Pesantren Bebas Covid-19
Jum'at, 18 September 2020 - 06:27 WIB
Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
ADANYA santri aktif di beberapa pondok pesantren (seperti di Jawa Timur) yang dinyatakan positif Covid-19 harus diperhatikan secara serius oleh para pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pesantren itu sendiri. Bagi pemerintah, klaster pesantren menjadi bukti terbaru betapa upaya-upaya untuk menghentikan penularan Covid-19 masih jauh panggang dari api. Sedangkan bagi pihak pesantren, keberadaan santri aktif yang positif Covid-19 menunjukkan betapa rentan pesantren dari serangan virus ini.
Pada tahap tertentu dapat dikatakan, ancaman penyebaran Covid-19 di kalangan pesantren ibarat penyakit yang bergerak di area “saluran pernafasan”. Setidak-tidaknya karena dua hal berikut ini.
Pertama, pesantren selama ini identik dengan tradisi berjamaah yang meniscayakan adanya perkumpulan, perjumpaan bahkan persentuhan secara fisik. Tradisi berjamaah ini berlangsung hampir di semua lini kehidupan pesantren, mulai dari ibadah (seperti shalat berjamaah), belajar-mengajar (baik di kelas maupun di aula) hingga dalam urusan makan-minum. Bahkan tempat-tempat yang sejatinya privat seperti toilet ataupun kamar mandi masih berpotensi menimbulkan kerumunan akibat keterbatasan fasilitas yang ada (tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri yang bisa mencapai ribuan). Tentu kondisi terakhir ini tidak sama di semua pesantren.
Kedua, tradisi penghormatan dan pemuliaan (at-ta’dzim wal ikrom) yang sampai pada tahap mencium tangan, khususnya kepada para guru dan lebih khusus lagi kepada pak kiai sebagai sosok teladan di lingkungan pesantren. Tradisi penghormatan ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan santri dengan guru maupun kiai, melainkan juga dalam hubungan kiai dengan masyarakat sekitar, khususnya keluarga besar para santri.
Padahal, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 justru mensyaratkan adanya hal-hal yang bersifat menjaga jarak atau social distancing dan tidak adanya persentuhan secara fisik, khususnya tangan dan area wajah. Di sinilah terlihat jelas apa yang penulis sampaikan di atas; bahwa ancaman Covid-19 bergerak di wilayah “pernafasan pesantren”.
Walaupun sangat berat, sebagian pesantren mengatur ulang tradisi “kejamaahan” yang ada, sesuai dengan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19. Tapi rasanya tidak mungkin para santri “dijauhkan dan dipisahkan” dari gurunya, khususnya pak kiai. Karena guru dan kiai merupakan mata air pengetahuan sekaligus keteladanan (manba’ul ma’rifah wal uswah), mata air keilmuan sekaligus kebijaksanaan (manba’ul ‘ilmi wal hikmah).
Dalam konteks seperti ini, penyebaran Covid-19 menjadi ujian yang sangat berat bagi semua pihak, tak terkecuali dunia pesantren. Sejauh ini dunia pesantren cukup beragam dalam menyikapi penyebaran Covid-19. Sebagian pesantren memilih sikap ketat sekaligus hati-hati (dengan menerapkan protokol kesehatan). Sedangkan sebagian pesantren mungkin cenderung acuh terhadap ancaman penyebaran Covid-19. Terlebih lagi Covid-19 tak selalu mematikan (bagi sebagian orang).
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
ADANYA santri aktif di beberapa pondok pesantren (seperti di Jawa Timur) yang dinyatakan positif Covid-19 harus diperhatikan secara serius oleh para pihak, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak pesantren itu sendiri. Bagi pemerintah, klaster pesantren menjadi bukti terbaru betapa upaya-upaya untuk menghentikan penularan Covid-19 masih jauh panggang dari api. Sedangkan bagi pihak pesantren, keberadaan santri aktif yang positif Covid-19 menunjukkan betapa rentan pesantren dari serangan virus ini.
Pada tahap tertentu dapat dikatakan, ancaman penyebaran Covid-19 di kalangan pesantren ibarat penyakit yang bergerak di area “saluran pernafasan”. Setidak-tidaknya karena dua hal berikut ini.
Pertama, pesantren selama ini identik dengan tradisi berjamaah yang meniscayakan adanya perkumpulan, perjumpaan bahkan persentuhan secara fisik. Tradisi berjamaah ini berlangsung hampir di semua lini kehidupan pesantren, mulai dari ibadah (seperti shalat berjamaah), belajar-mengajar (baik di kelas maupun di aula) hingga dalam urusan makan-minum. Bahkan tempat-tempat yang sejatinya privat seperti toilet ataupun kamar mandi masih berpotensi menimbulkan kerumunan akibat keterbatasan fasilitas yang ada (tidak sebanding dengan banyaknya jumlah santri yang bisa mencapai ribuan). Tentu kondisi terakhir ini tidak sama di semua pesantren.
Kedua, tradisi penghormatan dan pemuliaan (at-ta’dzim wal ikrom) yang sampai pada tahap mencium tangan, khususnya kepada para guru dan lebih khusus lagi kepada pak kiai sebagai sosok teladan di lingkungan pesantren. Tradisi penghormatan ini tidak hanya berlangsung dalam hubungan santri dengan guru maupun kiai, melainkan juga dalam hubungan kiai dengan masyarakat sekitar, khususnya keluarga besar para santri.
Padahal, upaya pencegahan penyebaran Covid-19 justru mensyaratkan adanya hal-hal yang bersifat menjaga jarak atau social distancing dan tidak adanya persentuhan secara fisik, khususnya tangan dan area wajah. Di sinilah terlihat jelas apa yang penulis sampaikan di atas; bahwa ancaman Covid-19 bergerak di wilayah “pernafasan pesantren”.
Walaupun sangat berat, sebagian pesantren mengatur ulang tradisi “kejamaahan” yang ada, sesuai dengan protokol kesehatan untuk menekan penyebaran Covid-19. Tapi rasanya tidak mungkin para santri “dijauhkan dan dipisahkan” dari gurunya, khususnya pak kiai. Karena guru dan kiai merupakan mata air pengetahuan sekaligus keteladanan (manba’ul ma’rifah wal uswah), mata air keilmuan sekaligus kebijaksanaan (manba’ul ‘ilmi wal hikmah).
Dalam konteks seperti ini, penyebaran Covid-19 menjadi ujian yang sangat berat bagi semua pihak, tak terkecuali dunia pesantren. Sejauh ini dunia pesantren cukup beragam dalam menyikapi penyebaran Covid-19. Sebagian pesantren memilih sikap ketat sekaligus hati-hati (dengan menerapkan protokol kesehatan). Sedangkan sebagian pesantren mungkin cenderung acuh terhadap ancaman penyebaran Covid-19. Terlebih lagi Covid-19 tak selalu mematikan (bagi sebagian orang).
tulis komentar anda