Dengar Masukan Penundaan Pilkada
Selasa, 22 September 2020 - 06:26 WIB
SESUAI rencana, pilkada serentak tahun ini digelar pada 9 Desember nanti. Namun di sisa waktu yang sangat pendek ini, usulan agar gawe demokrasi ini ditunda pelaksanaannya justru kian kencang.
Mingggu (20/9), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tegas meminta pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu agar pilkada ditunda. Usulan ini tak asal lontaran. NU menilai, kendati telah disiapkan dengan protokol kesehatan Covid-19 yang rapi, namun munculnya kerumunan yang rawan tersebarnya virus korona masih sulit diantisipasi. Kondisi inilah yang dinilai NU justru menghadirkan kedaruratan.
Kemarin, giliran Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan usulan serupa. Muhammadiyah menilai, keselamatan jiwa masyarakat lebih utama ketimbang memaksakan gelaran pilkada yang justru masih berpotensi memunculkan bencana. Sejatinya, di luar dua ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia, ada beberapa pihak lain yang turut menyuarakan dorongan serupa. Ini seperti dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan sejumlah elemen lain. Semua satu suara. Pilkada bisa digelar jika situasi pandemi Covid-19 ini sudah relatif terkendali. Syukur-syukur wabah ini segera musnah.
Namun usulan-usulan ini belum membuat pemerintah, DPR, KPU maupun Bawaslu berubah pikiran. DPR seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi II Saan Mustofa menilai, hingga kemarin belum ada wacana penundaan pilkada. Dalam rapat kerja di Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyiratkan tetap menggelar pilkada sesuai jadwal semula. Pemerintah justru mendorong perlunya revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) khususnya yang mengatur soal potensi adanya kerumunan massa. Tito bahkan yakin jika protokol kesehatan benar diterapkan, pilkada justru jadi momentum masif untuk menjadi sarana sosiliasi menekan sebaran Covid.
Tidak ada yang salah dengan argumen yang disampaikan oleh pemerintah, DPR atau para penyelenggara pilkada tersebut. Argumen itu tentu juga sudah didukung dengan diskusi serta skenario yang matang. Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa mengesampaikan masukan-masukan dari ormas maupun para pegiat pemilu yang meminta agar pilkada ditunda. Selain alasan mereka tak menyalahi regulasi, keinginan penundaan juga melihat realitas di lapangan.
Pekan lalu, publik dikagetkan dengan terpaparnya Ketua KPU Pusat Arif Budiman dan sejumlah komisioner dari Covid-19. Kemarin, Menteri Agama Fachrul Razi juga dikabarkan mengalami hal serupa. Para korban Covid ini bukanlah sembarang orang. Kendati memiliki aktivitas tinggi, mereka adalah orang-orang terdidik, terawasi dan memiliki standar kesehatan yang mumpuni. Toh begitu, kedisiplinan yang mereka jalankan belum memberikan jaminan. Nyatanya, virus itu tetap bisa memapar tubuh kapanpun di luar kendali. Tentunya meski mereka selalu bermasker kualitas tinggi, dijaga jaraknya oleh ajudan, rutin cek kesehatan, rajin olahraga dan menjaga imunitas.
Ini menggambarkan Covid-19 begitu mudah menyerang. Pemerintah, DPR dan penyelenggara KPU bisa saja berdalih bahwa kuncinya adalah bagaimana mencegah kerumunan. Gantinya, model virtual disiapkan seperti kampanye, pengambilan nomor urut, konser dan sebagainya.
Namun di lapangan, situasinya tak sesederhana itu. Anjuran untuk tidak berkerumun seperti saat pendaftaran calon beberapa waktu lalu menjadi fakta kuat bahwa tak mudah regulasi-regulasi itu diterapkan. Belum lagi nanti jika sang calon akhirnya menang. Tentu banyak pendukung yang tak mau begitu saja meninggalkan perayaan.
Bolehlah aturan-aturan itu dibuat. Namun tanpa melihat situasi dan kebiasaan di lapangan, aturan itu tak lebih hanya menjadi pajangan. Jika tetap digelar 9 Desember, pilkada bisa jadi menghasilkan pemimpin baru. Namun besarnya potensi kasus-kasus Covid-19 baru yang menyertainya, membuat kebahagiaan itu sejatinya semu.
Mingggu (20/9), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tegas meminta pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu agar pilkada ditunda. Usulan ini tak asal lontaran. NU menilai, kendati telah disiapkan dengan protokol kesehatan Covid-19 yang rapi, namun munculnya kerumunan yang rawan tersebarnya virus korona masih sulit diantisipasi. Kondisi inilah yang dinilai NU justru menghadirkan kedaruratan.
Kemarin, giliran Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan usulan serupa. Muhammadiyah menilai, keselamatan jiwa masyarakat lebih utama ketimbang memaksakan gelaran pilkada yang justru masih berpotensi memunculkan bencana. Sejatinya, di luar dua ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia, ada beberapa pihak lain yang turut menyuarakan dorongan serupa. Ini seperti dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan sejumlah elemen lain. Semua satu suara. Pilkada bisa digelar jika situasi pandemi Covid-19 ini sudah relatif terkendali. Syukur-syukur wabah ini segera musnah.
Namun usulan-usulan ini belum membuat pemerintah, DPR, KPU maupun Bawaslu berubah pikiran. DPR seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi II Saan Mustofa menilai, hingga kemarin belum ada wacana penundaan pilkada. Dalam rapat kerja di Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyiratkan tetap menggelar pilkada sesuai jadwal semula. Pemerintah justru mendorong perlunya revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) khususnya yang mengatur soal potensi adanya kerumunan massa. Tito bahkan yakin jika protokol kesehatan benar diterapkan, pilkada justru jadi momentum masif untuk menjadi sarana sosiliasi menekan sebaran Covid.
Tidak ada yang salah dengan argumen yang disampaikan oleh pemerintah, DPR atau para penyelenggara pilkada tersebut. Argumen itu tentu juga sudah didukung dengan diskusi serta skenario yang matang. Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa mengesampaikan masukan-masukan dari ormas maupun para pegiat pemilu yang meminta agar pilkada ditunda. Selain alasan mereka tak menyalahi regulasi, keinginan penundaan juga melihat realitas di lapangan.
Pekan lalu, publik dikagetkan dengan terpaparnya Ketua KPU Pusat Arif Budiman dan sejumlah komisioner dari Covid-19. Kemarin, Menteri Agama Fachrul Razi juga dikabarkan mengalami hal serupa. Para korban Covid ini bukanlah sembarang orang. Kendati memiliki aktivitas tinggi, mereka adalah orang-orang terdidik, terawasi dan memiliki standar kesehatan yang mumpuni. Toh begitu, kedisiplinan yang mereka jalankan belum memberikan jaminan. Nyatanya, virus itu tetap bisa memapar tubuh kapanpun di luar kendali. Tentunya meski mereka selalu bermasker kualitas tinggi, dijaga jaraknya oleh ajudan, rutin cek kesehatan, rajin olahraga dan menjaga imunitas.
Ini menggambarkan Covid-19 begitu mudah menyerang. Pemerintah, DPR dan penyelenggara KPU bisa saja berdalih bahwa kuncinya adalah bagaimana mencegah kerumunan. Gantinya, model virtual disiapkan seperti kampanye, pengambilan nomor urut, konser dan sebagainya.
Namun di lapangan, situasinya tak sesederhana itu. Anjuran untuk tidak berkerumun seperti saat pendaftaran calon beberapa waktu lalu menjadi fakta kuat bahwa tak mudah regulasi-regulasi itu diterapkan. Belum lagi nanti jika sang calon akhirnya menang. Tentu banyak pendukung yang tak mau begitu saja meninggalkan perayaan.
Bolehlah aturan-aturan itu dibuat. Namun tanpa melihat situasi dan kebiasaan di lapangan, aturan itu tak lebih hanya menjadi pajangan. Jika tetap digelar 9 Desember, pilkada bisa jadi menghasilkan pemimpin baru. Namun besarnya potensi kasus-kasus Covid-19 baru yang menyertainya, membuat kebahagiaan itu sejatinya semu.
(ras)
tulis komentar anda