Sertifikasi Dai: Antara Radikalisme dan Kontrol Agama
Kamis, 10 September 2020 - 08:02 WIB
JAKARTA - Program Kementerian Agama (Kemenag) tentang dai atau penceramah besertifikat menjadi polemik di masyarakat. Program ini dinilai sebagai bentuk kontrol kehidupan beragama di masyarakat.
Program ini dikhawatirkan akan menjadi bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan siapa saja dai yang berhak berbicara di hadapan umat. Di sisi lain, pemerintah menegaskan program ini merupakan upaya untuk meminimalkan potensi penyebaran paham radikalisme di tengah masyarakat. Selama ini banyak dai yang dinilai terpapar pemikiran radikal dan mendukung paham-paham yang merongrong ideologi negara. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini pada Anak)
Mereka terang-terangan menyampaikan pandangan-pandangan keagamaan mereka secara terbuka di berbagai forum majelis taklim, khotbah Jumat, hingga kuliah tujuh menit (kultum) seusai salat fardu. Akibatnya banyak kalangan umat Islam yang disinyalir bersimpati dan mendukung berbagai pandangan keagamaan yang keras serta kaku.
Pandangan ini misalnya tecermin dari pendapat bahwa NKRI bukanlah representasi dari negara Islam, demokrasi bertentangan dengan Islam, hingga tuntutan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Di level lebih tinggi, sebagian muslim rela melakukan aksi kekerasan yang dibungkus dengan semangat jihad.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, saat ini radikalisme telah menyasar di banyak kalangan terutama kalangan muda. BNPT menyebut paham radikalisme ini misalnya telah masuk di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.
Bahkan BNPT menyebut secara spesifik para mahasiswa jurusan dan program studi bidang kedokteran serta eksakta yang banyak terpapar pemahaman radikal. BNPT juga telah mensinyalir para aparatur sipil negara (ASN) juga banyak terpapar dengan cara pandang keagamaan yang keras dan kaku.
Mereka tersebar di kementerian/lembaga (K/L) negara hingga badan usaha milik negara (BUMN). Kendati demikian, BNPT tidak menyebut secara spesifik nama K/L maupun identitas dan jumlah ASN yang terpapar paham radikalisme. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Fakta-fakta ini mendorong pengambilan langkah tegas dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyebaran paham radikalisme. Beberapa langkah tersebut di antaranya pelarangan penggunaan seragam ASN yang tidak sesuai ketentuan hingga program sertifikasi bagi para penceramah atau dai.
"Ini sudah akan segera jalan, mulai bulan ini dan kalau ini sudah jalan tolong tanpa diumumkan, tolong yang diundang nanti kalau penceramah-penceramah di rumah-rumah ibadah kita, khususnya di lingkungan ASN, hanya mereka yang sudah dibekali sertifikat, penceramah besertifikat," ujar Menteri Agama Fachrul Razi dalam webinar”Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara”, Rabu (2/9/2020).
Program ini dikhawatirkan akan menjadi bentuk intervensi pemerintah dalam menentukan siapa saja dai yang berhak berbicara di hadapan umat. Di sisi lain, pemerintah menegaskan program ini merupakan upaya untuk meminimalkan potensi penyebaran paham radikalisme di tengah masyarakat. Selama ini banyak dai yang dinilai terpapar pemikiran radikal dan mendukung paham-paham yang merongrong ideologi negara. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini pada Anak)
Mereka terang-terangan menyampaikan pandangan-pandangan keagamaan mereka secara terbuka di berbagai forum majelis taklim, khotbah Jumat, hingga kuliah tujuh menit (kultum) seusai salat fardu. Akibatnya banyak kalangan umat Islam yang disinyalir bersimpati dan mendukung berbagai pandangan keagamaan yang keras serta kaku.
Pandangan ini misalnya tecermin dari pendapat bahwa NKRI bukanlah representasi dari negara Islam, demokrasi bertentangan dengan Islam, hingga tuntutan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Di level lebih tinggi, sebagian muslim rela melakukan aksi kekerasan yang dibungkus dengan semangat jihad.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, saat ini radikalisme telah menyasar di banyak kalangan terutama kalangan muda. BNPT menyebut paham radikalisme ini misalnya telah masuk di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.
Bahkan BNPT menyebut secara spesifik para mahasiswa jurusan dan program studi bidang kedokteran serta eksakta yang banyak terpapar pemahaman radikal. BNPT juga telah mensinyalir para aparatur sipil negara (ASN) juga banyak terpapar dengan cara pandang keagamaan yang keras dan kaku.
Mereka tersebar di kementerian/lembaga (K/L) negara hingga badan usaha milik negara (BUMN). Kendati demikian, BNPT tidak menyebut secara spesifik nama K/L maupun identitas dan jumlah ASN yang terpapar paham radikalisme. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Fakta-fakta ini mendorong pengambilan langkah tegas dari pemerintah untuk melakukan pencegahan dini terhadap penyebaran paham radikalisme. Beberapa langkah tersebut di antaranya pelarangan penggunaan seragam ASN yang tidak sesuai ketentuan hingga program sertifikasi bagi para penceramah atau dai.
"Ini sudah akan segera jalan, mulai bulan ini dan kalau ini sudah jalan tolong tanpa diumumkan, tolong yang diundang nanti kalau penceramah-penceramah di rumah-rumah ibadah kita, khususnya di lingkungan ASN, hanya mereka yang sudah dibekali sertifikat, penceramah besertifikat," ujar Menteri Agama Fachrul Razi dalam webinar”Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara”, Rabu (2/9/2020).
tulis komentar anda