Penyusunan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Harus Ekstra Hati-hati
Jum'at, 22 Januari 2021 - 02:30 WIB
"Dalam tugas ini harus diperhatikan rancangan yang tepat agar tidak tumpang tindih dengan aparat penegak hukum, tidak ada kewenangan instansi lain yang diambil, dan tidak mengamputasi kewenangan yang sudah ada di TNI dan instansi lain," tuturnya (
)
Dosen hukum pidana FH Unri, Erdianto Effendi memaparkan tentang perlunya kejelasan peran TNI dan penegak hukum dengan membuka penjelasan terkait perbedaan antara terorisme yang menjadi ranah penegak hukum dan makar yang dapat menjadi ranah militer dalam sistem hukum di Tanah Air.
"Dalam konteks pidana, TNI hendaknya difokuskan pada keamanan negara, seperti serangan terhadap presiden dan wakil presiden yang merupakan simbol negara, sementara terorisme cenderung mentarget masyarakat dengan dampak ‘ketakutan’ yang diciptakan dari aksi terror mereka," tuturnya.
Menurut dia, TNI tidak dapat berperan dalam penegakan hukum, tetapi dapat bergabung dalam aspek lain, seperti dalam organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Dalam hal TNI diturunkan ke lapangan, maka ancaman terorisme yang teridentifikasi sudah harus melampaui ancaman tindak pidana, tetapi bereskalasi menjadi ancaman keamanan nasional atau internasional," tuturnya.
Alumni Mc Gill University Montreal, Kanada dan Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran, Dardiri berbicara tentang kerangka dan pendekatan sosiologis untuk penanganan terorisme di Indonesia.
Setelah menjelaskan tentang dua model penanganan terorisme di dunia, yaitu war model dan criminal justice model, Dardiri menyatakan dalam konteks Indonesia pendekatan yang akan dipilih harus memperhatikan banyak faktor seperti prinsip HAM, demokrasi, profesionalitas dan akuntablitas, sehingga pendekatan penegakan hukum lebih tepat.
Dosen hukum pidana FH Unri, Erdianto Effendi memaparkan tentang perlunya kejelasan peran TNI dan penegak hukum dengan membuka penjelasan terkait perbedaan antara terorisme yang menjadi ranah penegak hukum dan makar yang dapat menjadi ranah militer dalam sistem hukum di Tanah Air.
"Dalam konteks pidana, TNI hendaknya difokuskan pada keamanan negara, seperti serangan terhadap presiden dan wakil presiden yang merupakan simbol negara, sementara terorisme cenderung mentarget masyarakat dengan dampak ‘ketakutan’ yang diciptakan dari aksi terror mereka," tuturnya.
Menurut dia, TNI tidak dapat berperan dalam penegakan hukum, tetapi dapat bergabung dalam aspek lain, seperti dalam organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Dalam hal TNI diturunkan ke lapangan, maka ancaman terorisme yang teridentifikasi sudah harus melampaui ancaman tindak pidana, tetapi bereskalasi menjadi ancaman keamanan nasional atau internasional," tuturnya.
Alumni Mc Gill University Montreal, Kanada dan Kandidat Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran, Dardiri berbicara tentang kerangka dan pendekatan sosiologis untuk penanganan terorisme di Indonesia.
Setelah menjelaskan tentang dua model penanganan terorisme di dunia, yaitu war model dan criminal justice model, Dardiri menyatakan dalam konteks Indonesia pendekatan yang akan dipilih harus memperhatikan banyak faktor seperti prinsip HAM, demokrasi, profesionalitas dan akuntablitas, sehingga pendekatan penegakan hukum lebih tepat.
(dam)
tulis komentar anda