Soal UU Cipta Kerja, Ini Pesan ELSAM untuk Presiden Jokowi
Selasa, 13 Oktober 2020 - 08:05 WIB
JAKARTA - Langkah DPR dan pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja telah berbuntut panjang hingga memicu reaksi demonstrasi dari berbagai kalangan di sejumlah daerah. Ratusan ribu massa dikabarkan tumpah ruah ke jalan dalam unjuk rasa selama 6-8 Oktober lalu.
Peliknya lagi, demonstrasi penolakan itu berujung pada aksi kericuhan hingga ribuan orang ditangkap termasuk mengalami luka-luka. Bahkan, beberapa orang dikabarkan hilang karena tidak diketahui tempat penahanannya. (Baca juga: Adem, Demo UU Cipta Kerja Tanpa Bentrok dan Gas Air Mata)
Menyikapi kericuhan hingga aksi kekerasan itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai demonstrasi yang dilakukan serentak hampir di seluruh wilayah Indonesia tersebut menunjukkan bahwa aksi-aksi tersebut dilakukan bukan untuk mendukung kekerasan.
“Ini adalah ekspresi atau pernyataan dari publik bahwa pemerintah perlu belajar bahasa lain, selain bahasa undang-undang (UU). Buruh, tani, nelayan, masyarakat adat, kelompok perempuan, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil ini mewakili suara publik,” kata Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman kepada SINDOnews, Senin (12/10/2020).
Wahyu memahami bahwa publik punya suara, punya keresahan, punya hidup yang tak ditanggung aneka tunjangan selayaknya anggota Parlemen. Menurutnya, itu merupakan bahasa-bahasa ‘jelata’ yang tidak dipahami oleh penguasa negara saat ini. “Karena itulah mereka turun ke jalanan, meminta pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Pihaknya juga menyoroti pendekatan keamanan yang digunakan oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan hingga menyebabkan aksi-aksi represif terhadap massa demonstran. Langkah itu menunjukkan pemerintah sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Beberapa pelanggaran itu mencakup hak atas rasa aman seperti demonstran menghadapi serangan fisik dari aparat dan demonstran yang ditangkap tidak diperkenankan untuk menemui kuasa hukum dari sejumlah organisasi. Pelanggaran hak atas kesehatan yaitu demonstran dilempari gas air mata tanpa mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Kemudian, pelanggaran hak atas informasi seperti beberapa jurnalis ditangkap saat bertugas di lokasi demonstrasi.
Atas polemik tersebut, ELSAM memberikan sejumlah catatannya, termasuk kepada Presiden Jokowi agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang menunda dan atau menghapuskan keberlakuan UU Cipta Kerja.
“DPR dan Presiden Jokowi menjadikan aspirasi masyarakat Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk menganulir proses dan hasil pembahasan RUU Cipta Kerja,” pintanya.
Selain itu, Presiden Jokowi memerintahkan kepolisian menghentikan aksi-aksi penangkapan yang disertai kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap massa demonstran dan memberikan akses kepada kuasa hukum untuk mendampingi massa demonstran yang ditangkap dan ditahan. (Baca juga: Ide Besar UU Cipta Kerja untuk Mempermudah Investasi, Termasuk Sektor Ini)
Catatan terakhir yaitu agar Komnas HAM mengusut dugaan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Peliknya lagi, demonstrasi penolakan itu berujung pada aksi kericuhan hingga ribuan orang ditangkap termasuk mengalami luka-luka. Bahkan, beberapa orang dikabarkan hilang karena tidak diketahui tempat penahanannya. (Baca juga: Adem, Demo UU Cipta Kerja Tanpa Bentrok dan Gas Air Mata)
Menyikapi kericuhan hingga aksi kekerasan itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai demonstrasi yang dilakukan serentak hampir di seluruh wilayah Indonesia tersebut menunjukkan bahwa aksi-aksi tersebut dilakukan bukan untuk mendukung kekerasan.
“Ini adalah ekspresi atau pernyataan dari publik bahwa pemerintah perlu belajar bahasa lain, selain bahasa undang-undang (UU). Buruh, tani, nelayan, masyarakat adat, kelompok perempuan, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil ini mewakili suara publik,” kata Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman kepada SINDOnews, Senin (12/10/2020).
Wahyu memahami bahwa publik punya suara, punya keresahan, punya hidup yang tak ditanggung aneka tunjangan selayaknya anggota Parlemen. Menurutnya, itu merupakan bahasa-bahasa ‘jelata’ yang tidak dipahami oleh penguasa negara saat ini. “Karena itulah mereka turun ke jalanan, meminta pemerintah membatalkan UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Pihaknya juga menyoroti pendekatan keamanan yang digunakan oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan hingga menyebabkan aksi-aksi represif terhadap massa demonstran. Langkah itu menunjukkan pemerintah sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Beberapa pelanggaran itu mencakup hak atas rasa aman seperti demonstran menghadapi serangan fisik dari aparat dan demonstran yang ditangkap tidak diperkenankan untuk menemui kuasa hukum dari sejumlah organisasi. Pelanggaran hak atas kesehatan yaitu demonstran dilempari gas air mata tanpa mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Kemudian, pelanggaran hak atas informasi seperti beberapa jurnalis ditangkap saat bertugas di lokasi demonstrasi.
Atas polemik tersebut, ELSAM memberikan sejumlah catatannya, termasuk kepada Presiden Jokowi agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang menunda dan atau menghapuskan keberlakuan UU Cipta Kerja.
“DPR dan Presiden Jokowi menjadikan aspirasi masyarakat Indonesia sebagai bahan pertimbangan untuk menganulir proses dan hasil pembahasan RUU Cipta Kerja,” pintanya.
Selain itu, Presiden Jokowi memerintahkan kepolisian menghentikan aksi-aksi penangkapan yang disertai kekerasan yang dilakukan oleh Polri terhadap massa demonstran dan memberikan akses kepada kuasa hukum untuk mendampingi massa demonstran yang ditangkap dan ditahan. (Baca juga: Ide Besar UU Cipta Kerja untuk Mempermudah Investasi, Termasuk Sektor Ini)
Catatan terakhir yaitu agar Komnas HAM mengusut dugaan aksi kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
(kri)
tulis komentar anda