Ini Lima Catatan ICW atas Putusan Dewas KPK terhadap Firli Bahuri
Kamis, 24 September 2020 - 15:06 WIB
JAKARTA - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ( Dewas KPK ) telah menatuhkan putusan bersalah terhadap Firli Bahuri . Ketua KPK itu dinilai melanggar kode etik sebagai pimpinan lembaga antirasuah dengan bergaya hidup mewah.
Atas putusan itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan lima catatan penting. Pertama, ICW menilai alasan Dewas menyebutkan Firli tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan sangat tidak masuk akal. Sebagai ketua KPK, semestinya Firli memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Kedua, Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan,” kata peneliti Divisi Hukum ICW Kurnia Ramadhana melalui pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (24/9/2020).
(Baca: Putusan Dewas KPK: Firli Bahuri Bersalah Melanggar Kode Etik)
Menurut dia, pada 2018 ICW melaporkan Firli kepada Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Berdasarkan laporan tersebut, pada September tahun 2019 yang lalu KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat.
”Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik,” ujar Kurnia.
Ketiga, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan. Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian ‘paksa’ Kompol Rossa Purbo Bekti. Sehingga, pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif.
Keempat, putusan Dewas terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis. Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
Kelima, lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus Firli, semesti Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.
Atas putusan itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan lima catatan penting. Pertama, ICW menilai alasan Dewas menyebutkan Firli tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan sangat tidak masuk akal. Sebagai ketua KPK, semestinya Firli memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Kedua, Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan,” kata peneliti Divisi Hukum ICW Kurnia Ramadhana melalui pernyataan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (24/9/2020).
(Baca: Putusan Dewas KPK: Firli Bahuri Bersalah Melanggar Kode Etik)
Menurut dia, pada 2018 ICW melaporkan Firli kepada Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Berdasarkan laporan tersebut, pada September tahun 2019 yang lalu KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat.
”Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik,” ujar Kurnia.
Ketiga, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan. Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian ‘paksa’ Kompol Rossa Purbo Bekti. Sehingga, pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif.
Keempat, putusan Dewas terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis. Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri.
Kelima, lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus Firli, semesti Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.
tulis komentar anda