KPU dan Bawaslu Diminta Memperberat Sanksi bagi Pelanggar Prokes di Pilkada
Senin, 19 Oktober 2020 - 20:09 WIB
JAKARTA - Calon kepala daerah ( cakada ) mulai meningkatkan kampanye tatap muka dengan calon pemilih. Karakter cakada, tim sukses dan partai politik (parpol) tidak percaya diri jika dalam kampanye sepi dari pendukung.
Masalahnya, saat ini tengah pandemi COVID-19. Pertemuan tatap muka dikhawatirkan menjadi sumber penularan virus Sars Cov-II. Memang aturannya memperbolehkan dengan jumlah maksimal 50 orang dan menerapkan protokol kesehatan (prokes) COVID-19. (Baca juga: Melihat Untung Rugi Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2020)
Pengamat Politik, Hurriyah menilai regulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 masih longgar. Bahkan, menurutnya, regulasi yang ada tidak menjangkau kegiatan-kegiatan terselubung yang mungkin dilakukan oleh cakada, tim sukses, dan parpol.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia ini menyebut penyelenggara masih menggunakan cara pandang normatif dalam membuat regulasi. Padahal, pilkada ini dilaksanakan di tengah ancaman COVID-19 yang bisa menghilangkan nyawa seseorang.
Dia mengingatkan pilkada itu berpotensi terjadi kerumunan orang. “Partai dan paslon tidak pede jika kampanye sepi. Jadi, inginnya selalu memobilisasi massa untuk menunjukkan dukungan seolah-olah besar,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (19/10/2020).
Hurriyah menyoroti sanksi terhadap pelanggaran dalam pilkada yang relatif tidak memberikan efek jera. Paslon hanya diberikan teguran tertulis atau pembubaran ketika melanggaran prokes COVID-19.
Menurutnya, penyelenggara dan pengawas pilkada harusnya bisa lebih keras lagi. Untuk itu, dia mendorong dibuat aturan baru yang memasukkan klausul diskualifikasi agar paslon dan tim suksesnya tertib. (Baca juga: Pilkada Serentak Harus Lahirkan Pemimpin Daerah Berkualitas)
“Dalam aturan pandemi, orang yang melanggar bisa didenda. Masa dalam pemilu, aturannya menjadi sangat loose (longgar). Bawaslu perlu progresif. Jangan PKPU-nya normatif, PerBawaslu-nya juga normatif. Padahal KPU dan Bawaslu harus memahami penting membuat inovasi,” pungkasnya.
Masalahnya, saat ini tengah pandemi COVID-19. Pertemuan tatap muka dikhawatirkan menjadi sumber penularan virus Sars Cov-II. Memang aturannya memperbolehkan dengan jumlah maksimal 50 orang dan menerapkan protokol kesehatan (prokes) COVID-19. (Baca juga: Melihat Untung Rugi Kotak Kosong di Pilkada Serentak 2020)
Pengamat Politik, Hurriyah menilai regulasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 masih longgar. Bahkan, menurutnya, regulasi yang ada tidak menjangkau kegiatan-kegiatan terselubung yang mungkin dilakukan oleh cakada, tim sukses, dan parpol.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia ini menyebut penyelenggara masih menggunakan cara pandang normatif dalam membuat regulasi. Padahal, pilkada ini dilaksanakan di tengah ancaman COVID-19 yang bisa menghilangkan nyawa seseorang.
Dia mengingatkan pilkada itu berpotensi terjadi kerumunan orang. “Partai dan paslon tidak pede jika kampanye sepi. Jadi, inginnya selalu memobilisasi massa untuk menunjukkan dukungan seolah-olah besar,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Senin (19/10/2020).
Hurriyah menyoroti sanksi terhadap pelanggaran dalam pilkada yang relatif tidak memberikan efek jera. Paslon hanya diberikan teguran tertulis atau pembubaran ketika melanggaran prokes COVID-19.
Menurutnya, penyelenggara dan pengawas pilkada harusnya bisa lebih keras lagi. Untuk itu, dia mendorong dibuat aturan baru yang memasukkan klausul diskualifikasi agar paslon dan tim suksesnya tertib. (Baca juga: Pilkada Serentak Harus Lahirkan Pemimpin Daerah Berkualitas)
“Dalam aturan pandemi, orang yang melanggar bisa didenda. Masa dalam pemilu, aturannya menjadi sangat loose (longgar). Bawaslu perlu progresif. Jangan PKPU-nya normatif, PerBawaslu-nya juga normatif. Padahal KPU dan Bawaslu harus memahami penting membuat inovasi,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda