Puasa Ramadan: Menyalakan Kembali Obor Peradaban yang Redup
Minggu, 23 Maret 2025 - 07:27 WIB
Dalam konteks hari ini, dunia Islam tampaknya masih tertinggal dalam banyak aspek pembangunan. Geopolitik Islam saat ini didominasi oleh ketegangan di Timur Tengah, ketimpangan ekonomi antara negara-negara Muslim, serta kurangnya koordinasi dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan transformasi digital. Jika kita ingin mengembalikan kejayaan peradaban, maka semangat puasa harus diterjemahkan dalam tindakan nyata. Kesabaran yang ditempa dalam Ramadan harus menjelma dalam kesungguhan belajar dan bekerja, disiplin spiritual harus melahirkan etika publik yang bersih dari korupsi, dan solidaritas sosial harus menguatkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan bersama. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana nilai-nilai
Ramadan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, kita masih berhadapan dengan berbagai tantangan seperti ketimpangan sosial, lemahnya budaya literasi, serta korupsi yang merajalela. Jika ingin membangun peradaban yang maju, kita harus memulai dari diri sendiri dengan menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan kerja keras sebagaimana yang diajarkan dalam puasa.
Di tingkat global, Indonesia memiliki potensi besar dalam memainkan peran geopolitik Islam yang lebih aktif. Dengan pendekatan Islam Nusantara yang moderat, Indonesia dapat menjadi jembatan dialog antarnegara Muslim, serta menginisiasi kerja sama ekonomi dan teknologi berbasis nilai-nilai Islam. Semangat gotong royong dan persaudaraan yang ditekankan dalam Ramadan harus diimplementasikan dalam diplomasi Indonesia di dunia Islam.
Puasa mengajarkan kita bahwa peradaban tidak dibangun dalam semalam. Seperti air yang menetes mengikis batu, perubahan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Sejarah membuktikan bahwa keunggulan peradaban Islam di masa lalu lahir dari upaya kolektif yang berlandaskan ilmu dan kebajikan. Ramadan, dengan segala hikmahnya, mengingatkan kita untuk kembali ke jalan itu: membangun peradaban dengan tekad, disiplin, dan keluhuran akhlak.
Kini, di penghujung Ramadan, refleksi ini semakin mendalam. Sudahkah kita menyerap hikmah bulan suci ini? Sudahkah kita menjadikan Ramadan sebagai momentum perubahan diri dan masyarakat? Jangan biarkan puasa hanya menjadi rutinitas tanpa transformasi. Sebagaimana fajar Idulfitri menandai kemenangan, biarlah kemenangan itu bukan hanya dalam menahan lapar, tetapi dalam membangun karakter yang lebih kuat, jiwa yang lebih tangguh, dan tekad yang lebih besar untuk menyalakan kembali obor peradaban. Sebab, peradaban yang agung bukanlah warisan, tetapi hasil dari ikhtiar yang tak henti-hentinya dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tercerahkan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengingatkan, "Peradaban yang mulia berdiri di atas ketakwaan dan ilmu. Jika ketakwaan pudar, akhlak runtuh. Jika ilmu diabaikan, kebodohan menguasai, dan kehancuran tak terhindarkan."
Ramadan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, kita masih berhadapan dengan berbagai tantangan seperti ketimpangan sosial, lemahnya budaya literasi, serta korupsi yang merajalela. Jika ingin membangun peradaban yang maju, kita harus memulai dari diri sendiri dengan menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan kerja keras sebagaimana yang diajarkan dalam puasa.
Di tingkat global, Indonesia memiliki potensi besar dalam memainkan peran geopolitik Islam yang lebih aktif. Dengan pendekatan Islam Nusantara yang moderat, Indonesia dapat menjadi jembatan dialog antarnegara Muslim, serta menginisiasi kerja sama ekonomi dan teknologi berbasis nilai-nilai Islam. Semangat gotong royong dan persaudaraan yang ditekankan dalam Ramadan harus diimplementasikan dalam diplomasi Indonesia di dunia Islam.
Puasa mengajarkan kita bahwa peradaban tidak dibangun dalam semalam. Seperti air yang menetes mengikis batu, perubahan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Sejarah membuktikan bahwa keunggulan peradaban Islam di masa lalu lahir dari upaya kolektif yang berlandaskan ilmu dan kebajikan. Ramadan, dengan segala hikmahnya, mengingatkan kita untuk kembali ke jalan itu: membangun peradaban dengan tekad, disiplin, dan keluhuran akhlak.
Kini, di penghujung Ramadan, refleksi ini semakin mendalam. Sudahkah kita menyerap hikmah bulan suci ini? Sudahkah kita menjadikan Ramadan sebagai momentum perubahan diri dan masyarakat? Jangan biarkan puasa hanya menjadi rutinitas tanpa transformasi. Sebagaimana fajar Idulfitri menandai kemenangan, biarlah kemenangan itu bukan hanya dalam menahan lapar, tetapi dalam membangun karakter yang lebih kuat, jiwa yang lebih tangguh, dan tekad yang lebih besar untuk menyalakan kembali obor peradaban. Sebab, peradaban yang agung bukanlah warisan, tetapi hasil dari ikhtiar yang tak henti-hentinya dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tercerahkan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengingatkan, "Peradaban yang mulia berdiri di atas ketakwaan dan ilmu. Jika ketakwaan pudar, akhlak runtuh. Jika ilmu diabaikan, kebodohan menguasai, dan kehancuran tak terhindarkan."
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda