Jadi Substansi RUU PKS, ALPPIND Kritisi Sexual Consent
Minggu, 27 September 2020 - 08:24 WIB
JAKARTA - Kontroversi mengenai Sexual Consent atau persetujuan untuk melakukan hubungan seksual dalam menekan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan masyarakat sedang menjadi perbincangan publik sepekan terakhir ini. Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND) sebagai organisasi yang peduli terhadap keluarga, perempuan dan anak negeri pun angkat bicara.
Ketua Umum ALPPIND, Atifah Hasan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum berasaskan Pancasila. Dimana setiap pengaturan hubungan hukum antar manusia ada yang dinyatakan secara tegas di dalam Undang-Undang, ataupun menjadi hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Dia mengatakan walaupun Indonesia bukan negara agama tetapi agama menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. "Ketika mendengar terjadi sosialisasi Sexual Consent pada salah satu kampus di negeri ini, kami menganggap bahwa hal tersebut, perlu ditelaah dan dikritisi, mengingat perihal Sexual Consent ini juga menjadi substansi muatan yang sama di dalam draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/9/2020). (Baca juga: PDIP Berharap Seluruh Fraksi DPR Loloskan RUU PKS)
Atifah melanjutkan RUU tersebut ditolak banyak pihak. Karena, lanjut dia, paradigma utama yang melandasi pembentukan RUU tersebut memandang perbedaan gender laki-laki dan perempuan sebagai dua hal yang saling berlawanan atau harus setara dalam semua hal, serta menyebutkan bahwa kekerasan seksual disebabkan budaya patriarki.
Selain itu juga menekankan HAM sebagai wujud kebebasan dalam penentuan sikap termasuk terkait dengan hubungan seksual. Namun, kata dia, UUD 1945 Pasal 28J menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
"Pendidikan seksual berbasis persetujuan (consent) yang menitikberatkan pada pemahaman suka sama suka, sangat tidak patut. Bukan pencerdasan terhadap bahaya kekerasan seksual yang didapat, tetapi derasnya perbuatan perzinahan yang berujung kehancuran generasi bangsa," tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Sexual Consent jangan diartikan sebagai kebebasan berkontrak. Bahkan kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUHPerdata) dibatasi dengan
syarat kecakapan dan suatu sebab yang halal.
Menurutnya, melakukan hubungan seksual hanya dengan batasan persetujuan, tanpa paksaan, jelas bertentangan dengan Pancasila, hukum agama atau peraturan yang hidup di masyarakat (living law). Kata dia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari barat saja mengatur kecakapan dan sebab-sebab yang tidak halal tidak dapat menjadi alasan kebebasan berkontrak.
"Bagaimana mungkin Indonesia yang ber-Pancasila menjadikan asas persetujuan cukup menghalalkan suatu hubungan seksual, dan menyatakan tidak terjadi kekerasan seksual. Cukuplah sudah kerusakan moral di negeri ini ketika zina hanya dilarang untuk mereka atau salah satunya yang telah terikat dalam perkawinan dan tidak dilarang antara mereka yang tidak terikat dalam perkawinan (Pasal 284 KUHP) saja, jangan ditambah dengan Sexual Consent sebagai penghapus pidana kekerasan seksual (jika RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan)," imbuhnya.
Dalam perkawinan, sambung dia, pengaturan Sexual Consent dan pemberian hak penuh istri atas tubuhnya (My body is mine) tidak sesuai dengan konsep syariat Islam yang mewajibkan istri melayani suami jika tidak ada halangan syar’i. Dia menerangkan, pendidikan seksual sepatutnya mendahulukan upaya pencegahan yakni tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya kekerasan seksual melalui kesigapan dalam mengidentifikasi, mengenali lebih awal tindakan yang mengarah pada perbuatan tersebut, sekaligus peningkatan iman, takwa dan akhlak mulia.
"Fakta membuktikan, kekerasan seksual di negeri ini tidak separah dibandingkan dengan negara-negara lain, karena apa? Karena masyarakatnya masih mempertahankan ajaran agama, adat istiadat, dan Pancasila," tuturnya. (Baca juga: Soal RUU PKS, Menteri PPPA Cari Dukungan Tokoh dan Organisasi Keagamaan)
Dirinya memaparkan undang-undang menjamin keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (Pasal 8 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). "Maka dirasa perlu untuk menegaskan kembali bahayanya sosialisasi Sexual Consent menurut kami sebagai masyarakat, bukan sebagai solusi pencegahan kekerasan seksual. Wallahu’alam," pungkasnya.
Ketua Umum ALPPIND, Atifah Hasan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum berasaskan Pancasila. Dimana setiap pengaturan hubungan hukum antar manusia ada yang dinyatakan secara tegas di dalam Undang-Undang, ataupun menjadi hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Dia mengatakan walaupun Indonesia bukan negara agama tetapi agama menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. "Ketika mendengar terjadi sosialisasi Sexual Consent pada salah satu kampus di negeri ini, kami menganggap bahwa hal tersebut, perlu ditelaah dan dikritisi, mengingat perihal Sexual Consent ini juga menjadi substansi muatan yang sama di dalam draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/9/2020). (Baca juga: PDIP Berharap Seluruh Fraksi DPR Loloskan RUU PKS)
Atifah melanjutkan RUU tersebut ditolak banyak pihak. Karena, lanjut dia, paradigma utama yang melandasi pembentukan RUU tersebut memandang perbedaan gender laki-laki dan perempuan sebagai dua hal yang saling berlawanan atau harus setara dalam semua hal, serta menyebutkan bahwa kekerasan seksual disebabkan budaya patriarki.
Selain itu juga menekankan HAM sebagai wujud kebebasan dalam penentuan sikap termasuk terkait dengan hubungan seksual. Namun, kata dia, UUD 1945 Pasal 28J menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
"Pendidikan seksual berbasis persetujuan (consent) yang menitikberatkan pada pemahaman suka sama suka, sangat tidak patut. Bukan pencerdasan terhadap bahaya kekerasan seksual yang didapat, tetapi derasnya perbuatan perzinahan yang berujung kehancuran generasi bangsa," tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, Sexual Consent jangan diartikan sebagai kebebasan berkontrak. Bahkan kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUHPerdata) dibatasi dengan
syarat kecakapan dan suatu sebab yang halal.
Menurutnya, melakukan hubungan seksual hanya dengan batasan persetujuan, tanpa paksaan, jelas bertentangan dengan Pancasila, hukum agama atau peraturan yang hidup di masyarakat (living law). Kata dia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari barat saja mengatur kecakapan dan sebab-sebab yang tidak halal tidak dapat menjadi alasan kebebasan berkontrak.
"Bagaimana mungkin Indonesia yang ber-Pancasila menjadikan asas persetujuan cukup menghalalkan suatu hubungan seksual, dan menyatakan tidak terjadi kekerasan seksual. Cukuplah sudah kerusakan moral di negeri ini ketika zina hanya dilarang untuk mereka atau salah satunya yang telah terikat dalam perkawinan dan tidak dilarang antara mereka yang tidak terikat dalam perkawinan (Pasal 284 KUHP) saja, jangan ditambah dengan Sexual Consent sebagai penghapus pidana kekerasan seksual (jika RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan)," imbuhnya.
Dalam perkawinan, sambung dia, pengaturan Sexual Consent dan pemberian hak penuh istri atas tubuhnya (My body is mine) tidak sesuai dengan konsep syariat Islam yang mewajibkan istri melayani suami jika tidak ada halangan syar’i. Dia menerangkan, pendidikan seksual sepatutnya mendahulukan upaya pencegahan yakni tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya kekerasan seksual melalui kesigapan dalam mengidentifikasi, mengenali lebih awal tindakan yang mengarah pada perbuatan tersebut, sekaligus peningkatan iman, takwa dan akhlak mulia.
"Fakta membuktikan, kekerasan seksual di negeri ini tidak separah dibandingkan dengan negara-negara lain, karena apa? Karena masyarakatnya masih mempertahankan ajaran agama, adat istiadat, dan Pancasila," tuturnya. (Baca juga: Soal RUU PKS, Menteri PPPA Cari Dukungan Tokoh dan Organisasi Keagamaan)
Dirinya memaparkan undang-undang menjamin keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (Pasal 8 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). "Maka dirasa perlu untuk menegaskan kembali bahayanya sosialisasi Sexual Consent menurut kami sebagai masyarakat, bukan sebagai solusi pencegahan kekerasan seksual. Wallahu’alam," pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda