Vonis Maksimal Bos Jiwasraya, Bagaimana Nasib Nasabah?
Kamis, 15 Oktober 2020 - 06:00 WIB
Begitu juga PK yang diajukan OC Kaligis. MA memutuskan mengurangi masa penahanan advokat kawakan itu sebanyak 3 tahun. Hukuman 10 tahun dikorting menjadi 7 tahun penjara.
Mantan Bupati Talaud Sri Wahyu Maria Manalip di kasus suap revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo. Semula putusannya adalah 4 tahun 6 bulan, menjadi 2 tahun penjara.
Kemudian, mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi pada tahap pertama dihukum 7 tahun. Pada tahap PK, hukuman dikurangi menjadi 5 tahun.
Penjara bukan obat untuk mengatasi kejahatan korupsi
Salah seorang nasabah mengaku tak begitu peduli dengan hukuman maksimal bagi para mantan bos Jiwasraya. Yang pentig baginya dan juga segenap nasabah adalah kejelasan dari pengembalian dana yang ada di dalam asuransi tersebut. "Sori, saya enggak puas kalau mereka di penjara. Saya puas kalau dana saya kembali dan puas sekali kalau berikut bunga selama ini dibayarkan," katanya setelah menerima kabar putusan pengadilan bagi direksi Jiwasraya, Selasa (13/10/2020).
Menurut dia, janji pemerintah dan perusahaan pelat merah itu dalam mengembalikan dana nasabah sudah terlalu lama. Ini pun berdampak terhadap rasa kekecewaan mereka yang tak puas juga meski mantan direktur utama itu divonis seumur hidup. "Karena sudah lewat 2 tahun dan janjinya mundur terus. Berita terakhir skema akan diumumkan 1 November. Namun sepertinya akan mundur lagi," terangnya.
Dia mengaku sudah amat menderita akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Hendrisman Rahim dan kroninya tersebut. "Kami sudah sangat menderita dalam penantian kepastian uang kami kembali dan sudah dalam level tidak percaya apapun produk investasi negara dengan semakin lamanya proses pengembalian hak kami," ungkapnya.
Mengacu pada unek-unek nasabah itu, mungkin ada baiknya para pihak yang berkepentingan dalam perkara ini mempertimbangkan pendapat pengacara senior Luhut Pangaribuan. Kepada Sindonews, ia tidak setuju dengan hukuman maksimal yang dijatuhkan terhadap para mantan bos Jiwasraya. Sebagai penganut abolisionist, ia berpendapat penjara bukanlah obat untuk mengatasi kejahatan secara absolut. “Justru penjara jadi sumber kejahatan baru,” cetusnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) ini lebih condong ke ultimum remedium. Artinya, terdakwa sebaiknya dikenakan kewajiban membayar denda dan memberi ganti rugi yang setimpal. “Penjara kalau perlu hanya ditujukan bagi penjahat pelaku pembunuhan dan sebagainya, bukan untuk tindak pidana ekonomi seperti ini,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (13/10) lalu.
Ia berpendapat hukuman berat bagi pelaku tindak pidana korupsi bersifat emosional-reaksional. Sebaliknya jika sanksi denda dan uang pengganti yang diperbesar, negara akan dapat uang. “PNBP dari bidang hukum akan naik,” katanya. Jadi,”ini adalah soal filosofi dan konsep operasional hukum.”
Mantan Bupati Talaud Sri Wahyu Maria Manalip di kasus suap revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo. Semula putusannya adalah 4 tahun 6 bulan, menjadi 2 tahun penjara.
Kemudian, mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Utara Rohadi pada tahap pertama dihukum 7 tahun. Pada tahap PK, hukuman dikurangi menjadi 5 tahun.
Penjara bukan obat untuk mengatasi kejahatan korupsi
Salah seorang nasabah mengaku tak begitu peduli dengan hukuman maksimal bagi para mantan bos Jiwasraya. Yang pentig baginya dan juga segenap nasabah adalah kejelasan dari pengembalian dana yang ada di dalam asuransi tersebut. "Sori, saya enggak puas kalau mereka di penjara. Saya puas kalau dana saya kembali dan puas sekali kalau berikut bunga selama ini dibayarkan," katanya setelah menerima kabar putusan pengadilan bagi direksi Jiwasraya, Selasa (13/10/2020).
Menurut dia, janji pemerintah dan perusahaan pelat merah itu dalam mengembalikan dana nasabah sudah terlalu lama. Ini pun berdampak terhadap rasa kekecewaan mereka yang tak puas juga meski mantan direktur utama itu divonis seumur hidup. "Karena sudah lewat 2 tahun dan janjinya mundur terus. Berita terakhir skema akan diumumkan 1 November. Namun sepertinya akan mundur lagi," terangnya.
Dia mengaku sudah amat menderita akibat perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Hendrisman Rahim dan kroninya tersebut. "Kami sudah sangat menderita dalam penantian kepastian uang kami kembali dan sudah dalam level tidak percaya apapun produk investasi negara dengan semakin lamanya proses pengembalian hak kami," ungkapnya.
Mengacu pada unek-unek nasabah itu, mungkin ada baiknya para pihak yang berkepentingan dalam perkara ini mempertimbangkan pendapat pengacara senior Luhut Pangaribuan. Kepada Sindonews, ia tidak setuju dengan hukuman maksimal yang dijatuhkan terhadap para mantan bos Jiwasraya. Sebagai penganut abolisionist, ia berpendapat penjara bukanlah obat untuk mengatasi kejahatan secara absolut. “Justru penjara jadi sumber kejahatan baru,” cetusnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) ini lebih condong ke ultimum remedium. Artinya, terdakwa sebaiknya dikenakan kewajiban membayar denda dan memberi ganti rugi yang setimpal. “Penjara kalau perlu hanya ditujukan bagi penjahat pelaku pembunuhan dan sebagainya, bukan untuk tindak pidana ekonomi seperti ini,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (13/10) lalu.
Ia berpendapat hukuman berat bagi pelaku tindak pidana korupsi bersifat emosional-reaksional. Sebaliknya jika sanksi denda dan uang pengganti yang diperbesar, negara akan dapat uang. “PNBP dari bidang hukum akan naik,” katanya. Jadi,”ini adalah soal filosofi dan konsep operasional hukum.”
tulis komentar anda