Benahi Komunikasi Publik Menteri Agama
Selasa, 08 September 2020 - 07:06 WIB
GEGER soal pernyataan "good looking"untuk menggambarkan pola masuknya radikalisasi dari Menteri Agama (Menag) Fahrul Razi begitu menyita perhatian publik. Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, pernyataan itu seolah makin memicu masalah dan tak perlu. Dampak lebih luas, energi publik menjadi banyak terkuras demi menanggapi pernyataan menteri yang mestinya bisa dihindari tersebut.
Munculnya banyak respons negatif mengindikasikan bahwa pernyataan Menag gagal dipahami publik dengan baik. Ironisnya, sejatinya tak kali ini saja Menag mendapat respons kurang baik di mata publik atas pernyatan-pernyataannya. Hanya sekitar 10 bulan sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menag sedikitnya membuat empat pernyataan yang memicu polemik. Sertifikasi penceramah, pendataan majelis taklim, cadar dan celana cingkrang serta terakhir soal good looking adalah sederet di antaranya.
Lantas bagaimana seorang menteri yang memiliki banyak pembantu dan ahli bisa berulangkali ‘terjebak’ dalam pernyataan yang kontraproduktif semacam itu? Adakah yang salah dengan kinerja para pembantu dan ahli itu? Atau sang menteri sendiri yang kurang lincah dalam berkomunikasi dengan publik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu segera menjadi evaluasi sang menteri agar tidak terus-terus menjadi sasaran kecaman atau perundungan dari masyarakat.
Bisa jadi, secara materi komunikasi, apa yang diungkapkan oleh Menag adalah tidak salah. Sebab faktanya, memang adalah pola atau sistem perekrutan pelaku aksi radikalisme menggunakan langkah demikian. Pun, sebagai seorang jenderal TNI, Menag memiliki basis data yang kuat dari berbagai pihak.
Namun nyatanya, modal data saja ternyata tak cukup. Ketika data itu disampaikan dengan komunikasi yang tidak tepat, justru yang muncul adalah respons negatif. Tak hanya pada kasus good looking, beberapa kali pernyataan Menag selama ini terkesan menggeneralisasi situasi. Kasus good looking misalnya. Sangat mungkin ada satu dua kasus pola perekrtan pelaku radikal dengan mengincar mereka yang memiliki penampilan baik, ahli agama, bahkan hafidz dan menjadi tokoh panutan. Namun kasus ini tentu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran umum.
Sayangnya lagi, ketika pernyataan ini ramai dikutip media dan menjadi perbincangan publik, Menag lamban merespons. Hingga kemarin, Menag belum secara resmi memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang tersiar saat acara webinar bertajuk Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara di channel YouTube KemenPAN-RB, Rabu (2/9) itu. Menag terkesan menghindari publik dan meminta bawahannya untuk merespons.
Di tengah kontroversi ini, Menag selayaknya bisa merespons cepat. Ketika publik merespons negatif, Menag bisa segera membuat klarifikasi dengan narasi yang lebih baik. Di era digital saat ini, mendiamkan polemik justru akan memicu kontroversi berkepanjangan. Langkah Menag untuk memengaruhi opini publik seperti dikonsepsikan oleh Lippmann (1922) pun gagal terwujud. Pesan-pesan terdistorsi, bahkan dikapitalisasi untuk kepentingan politik bagi sebagian kelompok.
Lebih dari itu, situasi ini tentu tidak memberi keuntungan banyak pihak. Tak hanya bagi Menag dan jajarannya, publik pun seolah menjadi larut dalam ketidakpastian.
Respons cepat dan memperbaiki narasi komunikasi dengan memanfaatkan media massa serta beragam platform digital adalah keniscayaan. Di era yang makin terbuka ini, publik membutuhkan figur-figur pembantu presiden yang juga tak hanya produktif secara verbal, namun juga memberikan ketenangan. Tentunya melalui kebijakan dan aksi nyatanya.
Munculnya banyak respons negatif mengindikasikan bahwa pernyataan Menag gagal dipahami publik dengan baik. Ironisnya, sejatinya tak kali ini saja Menag mendapat respons kurang baik di mata publik atas pernyatan-pernyataannya. Hanya sekitar 10 bulan sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menag sedikitnya membuat empat pernyataan yang memicu polemik. Sertifikasi penceramah, pendataan majelis taklim, cadar dan celana cingkrang serta terakhir soal good looking adalah sederet di antaranya.
Lantas bagaimana seorang menteri yang memiliki banyak pembantu dan ahli bisa berulangkali ‘terjebak’ dalam pernyataan yang kontraproduktif semacam itu? Adakah yang salah dengan kinerja para pembantu dan ahli itu? Atau sang menteri sendiri yang kurang lincah dalam berkomunikasi dengan publik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu segera menjadi evaluasi sang menteri agar tidak terus-terus menjadi sasaran kecaman atau perundungan dari masyarakat.
Bisa jadi, secara materi komunikasi, apa yang diungkapkan oleh Menag adalah tidak salah. Sebab faktanya, memang adalah pola atau sistem perekrutan pelaku aksi radikalisme menggunakan langkah demikian. Pun, sebagai seorang jenderal TNI, Menag memiliki basis data yang kuat dari berbagai pihak.
Namun nyatanya, modal data saja ternyata tak cukup. Ketika data itu disampaikan dengan komunikasi yang tidak tepat, justru yang muncul adalah respons negatif. Tak hanya pada kasus good looking, beberapa kali pernyataan Menag selama ini terkesan menggeneralisasi situasi. Kasus good looking misalnya. Sangat mungkin ada satu dua kasus pola perekrtan pelaku radikal dengan mengincar mereka yang memiliki penampilan baik, ahli agama, bahkan hafidz dan menjadi tokoh panutan. Namun kasus ini tentu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran umum.
Sayangnya lagi, ketika pernyataan ini ramai dikutip media dan menjadi perbincangan publik, Menag lamban merespons. Hingga kemarin, Menag belum secara resmi memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang tersiar saat acara webinar bertajuk Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara di channel YouTube KemenPAN-RB, Rabu (2/9) itu. Menag terkesan menghindari publik dan meminta bawahannya untuk merespons.
Di tengah kontroversi ini, Menag selayaknya bisa merespons cepat. Ketika publik merespons negatif, Menag bisa segera membuat klarifikasi dengan narasi yang lebih baik. Di era digital saat ini, mendiamkan polemik justru akan memicu kontroversi berkepanjangan. Langkah Menag untuk memengaruhi opini publik seperti dikonsepsikan oleh Lippmann (1922) pun gagal terwujud. Pesan-pesan terdistorsi, bahkan dikapitalisasi untuk kepentingan politik bagi sebagian kelompok.
Lebih dari itu, situasi ini tentu tidak memberi keuntungan banyak pihak. Tak hanya bagi Menag dan jajarannya, publik pun seolah menjadi larut dalam ketidakpastian.
Respons cepat dan memperbaiki narasi komunikasi dengan memanfaatkan media massa serta beragam platform digital adalah keniscayaan. Di era yang makin terbuka ini, publik membutuhkan figur-figur pembantu presiden yang juga tak hanya produktif secara verbal, namun juga memberikan ketenangan. Tentunya melalui kebijakan dan aksi nyatanya.
(ras)
tulis komentar anda