Survei UNICEF-Nielsen: 70% Masyarakat di 6 Kota Ini Berpikir bahwa COVID-1 Menakutkan
Rabu, 04 November 2020 - 13:09 WIB
JAKARTA - Konsultan United Nations Children's Fund ( UNICEF ) Indonesia, Risang Rimbatmaja mengatakan bahwa dari survei penelitian UNICEF dan AC Nielsen mengungkapkan bahwa 70% masyarakat di enam kota besar yakni di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar masih berpikir bahwa COVID-19 menakutkan.
Risang mengatakan bahwa survei tersebut dilakukan di enam kota besar di Indonesia. “Secara sederhana, secara simpel kalau kita bicara metodologi survei ini dilakukan di enam kota ada di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar. Dan juga total sample sekitar 2.000 lebih orang. Di mana Jakarta itu Jabodetabek, dimana sampel sizenya sebetulnya 500-an,” ujarnya dalam dialog Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) bertema “Keterlibatan Masyarakat dalam Respon Pandemi COVID-19” secara virtual, Rabu (4/11/2020). (Baca juga: 28 Kasus Baru, Total 1.754 WNI Positif COVID-19)
Risa juga mengatakan bahwa ini adalah survei tatap muka pertama oleh Nielsen. “Jadi ini adalah survei mereka yang pertama untuk tatap muka. Survei ini dilakukan dimana rumah tangganya itu diambil random, mereka punya prosedur dimana yang setiap rumah tangga diambil laki-laki perempuan usia 15 tahun sampai 60 tahun. Dan, kemudian dari sisi status sosial ekonominya itu mencakup semua yang diambil secara random,” jelasnya.
Ketika berbicara tentang top of mind, atau apa sih yang dipikirkan ketika mendengar kata COVID-19 atau virus Corona? “Nah hasilnya adalah kalau kita lihat distribusinya kelihatan sekali kebanyakan warga itu mengaitkan COVID-19 itu dengan kata-kata seperti bahaya, menular, darurat, mematikan, wabah, pandemi, penyakit, trauma, korban, merah,” kata Risang.
“Nah ini total kata yang dikumpulkan jumlahnya kalau kita kelompokkan itu ada sekitar 70%. Jadi secara mudah kita lihat warga ini masih berpikiran bahwa COVID-19 ini sesuatu yang menakutkan, negatif, gelap,” sambung Risang.
Kemudian, sekitar 15% masyarakat menyebut bahwa COVID-19 adalah virus atau bakteri. Sementara kata-kata yang terkait dengan perilaku pencegahan, ungkap Risang hanya sekitar 8%. (Baca juga: Banyak Menteri Diduga Positif COVID-19, PAN Tekankan Pentingnya Tracing Pejabat)
“Itu kita lihat jumlahnya sekitar 8%, muncul kata-kata seperti Hand sanitizer, kebersihan, jarak, karantina, masker, APD, imunitas, PSBB, WFH, rapid, berdoa, bansos, dan sebagainya,” papar Risang.
Risang mengatakan bahwa survei tersebut dilakukan di enam kota besar di Indonesia. “Secara sederhana, secara simpel kalau kita bicara metodologi survei ini dilakukan di enam kota ada di Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar. Dan juga total sample sekitar 2.000 lebih orang. Di mana Jakarta itu Jabodetabek, dimana sampel sizenya sebetulnya 500-an,” ujarnya dalam dialog Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) bertema “Keterlibatan Masyarakat dalam Respon Pandemi COVID-19” secara virtual, Rabu (4/11/2020). (Baca juga: 28 Kasus Baru, Total 1.754 WNI Positif COVID-19)
Risa juga mengatakan bahwa ini adalah survei tatap muka pertama oleh Nielsen. “Jadi ini adalah survei mereka yang pertama untuk tatap muka. Survei ini dilakukan dimana rumah tangganya itu diambil random, mereka punya prosedur dimana yang setiap rumah tangga diambil laki-laki perempuan usia 15 tahun sampai 60 tahun. Dan, kemudian dari sisi status sosial ekonominya itu mencakup semua yang diambil secara random,” jelasnya.
Ketika berbicara tentang top of mind, atau apa sih yang dipikirkan ketika mendengar kata COVID-19 atau virus Corona? “Nah hasilnya adalah kalau kita lihat distribusinya kelihatan sekali kebanyakan warga itu mengaitkan COVID-19 itu dengan kata-kata seperti bahaya, menular, darurat, mematikan, wabah, pandemi, penyakit, trauma, korban, merah,” kata Risang.
“Nah ini total kata yang dikumpulkan jumlahnya kalau kita kelompokkan itu ada sekitar 70%. Jadi secara mudah kita lihat warga ini masih berpikiran bahwa COVID-19 ini sesuatu yang menakutkan, negatif, gelap,” sambung Risang.
Kemudian, sekitar 15% masyarakat menyebut bahwa COVID-19 adalah virus atau bakteri. Sementara kata-kata yang terkait dengan perilaku pencegahan, ungkap Risang hanya sekitar 8%. (Baca juga: Banyak Menteri Diduga Positif COVID-19, PAN Tekankan Pentingnya Tracing Pejabat)
“Itu kita lihat jumlahnya sekitar 8%, muncul kata-kata seperti Hand sanitizer, kebersihan, jarak, karantina, masker, APD, imunitas, PSBB, WFH, rapid, berdoa, bansos, dan sebagainya,” papar Risang.
(kri)
tulis komentar anda