APBN di Masa Pandemi
Senin, 05 Oktober 2020 - 09:57 WIB
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI yang terjadi di berbagai negara dalam beberapa bulan terakhir telah membawa ekonomi dunia masuk ke dalam jurang resesi yang tak terelakkan. Bank Dunia menyatakan bahwa Covid-19 akan membawa 92% negara di dunia jatuh ke jurang resesi. Hingga kini setidaknya telah terdapat 14 negara mengonfirmasi terjadinya resesi, di antaranya adalah Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Hongkong, Singapura, Filipina, Inggris, Malaysia, Polandia, Thailand, dan Jepang. Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global telah memperkirakan ekonomi global mengalami penurunan sebesar 5,2% pada tahun ini sebagai akibat dari pandemi covid-19. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa resesi tersebut merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia Kedua.
Indonesia sebagai negara yang juga terdampak Covid-19 kini mengalami kontraksi yang mendalam.
Saat ini perekonomian Indonesia sudah berada dalam zona resesi karena pertumbuhan negatif di kuartal II dan III tahun ini. Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 telah mengalami kontraksi 5,32%, dan untuk kuartal III 2020 Menteri Keuangan telah memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran -2,9% hingga -1%. Meski demikian, sejak beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis dengan mengalokasikan dana hingga Rp 695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menurut Bank Dunia, program perlindungan sosial Indonesia selama pandemi tersebut berjalan efektif. Hal itu terbukti dari bantuan yang berhasil menjangkau sekitar 90% dari total 40% kelompok masyarakat miskin Indonesia. Salah satunya terlihat dari penjualan ritel yang berangsur mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada Mei 2020 indeks penjualan riil berada di angka minus 20% menjadi minus 10% pada Agustus 2020.
APBN 2021
Pembahasan APBN 2021 di masa pandemi Covid-19 menjadi sesuatu yang extraordinary mengingat pengajuan dan pembahasannya dilaksanakan di tengah tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Sebagai instrumen countercyclical, APBN menjadi salah satu instrumen utama yang memiliki dimensi dampak yang sangat luas baik dalam melanjutkan penanganan di bidang kesehatan, melindungi masyarakat yang rentan, dan dalam mendukung proses pemulihan perekonomian nasional pada tahun 2021. Oleh sebab itu, APBN 2021 akan melanjutkan kebijakan countercyclical yang ekspansif dan konsolidatif dengan memperhatikan fleksibilitas dalam merespons kondisi perekonomian dan mendorong pengelolaan fiskal yang pruden dan berkelanjutan. Prioritas pembangunan nasional pada 2021 tidak hanya fokus kepada bidang kesehatan, tapi juga kepada pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, perlindungan sosial, infrastruktur dan pariwisata.
Sebagai konsekuensi dari besarnya kebutuhan countercyclical pemulihan ekonomi di tahun 2020 dan 2021 serta upaya-upaya penguatan fondasi perekonomian, maka menjadi hal yang wajar jika defisit APBN pada 2021 masih diperlukan hingga melebihi 3% dari PDB dengan tetap menjaga kehati-hatian, kredibilitas, dan kesinambungan fiskal. Saat ini pemerintah dan DPR telah menyetujui postur APBN 2021 dengan defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 5,7% atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Meski demikian, defisit anggaran APBN 2021 menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB.
Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Besaran defisit tersebut juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3,0 persen PDB pada 2023. Hal ini sejalan dengan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI yang terjadi di berbagai negara dalam beberapa bulan terakhir telah membawa ekonomi dunia masuk ke dalam jurang resesi yang tak terelakkan. Bank Dunia menyatakan bahwa Covid-19 akan membawa 92% negara di dunia jatuh ke jurang resesi. Hingga kini setidaknya telah terdapat 14 negara mengonfirmasi terjadinya resesi, di antaranya adalah Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Italia, Korea Selatan, Spanyol, Hongkong, Singapura, Filipina, Inggris, Malaysia, Polandia, Thailand, dan Jepang. Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global telah memperkirakan ekonomi global mengalami penurunan sebesar 5,2% pada tahun ini sebagai akibat dari pandemi covid-19. Bank Dunia juga menyebutkan bahwa resesi tersebut merupakan resesi terdalam sejak Perang Dunia Kedua.
Indonesia sebagai negara yang juga terdampak Covid-19 kini mengalami kontraksi yang mendalam.
Saat ini perekonomian Indonesia sudah berada dalam zona resesi karena pertumbuhan negatif di kuartal II dan III tahun ini. Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 telah mengalami kontraksi 5,32%, dan untuk kuartal III 2020 Menteri Keuangan telah memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran -2,9% hingga -1%. Meski demikian, sejak beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis dengan mengalokasikan dana hingga Rp 695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menurut Bank Dunia, program perlindungan sosial Indonesia selama pandemi tersebut berjalan efektif. Hal itu terbukti dari bantuan yang berhasil menjangkau sekitar 90% dari total 40% kelompok masyarakat miskin Indonesia. Salah satunya terlihat dari penjualan ritel yang berangsur mengalami perbaikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada Mei 2020 indeks penjualan riil berada di angka minus 20% menjadi minus 10% pada Agustus 2020.
APBN 2021
Pembahasan APBN 2021 di masa pandemi Covid-19 menjadi sesuatu yang extraordinary mengingat pengajuan dan pembahasannya dilaksanakan di tengah tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Sebagai instrumen countercyclical, APBN menjadi salah satu instrumen utama yang memiliki dimensi dampak yang sangat luas baik dalam melanjutkan penanganan di bidang kesehatan, melindungi masyarakat yang rentan, dan dalam mendukung proses pemulihan perekonomian nasional pada tahun 2021. Oleh sebab itu, APBN 2021 akan melanjutkan kebijakan countercyclical yang ekspansif dan konsolidatif dengan memperhatikan fleksibilitas dalam merespons kondisi perekonomian dan mendorong pengelolaan fiskal yang pruden dan berkelanjutan. Prioritas pembangunan nasional pada 2021 tidak hanya fokus kepada bidang kesehatan, tapi juga kepada pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, ketahanan pangan, perlindungan sosial, infrastruktur dan pariwisata.
Sebagai konsekuensi dari besarnya kebutuhan countercyclical pemulihan ekonomi di tahun 2020 dan 2021 serta upaya-upaya penguatan fondasi perekonomian, maka menjadi hal yang wajar jika defisit APBN pada 2021 masih diperlukan hingga melebihi 3% dari PDB dengan tetap menjaga kehati-hatian, kredibilitas, dan kesinambungan fiskal. Saat ini pemerintah dan DPR telah menyetujui postur APBN 2021 dengan defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di angka 5,7% atau sebesar Rp 1.006,4 triliun. Meski demikian, defisit anggaran APBN 2021 menurun dibandingkan defisit anggaran dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34% dari PDB.
Sebagaimana telah disampaikan oleh Menteri Keuangan bahwa defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih. Besaran defisit tersebut juga telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3,0 persen PDB pada 2023. Hal ini sejalan dengan kebijakan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Lihat Juga :
tulis komentar anda