Wacana Kominfo Blokir Medsos Dinilai Rawan Berangus Pendapat Publik
Rabu, 21 Oktober 2020 - 22:23 WIB
JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana membuat Peraturan Menteri (Permen) yang mengizinkan pemblokiran terhadap akun media sosial (medsos) yang dinilai menyebarkan hoaks.
(Baca juga: Jaringan 4G di Bulan Siap Dibangun oleh NASA dan Nokia)
Wacana tersebut mendapat kritik lantaran berpotensi menjadi alat pembungkaman atau memberangus keragaman pendapat publik. (Baca juga: Pemerintah Tegaskan Vaksin Covid-19 Gratis untuk Rakyat Miskin)
"Permen ini justru berpotensi memberangus hadirnya keragaman pendapat yang justru menghidupkan demokrasi," celetuk Peneliti bidang Politik The Indonesian Institute (TII) Rifqi Rachman dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (21/10/2020).
Kominfo menyampaikan rencana penerbitan Permen tersebut melalui melalui siaran pers secara daring, Senin kemarin (19/10). Aturan itu menyasar perusahaan platform medsos agar taat kepada pemerintah dan bisa berkolaborasi dalam memerangi hoaks, terutama yang berhubungan dengan Covid-19.
Rifqi mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan Permen Kominfo ini terhadap kebebasan berekspresi warga negara di dunia maya. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Catatan yang ada memang memvalidasi hal tersebut.
Salah satu contoh kasusnya adalah peretasan akun media sosial yang dialami oleh pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Akun tersebut diretas setelah gencar mengkritik kebijakan vaksin yang digagas dan dijalankan pemerintah.
Ia menilai kehadiran Permen Kominfo tentang pemblokiran medsos justru akan menormalisasi keheningan dan menjadikan kritik sebagai sesuatu yang berbahaya untuk dilontarkan.
"Pernyataan Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani menggambarkan bagaimana ekspresi kita di media sosial sesungguhnya tidak lepas dari pengawasan pemerintah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Rifqi menganggap pemerintah seakan memiliki otoritas untuk memilah dan menilai semua ekspresi yang tersebar secara masif. Sebab, mekanisme pemblokiran dimulai oleh pemerintah yang melaporkan konten yang mereka nilai telah melanggar peraturan.
"Kemampuan menilai ini juga jadi soal. Sebab, bertendensi untuk mempermasalahkan suara-suara yang tidak menguatkan atau sesuai dengan keputusan dan tindakan pemerintah," tegas dia.
"Padahal, bersuara melalui kritikan adalah sebuah upaya untuk menempatkan pemerintah di posisi yang tetap transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam setiap pengambilan keputusannya," tukasnya lagi.
(Baca juga: Jaringan 4G di Bulan Siap Dibangun oleh NASA dan Nokia)
Wacana tersebut mendapat kritik lantaran berpotensi menjadi alat pembungkaman atau memberangus keragaman pendapat publik. (Baca juga: Pemerintah Tegaskan Vaksin Covid-19 Gratis untuk Rakyat Miskin)
"Permen ini justru berpotensi memberangus hadirnya keragaman pendapat yang justru menghidupkan demokrasi," celetuk Peneliti bidang Politik The Indonesian Institute (TII) Rifqi Rachman dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (21/10/2020).
Kominfo menyampaikan rencana penerbitan Permen tersebut melalui melalui siaran pers secara daring, Senin kemarin (19/10). Aturan itu menyasar perusahaan platform medsos agar taat kepada pemerintah dan bisa berkolaborasi dalam memerangi hoaks, terutama yang berhubungan dengan Covid-19.
Rifqi mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan Permen Kominfo ini terhadap kebebasan berekspresi warga negara di dunia maya. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Catatan yang ada memang memvalidasi hal tersebut.
Salah satu contoh kasusnya adalah peretasan akun media sosial yang dialami oleh pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Akun tersebut diretas setelah gencar mengkritik kebijakan vaksin yang digagas dan dijalankan pemerintah.
Ia menilai kehadiran Permen Kominfo tentang pemblokiran medsos justru akan menormalisasi keheningan dan menjadikan kritik sebagai sesuatu yang berbahaya untuk dilontarkan.
"Pernyataan Dirjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani menggambarkan bagaimana ekspresi kita di media sosial sesungguhnya tidak lepas dari pengawasan pemerintah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Rifqi menganggap pemerintah seakan memiliki otoritas untuk memilah dan menilai semua ekspresi yang tersebar secara masif. Sebab, mekanisme pemblokiran dimulai oleh pemerintah yang melaporkan konten yang mereka nilai telah melanggar peraturan.
"Kemampuan menilai ini juga jadi soal. Sebab, bertendensi untuk mempermasalahkan suara-suara yang tidak menguatkan atau sesuai dengan keputusan dan tindakan pemerintah," tegas dia.
"Padahal, bersuara melalui kritikan adalah sebuah upaya untuk menempatkan pemerintah di posisi yang tetap transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam setiap pengambilan keputusannya," tukasnya lagi.
(maf)
tulis komentar anda