Berebut Jaksa Pinangki

Kamis, 03 September 2020 - 08:35 WIB
"Namun, dalam perjalanannya permohonan fatwa itu mungkin sempat dibicarakan dengan orang di MA level rendah, temannya atau apa, tapi terbukti kemudian batal dan gagal. Karena batal dan gagal, ya pakai permohonan fatwa itu kemudian ya tidak berlanjut," ujarnya. (Baca juga: Dilanda Kekeringan, Petani Bogor Diminta Segera Urus Klaim Asuransi)

Oleh karena pengurusan fatwa tidak berlanjut, diduga Djoko Tjandra memilih strategi lain untuk mengajukan di PN Jakarta Selatan. Setelah itu, diduga Jaksa Pinangki dan Anita pecah kongsi lantaran adanya uang yang direalisasikan Djoko Tjandra lebih sedikit daripada yang dijanjikan. "Dalam pengajuan PK, Pinangki sudah tidak diajak lagi oleh Anita. Jadi, sudah pecah kongsi. Mungkin alasannya ya uang yang menjadi pemicu pecah kongsi," kata Boyamin.

Diketahui, pada proses pengajuan PK Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan tidak diterima. Sejumlah pejabat turut terseret skandal pelarian Djoko Tjandra yang awalnya disebut hadir langsung mendaftarkan diri dan membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan padahal masih berstatus buronan.

Bareskrim Polri sendiri telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Kedua petinggi Polri itu diduga menerima suap dari Djoko dengan membuat surat sakti untuk masuk ke Indonesia dan membantunya melarikan diri kembali.

Tersangka lainnya Djoko sendiri dan seorang pengusaha, Tommy Sumardi. Selain mereka, polisi juga menetapkan pengacara Djoko, yakni Anita Kolopaking. Bareskrim Polri membagi tiga kategori perkara yang melibatkan Djoko Tjandra. Pertama, klaster tahun 2008-2009 tentang penyalahgunaan wewenang. Kedua, klaster November 2019 ihwal pertemuannya dengan Anita dan Prasetijo. Ketiga, klaster penghapusan red notice maupun pembuatan dan penggunaan surat jalan-surat kesehatan palsu. (Lihat videonya: Lonjakan Pasien Corona di RSUP Persahabatan Jakarta Timur)

Harta Pinangki

Jika menilik Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Pinangki, tercatat dia tidak ada laporan mobil seharga kurang lebih Rp1,7 miliar itu. Terakhir Pinangki melaporkan LHKPN pada 31 Maret 2019 dengan jabatan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II.

Saat itu, total harta yang disampaikan Rp6.838.500.000. Pinangki mencatatkan kepemilikan mobil, yaitu Nissan Teana, Toyota Alphard, dan Daihatsu Xenia, dan ketiganya tertulis senilai Rp630 juta.

Berdasarkan LHKPN-nya, kekayaan Pinangki didominasi tanah dan bangunan yang berada di Bogor dan Jakarta Barat. (M Yamin/SINDOnews/iNews/Okezone)
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(ysw)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More