PLN Gelar Konversi Kompor, Untungnya Apa?
Rabu, 04 November 2020 - 06:14 WIB
ATAS nama kemandirian dan ketahanan energi nasional, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak ingin ketinggalan untuk berpartisipasi. Itu diwujudkan melalui gerakan konversi sejuta kompor elpiji ke kompor induksi. Program yang telah diluncurkan secara simbolis oleh Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini bulan lalu itu juga diyakini bakal memangkas anggaran subsidi elpiji. Pihak PLN menargetkan penurunan anggaran subsidi elpiji Rp4,8 triliun dalam lima tahun ke depan. Pasalnya, program konversi tersebut mengubah penggunaan energi berbasis impor menjadi energi berbasis lokal.
Sekadar informasi, saat ini kebutuhan elpiji dalam negeri sebanyak 75% dipasok dari impor. Tahun lalu impor elpiji mencapai 5,7 juta metrik ton (MT) atau sekitar 75% dari kebutuhan elpiji domestik. Sementara itu, produksi elpiji dari kilang dalam negeri hanya memberi kontribusi 1,9 juta MT atau sekitar 25% dari kebutuhan. Selain itu, program konversi tersebut juga akan meningkatkan konsumsi energi listrik dan energi bersih. Tahun lalu penggunaan listrik baru mencapai sekitar 1.084 kWh per kapita, dan PLN menargetkan konsumsi listrik menjadi sekitar 1.142 kWh per kapita dalam waktu dekat.
Pihak PLN mengklaim bahwa penggunaan kompor induksi lebih efisien dibandingkan dengan kompor elpiji. Untuk membuktikan keunggulan kompor induksi, Institut Teknologi PLN telah melakukan kajian teknis laboratorium. Hasilnya, memasak satu liter air melalui kompor induksi 1.200 watt biayanya sebesar Rp158. Bila menggunakan kompor elpiji tabung 12 kg (api maksimal), menelan biaya sebesar Rp176. Bukan hanya menang dari sisi pembiayaan, ternyata kompor induksi juga lebih unggul karena ramah lingkungan, aman, dan nyaman.
Lalu, apa bedanya antara kompor induksi dan kompor listrik? Yang pasti, kedua jenis kompor tersebut menggunakan energi listrik. Adapun perbedaan mendasar adalah sistem pemanasan. Kompor induksi menggunakan energi elektromagnetik guna memanaskan panci atau wajan secara langsung. Sementara kompor listrik secara tidak langsung memanaskan panci dengan menggunakan elemen pemanas dan mengalirkan energi radiasi ke makanan. Selanjutnya kompor induksi mampu menghantarkan sekitar 80% hingga 90% energi elektromagnetik ke makanan dalam wajan atau panci. Adapun kompor listrik hanya mampu mengelola efisiensi energi sekitar 70%.
Untuk menyukseskan program konversi sejuta kompor elpiji ke kompor induksi, pihak PLN butuh dukungan kebijakan berupa penukaran kompor dan tabung elpiji menjadi kompor induksi secara gratis. Kebijakan serupa pernah ditempuh pemerintah ketika menjalankan program konversi dari minyak tanah ke elpiji, di mana dilakukan penukaran kompor minyak tanah menjadi tabung elpiji beserta kompor secara gratis. Penggunaan kompor induksi secara masif yang banyak diproduksi di dalam negeri jelas akan menguntungkan pemerintah dan masyarakat.
Lantas, bagaimana kondisi sistem kelistrikan nasional untuk mendukung program gerakan konversi kompor itu? Pada saat perayaan Ulang Tahun Ke-75 PLN, Zulkifli Zaini membeberkan dari sisi pembangkit kapasitas telah mencapai 63,3 Gigawatt (GW) per September 2020 atau meningkat sekitar 7,8 GW dari 55,52 GW pada 2015. Penambahan kapasitas pembangkit di Sumatera dari kapasitas terpasang 11,4 GW menjadi 12,6 GW. Lalu, Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara naik dari 37,8 GW menjadi 41,8 GW; Kalimantan meningkat dari 2,5 GW menjadi 3,9 GW; dan Sulawesi naik dari 2,96 GW menjadi 3,62 GW; serta Maluku dan Papua meningkat dari 0,8 GW menjadi 1,3 GW. Karena itu, manajemen PLN tak khawatir dalam pemenuhan kebutuhan listrik baik rumah tangga maupun bisnis dan industri.
Sementara itu, kinerja PLN justru terus meningkat di tengah pandemi Covid-19. Publikasi badan usaha milik negara (BUMN) listrik itu mencatat penjualan sebesar 181.638 GWh pada kuartal ketiga 2020. Penjualan tersebut mengalami kenaikan sekitar 0,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian, penjualan PLN tercatat sebesar Rp 205,1 triliun hingga September 2020 atau tumbuh sekitar 1,2% dari sebesar Rp202,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Langkah PLN untuk turut serta mengamankan kemandirian dan ketahanan energi nasional patut diapresiasi. Hanya, perlu diingatkan gerakan konversi kompor itu harus dihitung dengan cermat, jangan sampai mengulang program konversi minyak tanah ke elpiji yang justru menimbulkan beban baru, yakni kenaikan anggaran subsidi elpiji dari tahun ke tahun yang dinilai tidak ekonomis lagi karena memberatkan anggaran negara. (*)
Sekadar informasi, saat ini kebutuhan elpiji dalam negeri sebanyak 75% dipasok dari impor. Tahun lalu impor elpiji mencapai 5,7 juta metrik ton (MT) atau sekitar 75% dari kebutuhan elpiji domestik. Sementara itu, produksi elpiji dari kilang dalam negeri hanya memberi kontribusi 1,9 juta MT atau sekitar 25% dari kebutuhan. Selain itu, program konversi tersebut juga akan meningkatkan konsumsi energi listrik dan energi bersih. Tahun lalu penggunaan listrik baru mencapai sekitar 1.084 kWh per kapita, dan PLN menargetkan konsumsi listrik menjadi sekitar 1.142 kWh per kapita dalam waktu dekat.
Pihak PLN mengklaim bahwa penggunaan kompor induksi lebih efisien dibandingkan dengan kompor elpiji. Untuk membuktikan keunggulan kompor induksi, Institut Teknologi PLN telah melakukan kajian teknis laboratorium. Hasilnya, memasak satu liter air melalui kompor induksi 1.200 watt biayanya sebesar Rp158. Bila menggunakan kompor elpiji tabung 12 kg (api maksimal), menelan biaya sebesar Rp176. Bukan hanya menang dari sisi pembiayaan, ternyata kompor induksi juga lebih unggul karena ramah lingkungan, aman, dan nyaman.
Lalu, apa bedanya antara kompor induksi dan kompor listrik? Yang pasti, kedua jenis kompor tersebut menggunakan energi listrik. Adapun perbedaan mendasar adalah sistem pemanasan. Kompor induksi menggunakan energi elektromagnetik guna memanaskan panci atau wajan secara langsung. Sementara kompor listrik secara tidak langsung memanaskan panci dengan menggunakan elemen pemanas dan mengalirkan energi radiasi ke makanan. Selanjutnya kompor induksi mampu menghantarkan sekitar 80% hingga 90% energi elektromagnetik ke makanan dalam wajan atau panci. Adapun kompor listrik hanya mampu mengelola efisiensi energi sekitar 70%.
Untuk menyukseskan program konversi sejuta kompor elpiji ke kompor induksi, pihak PLN butuh dukungan kebijakan berupa penukaran kompor dan tabung elpiji menjadi kompor induksi secara gratis. Kebijakan serupa pernah ditempuh pemerintah ketika menjalankan program konversi dari minyak tanah ke elpiji, di mana dilakukan penukaran kompor minyak tanah menjadi tabung elpiji beserta kompor secara gratis. Penggunaan kompor induksi secara masif yang banyak diproduksi di dalam negeri jelas akan menguntungkan pemerintah dan masyarakat.
Lantas, bagaimana kondisi sistem kelistrikan nasional untuk mendukung program gerakan konversi kompor itu? Pada saat perayaan Ulang Tahun Ke-75 PLN, Zulkifli Zaini membeberkan dari sisi pembangkit kapasitas telah mencapai 63,3 Gigawatt (GW) per September 2020 atau meningkat sekitar 7,8 GW dari 55,52 GW pada 2015. Penambahan kapasitas pembangkit di Sumatera dari kapasitas terpasang 11,4 GW menjadi 12,6 GW. Lalu, Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara naik dari 37,8 GW menjadi 41,8 GW; Kalimantan meningkat dari 2,5 GW menjadi 3,9 GW; dan Sulawesi naik dari 2,96 GW menjadi 3,62 GW; serta Maluku dan Papua meningkat dari 0,8 GW menjadi 1,3 GW. Karena itu, manajemen PLN tak khawatir dalam pemenuhan kebutuhan listrik baik rumah tangga maupun bisnis dan industri.
Sementara itu, kinerja PLN justru terus meningkat di tengah pandemi Covid-19. Publikasi badan usaha milik negara (BUMN) listrik itu mencatat penjualan sebesar 181.638 GWh pada kuartal ketiga 2020. Penjualan tersebut mengalami kenaikan sekitar 0,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dengan demikian, penjualan PLN tercatat sebesar Rp 205,1 triliun hingga September 2020 atau tumbuh sekitar 1,2% dari sebesar Rp202,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Langkah PLN untuk turut serta mengamankan kemandirian dan ketahanan energi nasional patut diapresiasi. Hanya, perlu diingatkan gerakan konversi kompor itu harus dihitung dengan cermat, jangan sampai mengulang program konversi minyak tanah ke elpiji yang justru menimbulkan beban baru, yakni kenaikan anggaran subsidi elpiji dari tahun ke tahun yang dinilai tidak ekonomis lagi karena memberatkan anggaran negara. (*)
(bmm)
tulis komentar anda