Waspada Liquidity Trap
Senin, 19 Oktober 2020 - 17:47 WIB
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
INDIKASI Indonesia berada di ambang resesi semakin kuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 sebesar minus 2,9% hingga minus 1%. Sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas 5%, sedangkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 sebesar 2,97% dan kuartal II 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Kini, arah bahwa ekonomi Indonesia memasuki resesi semakin terlihat melalui data Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan bahwa hasil Survei Penjualan Eceran di Indonesia pada Juli 2020 masih mengalami kontraksi sebesar -12,3% (yoy). Sementara itu, indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) pada Agustus 2020 melemah menjadi sebesar 118,2 dari posisi Juli 2020 yang berada di angka 121,7. Selain itu, Indeks ekspektasi penghasilan pada periode Agustus 2020 juga tercatat sebesar 124,7, di mana angka tersebut mengalami penurunan dari 125,4 pada bulan sebelumnya. Penurunan tersebut terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1-3 juta per bulan.
Demi mengatasi perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah menyiapkan dana hingga Rp695,2 triliun sebagai bentuk stimulus yang diberikan pemerintah melalui berbagai paket kebijakan seperti kartu prakerja, bantuan pangan langsung ke rakyat (dalam bentuk barang dan fresh money). Stimulus itu merupakan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan pemerintah di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi. Selain itu, dari sisi moneter, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 dan 13 Oktober 2020, telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 4%. BI memilih untuk menahan suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%. Kebijakan mempertahankan suku bunga acuan ini merupakan yang ketiga kalinya setelah periode Agustus dan September 2020. Terakhir, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4% pada Juli 2020. Keputusan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemerintah saat ini perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang rendah.
Liquidity Trap
Usaha pemerintah dari sisi fiskal dan moneter telah ditempuh tak lain untuk dapat mendorong peningkatan pendapatan nasional. Meski demikian, upaya penambahan jumlah uang beredar di Indonesia melalui pelebaran dari kebijakan fiskal serta upaya dari sisi moneter dengan tetap mempertahankan BI7DRRR sebesar 4% dapat memicu terjadinya liquidity trap. Berdasarkan Teori Keynes, apabila pada pasar barang diasumsikan tetap dan pasar uang ditambah melalui kebijakan penurunan tingkat suku bunga, maka diharapkan dapat menambah pendapatan nasional. Akan tetapi suku bunga yang terlalu rendah dalam kondisi perekonomian yang lesu juga rentan terjadinya liquidity trap. Pada kondisi ini peningkatan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap income karena kenaikan yang kecil terhadap tingkat bunga tersebut akan menyebabkan investasi swasta menurun dengan jumlah yang sama (crowding out).
Saat ini, investasi sangat diperlukan untuk dapat memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional. Meski di masa pandemi, seharusnya masyarakat tidak perlu takut untuk melakukan investasi agar uang yang ada di masyarakat bisa berkembang dan tidak mengendap sehingga akan terwujud pemulihan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Bank Indonesia, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pada Agustus 2020 tercatat sebesar Rp6.228,1 triliun, naik 10,9% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya sebesar 7,7% year on year (yoy). Peningkatan tersebut terjadi pada seluruh jenis dana simpanan. Selanjutnya, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan tertinggi DPK terjadi pada kelompok dana di atas Rp5 miliar, yakni 15,2% (yoy). Kemudian kelompok Rp500 juta hingga Rp1 miliar, 10,1% (yoy), dan selanjutnya kelompok simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta yang sebesar 9,5% (yoy).
Di sisi lain, tak sedikit kelonggaran kebijakan fiskal maupun moneter telah diberikan pemerintah di masa pandemi. Meski demikian, bukan hal yang tak mungkin jika dana yang telah digelontorkan pemerintah dalam jumlah besar tersebut akan menjadi sia-sia dan tidak berdampak bagi pemulihan ekonomi nasional. Setidaknya ada dua hal yang memungkinkan terjadinya liquidity trap, di mana berbagai dana tersebut tidak berkembang menstimulus pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) relaksasi kebijakan atau bantuan yang diterima masyarakat tidak digunakan untuk kegiatan produktif, (2) bantuan likuiditas yang diberikan tidak tepat sasaran pada sektor yang seharusnya memiliki potensi untuk bangkit dan memiliki value added yang tinggi.
Belanja Berkualitas
Belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan senjata utama di kala pandemi yang diharapkan dapat berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Keduanya kini menjadi tulang punggung kehidupan perekonomian Tanah Air untuk bergerak dalam koridor pemulihan dan meminimalisasi dampak pelemahan. Pelebaran defisit yang saat ini tengah dilakukan pemerintah merupakan langkah luar biasa yang diambil pemerintah untuk menahan pelambatan ekonomi melalui optimalisasi belanja. Rasio defisit anggaran di dalam APBN Indonesia sejatinya bukanlah sebuah permasalahan asalkan masih dalam batas aman dan benar-benar digunakan untuk sektor produktif yang bisa melesatkan kinerja perekonomian nasional.
Di masa pandemi saat ini satu-satunya sektor yang bisa tumbuh positif dan mampu menjadi bantalan ekonomi nasional hingga akhir tahun ialah pengeluaran pemerintah sendiri. Untuk itu, belanja pemerintah harus digenjot pada sisa kuartal tahun ini dan tahun selanjutnya. Meski demikian, berdasarkan kajian Bappenas, belanja Kementerian/Lembaga pemerintah pusat atau pemerintah daerah masih belum efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal harapannya, 11% belanja K/L dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,66%. Namun kenyataanya, hanya mampu mengerek 0,24% saja (Kajian Belanja Negara 2017-2018). Oleh sebab itu, saat ini belanja berkualitas menjadi isu krusial yang perlu diperhatikan bersama oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pemerintah dalam menggelontorkan belanja melalui berbagai program bantuan untuk pemulihan ekonomi saat ini perlu menyusun pemetaan wilayah untuk lebih memprioritaskan bantuan pada daerah yang memiliki dampak positif bagi wilayah lainnya (spread effect). Selain itu, pemerintah juga perlu memprioritaskan bantuan bagi sektor ekonomi yang mampu mendorong sektor lainnya dan memberikan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
INDIKASI Indonesia berada di ambang resesi semakin kuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 sebesar minus 2,9% hingga minus 1%. Sebelum pandemi pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas 5%, sedangkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 sebesar 2,97% dan kuartal II 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32%. Kini, arah bahwa ekonomi Indonesia memasuki resesi semakin terlihat melalui data Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan bahwa hasil Survei Penjualan Eceran di Indonesia pada Juli 2020 masih mengalami kontraksi sebesar -12,3% (yoy). Sementara itu, indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) pada Agustus 2020 melemah menjadi sebesar 118,2 dari posisi Juli 2020 yang berada di angka 121,7. Selain itu, Indeks ekspektasi penghasilan pada periode Agustus 2020 juga tercatat sebesar 124,7, di mana angka tersebut mengalami penurunan dari 125,4 pada bulan sebelumnya. Penurunan tersebut terjadi pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp1-3 juta per bulan.
Demi mengatasi perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah menyiapkan dana hingga Rp695,2 triliun sebagai bentuk stimulus yang diberikan pemerintah melalui berbagai paket kebijakan seperti kartu prakerja, bantuan pangan langsung ke rakyat (dalam bentuk barang dan fresh money). Stimulus itu merupakan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan pemerintah di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi. Selain itu, dari sisi moneter, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 dan 13 Oktober 2020, telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 4%. BI memilih untuk menahan suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%. Kebijakan mempertahankan suku bunga acuan ini merupakan yang ketiga kalinya setelah periode Agustus dan September 2020. Terakhir, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4% pada Juli 2020. Keputusan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemerintah saat ini perlu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah inflasi yang rendah.
Liquidity Trap
Usaha pemerintah dari sisi fiskal dan moneter telah ditempuh tak lain untuk dapat mendorong peningkatan pendapatan nasional. Meski demikian, upaya penambahan jumlah uang beredar di Indonesia melalui pelebaran dari kebijakan fiskal serta upaya dari sisi moneter dengan tetap mempertahankan BI7DRRR sebesar 4% dapat memicu terjadinya liquidity trap. Berdasarkan Teori Keynes, apabila pada pasar barang diasumsikan tetap dan pasar uang ditambah melalui kebijakan penurunan tingkat suku bunga, maka diharapkan dapat menambah pendapatan nasional. Akan tetapi suku bunga yang terlalu rendah dalam kondisi perekonomian yang lesu juga rentan terjadinya liquidity trap. Pada kondisi ini peningkatan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap income karena kenaikan yang kecil terhadap tingkat bunga tersebut akan menyebabkan investasi swasta menurun dengan jumlah yang sama (crowding out).
Saat ini, investasi sangat diperlukan untuk dapat memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional. Meski di masa pandemi, seharusnya masyarakat tidak perlu takut untuk melakukan investasi agar uang yang ada di masyarakat bisa berkembang dan tidak mengendap sehingga akan terwujud pemulihan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Bank Indonesia, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pada Agustus 2020 tercatat sebesar Rp6.228,1 triliun, naik 10,9% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya sebesar 7,7% year on year (yoy). Peningkatan tersebut terjadi pada seluruh jenis dana simpanan. Selanjutnya, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan tertinggi DPK terjadi pada kelompok dana di atas Rp5 miliar, yakni 15,2% (yoy). Kemudian kelompok Rp500 juta hingga Rp1 miliar, 10,1% (yoy), dan selanjutnya kelompok simpanan Rp200 juta hingga Rp500 juta yang sebesar 9,5% (yoy).
Di sisi lain, tak sedikit kelonggaran kebijakan fiskal maupun moneter telah diberikan pemerintah di masa pandemi. Meski demikian, bukan hal yang tak mungkin jika dana yang telah digelontorkan pemerintah dalam jumlah besar tersebut akan menjadi sia-sia dan tidak berdampak bagi pemulihan ekonomi nasional. Setidaknya ada dua hal yang memungkinkan terjadinya liquidity trap, di mana berbagai dana tersebut tidak berkembang menstimulus pertumbuhan ekonomi, yaitu (1) relaksasi kebijakan atau bantuan yang diterima masyarakat tidak digunakan untuk kegiatan produktif, (2) bantuan likuiditas yang diberikan tidak tepat sasaran pada sektor yang seharusnya memiliki potensi untuk bangkit dan memiliki value added yang tinggi.
Belanja Berkualitas
Belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan senjata utama di kala pandemi yang diharapkan dapat berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Keduanya kini menjadi tulang punggung kehidupan perekonomian Tanah Air untuk bergerak dalam koridor pemulihan dan meminimalisasi dampak pelemahan. Pelebaran defisit yang saat ini tengah dilakukan pemerintah merupakan langkah luar biasa yang diambil pemerintah untuk menahan pelambatan ekonomi melalui optimalisasi belanja. Rasio defisit anggaran di dalam APBN Indonesia sejatinya bukanlah sebuah permasalahan asalkan masih dalam batas aman dan benar-benar digunakan untuk sektor produktif yang bisa melesatkan kinerja perekonomian nasional.
Di masa pandemi saat ini satu-satunya sektor yang bisa tumbuh positif dan mampu menjadi bantalan ekonomi nasional hingga akhir tahun ialah pengeluaran pemerintah sendiri. Untuk itu, belanja pemerintah harus digenjot pada sisa kuartal tahun ini dan tahun selanjutnya. Meski demikian, berdasarkan kajian Bappenas, belanja Kementerian/Lembaga pemerintah pusat atau pemerintah daerah masih belum efektif mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal harapannya, 11% belanja K/L dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,66%. Namun kenyataanya, hanya mampu mengerek 0,24% saja (Kajian Belanja Negara 2017-2018). Oleh sebab itu, saat ini belanja berkualitas menjadi isu krusial yang perlu diperhatikan bersama oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pemerintah dalam menggelontorkan belanja melalui berbagai program bantuan untuk pemulihan ekonomi saat ini perlu menyusun pemetaan wilayah untuk lebih memprioritaskan bantuan pada daerah yang memiliki dampak positif bagi wilayah lainnya (spread effect). Selain itu, pemerintah juga perlu memprioritaskan bantuan bagi sektor ekonomi yang mampu mendorong sektor lainnya dan memberikan nilai tambah yang tinggi sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Semoga.
(bmm)
tulis komentar anda