Data Jadi Tambang Emas hingga Picu Konflik, RUU PDP Kian Mendesak
Kamis, 10 September 2020 - 11:36 WIB
JAKARTA - Desakan terhadap Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi ( RUU PDP ) terus bergaung. Beragam isu krusial terus bermunculan. Di sisi lain, berbagai kasus serangan atau peretasan data pribadi juga marak terjadi hingga memicu persoalan besar.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Henri Subiakto mengatakan di era digital saat ini semua aktivitas selalu terkait dengan data pribadi. Misalnya, bila aktif di media sosial maka data pribadi ada di media sosial tersebut. Saat ini, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018 diperkirakan lebih 171,17 juta jiwa atau 64,8% dari total populasi 267,7 juta penduduk Indonesia. (Baca juga: Banyak Regulasi Pelindungan Data Pribadi, Kominfo: Harus Disatukan di RUU PDP)
“Ini yang menyebabkan perlunya sebuah regulasi kuat, komprehensif untuk memastikan perlindungan data pribadi. Karena pengguna media di Indonesia sangat besar,” tutur Henri dalam diskusi daring, Rabu (9/9/2020).
Tak hanya itu, situasi sudah mulai berubah di mana telah terjadi pergeseran bisnis dari uang ke data. Di era ekonomi digital dunia, yang diperlukan kalangan kapitalis adalah menguasai data konsumen terkait dengan pola perilaku manusia di dunia digital. Misalnya, Google dan WhatsApp yang sudah menjadi media yang kini digunakan secara global, justru mereka mendapatkan keuntungan dari data pengguna.
“Jadi, data di masa sekarang dan ke depan akan menjadi rebutan, akan menjadi persoalan yang sangat penting bagi berbagai kekuatan yang ada di dunia maupun nasional. Sehingga ini harus diatur karena menjadi tambang emas, akan terjadi banyak konflik,” imbuh dia.
Di Indonesia, hal itu dibuktikan dengan beberapa kasus peretasan atau serangan data pribadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada Maret 2019, 13 juta akun Bukalapak diretas dari Pakistan dan dijual dengan satuan Bitcoin seharga Rp72 juta per rumpun data. Kemudian, pada Mei 2020, ada 91 juta akun di Tokopedia diretas dan dijual dengan Bitcoin senilai Rp145 juta. Selang beberapa hari, 1,2 juta akun Bhinneka diretas dari Pakistan dan dijual dengan satuan Bitcoin Rp145 juta.
Tidak hanya di Indonesia menjadi sasaran peretasan. Bahkan, aplikasi media sosial Twitter juga diserang, termasuk akun yang dimiliki sejumlah petinggi negara. Begitu juga kasus yang dianggap sebagai the great hack of personal data yaitu kasus Cambridge Analytics yang memanfaatkan data pribadi di Facebook yang dikumpulkan untuk kepentingan mempengaruhi kualitas pemilihan umum (Pemilu) Presiden Amerika Serikat pada 2016.
“Artinya, data juga bisa bermanfaat dalam konteks politik. Memang yang namanya peretasan data pribadi, salah satunya motivasinya itu profit. Ada kepentingan atau keuntungan pribadi maupun organisasi,” jelas dia.
Selain mencari profit, peretasan data pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan analisis data, seperti kasus yang dilakukan Cambridge Analytics. Menurut Henri, pola itu akan menjadi tren ke depannya. Termasuk kepentingan untuk politik karena persaingan dengan kompetitor.
Jika pelindungan ini tidak segera diatur, Indonesia bisa dinilai lalai atau legal liability kalau tidak mampu melindungi data pribadi yang jumlahnya begitu banyak. Hal itu berpotensi memunculkan legal dispute.
Peretasan data pribadi juga berimplikasi terhadap reputasi perusahaan bisnis yang diretas menjadi jatuh. Bahkan, bisa berdampak juga terhadap reputasi negara karena kepercayaan pengguna dan investor kalau data tersebut disalahgunakan. (Baca juga: Sepakat Bahas RUU Perlindungan Data Pribadi, Menkominfo-DPR Siap Tancap Gas)
Karena itu, Henri menyatakan Kominfo terus mendorong agar RUU PDP bisa segera disahkan oleh DPR. Adapun target pengesahan beleid itu rencananya pada Oktober mendatang.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Henri Subiakto mengatakan di era digital saat ini semua aktivitas selalu terkait dengan data pribadi. Misalnya, bila aktif di media sosial maka data pribadi ada di media sosial tersebut. Saat ini, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018 diperkirakan lebih 171,17 juta jiwa atau 64,8% dari total populasi 267,7 juta penduduk Indonesia. (Baca juga: Banyak Regulasi Pelindungan Data Pribadi, Kominfo: Harus Disatukan di RUU PDP)
“Ini yang menyebabkan perlunya sebuah regulasi kuat, komprehensif untuk memastikan perlindungan data pribadi. Karena pengguna media di Indonesia sangat besar,” tutur Henri dalam diskusi daring, Rabu (9/9/2020).
Tak hanya itu, situasi sudah mulai berubah di mana telah terjadi pergeseran bisnis dari uang ke data. Di era ekonomi digital dunia, yang diperlukan kalangan kapitalis adalah menguasai data konsumen terkait dengan pola perilaku manusia di dunia digital. Misalnya, Google dan WhatsApp yang sudah menjadi media yang kini digunakan secara global, justru mereka mendapatkan keuntungan dari data pengguna.
“Jadi, data di masa sekarang dan ke depan akan menjadi rebutan, akan menjadi persoalan yang sangat penting bagi berbagai kekuatan yang ada di dunia maupun nasional. Sehingga ini harus diatur karena menjadi tambang emas, akan terjadi banyak konflik,” imbuh dia.
Di Indonesia, hal itu dibuktikan dengan beberapa kasus peretasan atau serangan data pribadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada Maret 2019, 13 juta akun Bukalapak diretas dari Pakistan dan dijual dengan satuan Bitcoin seharga Rp72 juta per rumpun data. Kemudian, pada Mei 2020, ada 91 juta akun di Tokopedia diretas dan dijual dengan Bitcoin senilai Rp145 juta. Selang beberapa hari, 1,2 juta akun Bhinneka diretas dari Pakistan dan dijual dengan satuan Bitcoin Rp145 juta.
Tidak hanya di Indonesia menjadi sasaran peretasan. Bahkan, aplikasi media sosial Twitter juga diserang, termasuk akun yang dimiliki sejumlah petinggi negara. Begitu juga kasus yang dianggap sebagai the great hack of personal data yaitu kasus Cambridge Analytics yang memanfaatkan data pribadi di Facebook yang dikumpulkan untuk kepentingan mempengaruhi kualitas pemilihan umum (Pemilu) Presiden Amerika Serikat pada 2016.
“Artinya, data juga bisa bermanfaat dalam konteks politik. Memang yang namanya peretasan data pribadi, salah satunya motivasinya itu profit. Ada kepentingan atau keuntungan pribadi maupun organisasi,” jelas dia.
Selain mencari profit, peretasan data pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan analisis data, seperti kasus yang dilakukan Cambridge Analytics. Menurut Henri, pola itu akan menjadi tren ke depannya. Termasuk kepentingan untuk politik karena persaingan dengan kompetitor.
Jika pelindungan ini tidak segera diatur, Indonesia bisa dinilai lalai atau legal liability kalau tidak mampu melindungi data pribadi yang jumlahnya begitu banyak. Hal itu berpotensi memunculkan legal dispute.
Peretasan data pribadi juga berimplikasi terhadap reputasi perusahaan bisnis yang diretas menjadi jatuh. Bahkan, bisa berdampak juga terhadap reputasi negara karena kepercayaan pengguna dan investor kalau data tersebut disalahgunakan. (Baca juga: Sepakat Bahas RUU Perlindungan Data Pribadi, Menkominfo-DPR Siap Tancap Gas)
Karena itu, Henri menyatakan Kominfo terus mendorong agar RUU PDP bisa segera disahkan oleh DPR. Adapun target pengesahan beleid itu rencananya pada Oktober mendatang.
(kri)
tulis komentar anda