Cegah Bom Waktu Korona saat Pilkada
Selasa, 29 September 2020 - 07:10 WIB
PARA ahli epidemiologi mengungkapkan secara gamblang puncak korona akan terjadi pada Desember 2020. Tidak terbayangkan bila Desember yang masih dua bulan kedepan merupakan puncak pandemi Covid-19. Selama sepekan lalu, kasus positif virus korona yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan menjadi kasus terbesar selama hampir enam bulan terakhir. Puncaknya terjadi sebanyak 4.823 kasus baru dalam sehari pada Jumat (25/9). Angka 4 ribu terjadi selama hampir sepekan penuh. Tentu hal ini tidak boleh menjadi sesuatu hal yang dianggap biasa apalagi disepelekan. Karena dalam waktu yang tak lama lagi bulan Desember akan segera tiba.
Puncak pandemi yang diperkirakan oleh epidemiologi tentu belum termasuk dengan kegiatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020. Seperti diketahui, Komisi II DPR Selasa (22/9) bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu telah menyepakati pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah tetap akan dilaksanakan sesuai jadwal tahapan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Pilkada yakni 9 Desember 2020. Kesepakatan ini tentu diiringi dengan tuntutan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Terlepas dari sebuah adanya kesepakatan untuk bersama-sama menegakkan aturan protokol Covid-19, semua skenario terburuk dari pemerintah juga harus disiapkan mengingat tak sepenuhnya aturan tersebut dapat berjalan secara maksimal. Aturan yang ditetapkan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja misalnya, masih terjadi pelanggaran yang sangat masif terkait pelaksanaan protokol kesehatan. Bukan hanya masyarakat yang abai namun juga di tingkat pejabatpun masih banyak yang abai, dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Terlepas dari seberapa ketatnya protokol tersebut dijalankan, namun aktivitas yang tinggi dan ruang lingkup kegiatan yang luas turut menjadi peran mudahnya seseorang terpapar Covid.
Tingginya kasus baru per hari bila memang dipandang serius oleh pemerintah tentu akan menjadi pertimbangan untuk menunda Pilkada Serentak. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Imbauan Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penangangan Covid-19 Doni Monardo agar semua yang terlibat dalam agenda Pilkada Serentak wajib menjaga kekompakan dengan menaati protokol kesehatan, tentu bukan sekadar imbauan yang hanya menggaung sesaat namun kemudian dilupakan. Imbauan tersebut merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan Pilkada Serentak dan menghindari terjadinya bom waktu puncak Covid-19. Imbauan mantan Danjen Kopassus tersebut bila tak diiringi dengan instruksi lanjutan, koordinasi, dan sosialisasi di tingkat daerah yang akan melaksanakan pesta akbar ini, tentu akan menjadi menakutkan. Sosialisasi mulai dari partai politik, pejabat daerah, para incumbent, serta masyarakat yang akan memberikan suaranya, menjadi agenda utama pencegahan bom waktu korona pada Desember mendatang.
Tak bisa dibayangkan bila daerah-daerah tempat dimana Pilkada dilaksanakan tidak semuanya memiliki kecukupan sarana kesehatan yang memadai. Rumah sakit hingga Puskesmas di daerah akan menjadi tempat yang mengerikan dengan kehadiran para suspect korona. Alat tes PCR atau tes swab yang cukup mahal serta keterbatasan laboratorium uji PCR menjadi masalah khusus bagi pemerintah daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak. Namun hal ini tetap harus menjadi prioritas agar pencegahan lebih besar dapat dilakukan. Setidaknya, tim kampanye dapat melakukan tes PCR sebelum turun ke lapangan. Atau bahkan para panitia pelaksana di TPU, para saksi, tim Bawaslu, tim KPUD, dsb, hadir di tempat pencoblosan dalam keadaan sehat dan negatif Covid-19.
Kini kampanye telah dimulai. Selama kampanye dilakukan hingga pelaksanaan hari H pencoblosan, menjadi hari-hari penentu apakah pemerintah daerah yang akan menghelat pesta akbar mampu menyelematakan daerahnya dari pandemi. Keselamatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam pesta demokrasi ini. Tentunya Pilkada Serentak dilaksanakan untuk memilih pemimpin yang memiliki kesadaran tinggi, seberapa besar mereka mampu menjadi penyelamat rakyatnya dari penyakit yang belum ditemukan obatnya.
Puncak pandemi yang diperkirakan oleh epidemiologi tentu belum termasuk dengan kegiatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020. Seperti diketahui, Komisi II DPR Selasa (22/9) bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu telah menyepakati pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah tetap akan dilaksanakan sesuai jadwal tahapan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Pilkada yakni 9 Desember 2020. Kesepakatan ini tentu diiringi dengan tuntutan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Terlepas dari sebuah adanya kesepakatan untuk bersama-sama menegakkan aturan protokol Covid-19, semua skenario terburuk dari pemerintah juga harus disiapkan mengingat tak sepenuhnya aturan tersebut dapat berjalan secara maksimal. Aturan yang ditetapkan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja misalnya, masih terjadi pelanggaran yang sangat masif terkait pelaksanaan protokol kesehatan. Bukan hanya masyarakat yang abai namun juga di tingkat pejabatpun masih banyak yang abai, dan bahkan menimbulkan korban jiwa. Terlepas dari seberapa ketatnya protokol tersebut dijalankan, namun aktivitas yang tinggi dan ruang lingkup kegiatan yang luas turut menjadi peran mudahnya seseorang terpapar Covid.
Tingginya kasus baru per hari bila memang dipandang serius oleh pemerintah tentu akan menjadi pertimbangan untuk menunda Pilkada Serentak. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Imbauan Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penangangan Covid-19 Doni Monardo agar semua yang terlibat dalam agenda Pilkada Serentak wajib menjaga kekompakan dengan menaati protokol kesehatan, tentu bukan sekadar imbauan yang hanya menggaung sesaat namun kemudian dilupakan. Imbauan tersebut merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan Pilkada Serentak dan menghindari terjadinya bom waktu puncak Covid-19. Imbauan mantan Danjen Kopassus tersebut bila tak diiringi dengan instruksi lanjutan, koordinasi, dan sosialisasi di tingkat daerah yang akan melaksanakan pesta akbar ini, tentu akan menjadi menakutkan. Sosialisasi mulai dari partai politik, pejabat daerah, para incumbent, serta masyarakat yang akan memberikan suaranya, menjadi agenda utama pencegahan bom waktu korona pada Desember mendatang.
Tak bisa dibayangkan bila daerah-daerah tempat dimana Pilkada dilaksanakan tidak semuanya memiliki kecukupan sarana kesehatan yang memadai. Rumah sakit hingga Puskesmas di daerah akan menjadi tempat yang mengerikan dengan kehadiran para suspect korona. Alat tes PCR atau tes swab yang cukup mahal serta keterbatasan laboratorium uji PCR menjadi masalah khusus bagi pemerintah daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak. Namun hal ini tetap harus menjadi prioritas agar pencegahan lebih besar dapat dilakukan. Setidaknya, tim kampanye dapat melakukan tes PCR sebelum turun ke lapangan. Atau bahkan para panitia pelaksana di TPU, para saksi, tim Bawaslu, tim KPUD, dsb, hadir di tempat pencoblosan dalam keadaan sehat dan negatif Covid-19.
Kini kampanye telah dimulai. Selama kampanye dilakukan hingga pelaksanaan hari H pencoblosan, menjadi hari-hari penentu apakah pemerintah daerah yang akan menghelat pesta akbar mampu menyelematakan daerahnya dari pandemi. Keselamatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam pesta demokrasi ini. Tentunya Pilkada Serentak dilaksanakan untuk memilih pemimpin yang memiliki kesadaran tinggi, seberapa besar mereka mampu menjadi penyelamat rakyatnya dari penyakit yang belum ditemukan obatnya.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda