemah.
Lalu bagaimana kehidupan masyarakat dalam masa resesi ekonomi ini? Sejumlah dampak akan terasa, terutama pada kelas menengah dan bawah yang mengalami penurunan pendapatan, yang ujungnya mendongkrak angka kemiskinan. Aktivitas bisnis melambat berdampak pada PHK yang menambah angka pengangguran. Daya beli masyarakat bakal lebih lesu dari sebelumnya. Meski demikian masyarakat jangan panik agar mereka dapat bekerja maksimal keluar dari jurang resesi ekonomi ini. Kita percaya, pemerintah sudah memiliki sejumlah instrumen untuk memutar roda ekonomi, mulai dari memaksimalkan penyerapan anggaran belanja negara hingga akhir tahun ini dan program PEN yang dianggarkan sebesar Rp 695 triliun bisa digelontorkan secara maksimal untuk menyuntik daya beli masyarakat yang loyo. (*)
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda