Selamat Datang Tahun Transformasi
Minggu, 05 Januari 2025 - 11:40 WIB
Dengan demikian, rasa kepemilikan bersama terhadap proyek pembangunan dapat terbangun, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan anggaran. Fokus pembangunan juga harus diarahkan pada sektor-sektor prioritas yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Tahun 2025 menjadi titik krusial untuk merealisasikan janji-janji politik yang telah disampaikan sebelumnya. Pemerintah diharapkan mampu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan mendorong kepercayaan publik terhadap pemerintahan, serta menyusun program yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas.
Saat ini, salah satu tantangan besar yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah pelemahan nilai tukar rupiah, yang berdampak signifikan pada biaya produksi di sektor manufaktur. Pada akhir 2024, nilai tukar rupiah melemah hingga Rp16.098 per dolar AS, yang merupakan posisi yang cukup rendah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini memicu peningkatan biaya terutama bahan baku dan barang modal yang sebagian besar masih bergantung pada impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kebutuhan bahan baku industri Indonesia berasal dari impor. Akibatnya, fluktuasi nilai tukar memperburuk tekanan pada industri manufaktur, khususnya di sektor padat karya yang sangat sensitif terhadap perubahan biaya produksi.
Peningkatan biaya produksi ini menurunkan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar global, terutama dalam sektor padat karya yang bersaing dengan produk dari negara lain, seperti Tiongkok. Sejatinya, jika ditelaah lebih lanjut, pelemahan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal atau gejolak pasar global, tetapi juga dipengaruhi oleh kelemahan sistem kelembagaan di dalam negeri.
Kelembagaan yang lemah – terutama dalam aspek tata kelola pemerintahan (governance) – menjadi hambatan utama dalam meningkatkan kinerja sektor publik. Ketidakjelasan arah kebijakan, tumpang tindih regulasi, serta lemahnya koordinasi antar-kementerian membuat berbagai program pembangunan berjalan tidak optimal.
Akibatnya, sektor-sektor strategis yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi tidak mampu memberikan kontribusi maksimal. Oleh sebab itu, penguatan kelembagaan menjadi kunci utama untuk memperbaiki tata kelola yang lebih efektif dan akuntabel.
Di samping itu, kinerja kementerian sebagai pelaksana kebijakan publik juga menjadi sorotan dalam upaya meningkatkan efektivitas pembangunan. Selama ini, banyak program kementerian yang lebih berorientasi pada keinginan atau inisiatif sektoral semata, tanpa mempertimbangkan kebutuhan pembangunan nasional yang bersifat prioritas. Padahal, setiap kementerian seharusnya bekerja sesuai dengan mandat dan penugasan yang diberikan oleh negara, dengan fokus pada pencapaian hasil yang terukur dan berdampak langsung bagi masyarakat.
Kementerian harus mampu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan riil pembangunan, bukan sekadar memenuhi agenda politik atau kepentingan jangka pendek. Artinya, dalam upaya memperkuat pembangunan nasional, kementerian harus memastikan setiap kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan pembangunan yang strategis, bukan sekadar keinginan sektoral.
Tahun 2025 menjadi titik krusial untuk merealisasikan janji-janji politik yang telah disampaikan sebelumnya. Pemerintah diharapkan mampu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan mendorong kepercayaan publik terhadap pemerintahan, serta menyusun program yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas.
Problematika Tata Kelola Ekonomi Indonesia
Saat ini, salah satu tantangan besar yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah pelemahan nilai tukar rupiah, yang berdampak signifikan pada biaya produksi di sektor manufaktur. Pada akhir 2024, nilai tukar rupiah melemah hingga Rp16.098 per dolar AS, yang merupakan posisi yang cukup rendah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini memicu peningkatan biaya terutama bahan baku dan barang modal yang sebagian besar masih bergantung pada impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kebutuhan bahan baku industri Indonesia berasal dari impor. Akibatnya, fluktuasi nilai tukar memperburuk tekanan pada industri manufaktur, khususnya di sektor padat karya yang sangat sensitif terhadap perubahan biaya produksi.
Peningkatan biaya produksi ini menurunkan daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar global, terutama dalam sektor padat karya yang bersaing dengan produk dari negara lain, seperti Tiongkok. Sejatinya, jika ditelaah lebih lanjut, pelemahan ekonomi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak semata-mata disebabkan oleh faktor eksternal atau gejolak pasar global, tetapi juga dipengaruhi oleh kelemahan sistem kelembagaan di dalam negeri.
Kelembagaan yang lemah – terutama dalam aspek tata kelola pemerintahan (governance) – menjadi hambatan utama dalam meningkatkan kinerja sektor publik. Ketidakjelasan arah kebijakan, tumpang tindih regulasi, serta lemahnya koordinasi antar-kementerian membuat berbagai program pembangunan berjalan tidak optimal.
Akibatnya, sektor-sektor strategis yang seharusnya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi tidak mampu memberikan kontribusi maksimal. Oleh sebab itu, penguatan kelembagaan menjadi kunci utama untuk memperbaiki tata kelola yang lebih efektif dan akuntabel.
Di samping itu, kinerja kementerian sebagai pelaksana kebijakan publik juga menjadi sorotan dalam upaya meningkatkan efektivitas pembangunan. Selama ini, banyak program kementerian yang lebih berorientasi pada keinginan atau inisiatif sektoral semata, tanpa mempertimbangkan kebutuhan pembangunan nasional yang bersifat prioritas. Padahal, setiap kementerian seharusnya bekerja sesuai dengan mandat dan penugasan yang diberikan oleh negara, dengan fokus pada pencapaian hasil yang terukur dan berdampak langsung bagi masyarakat.
Kementerian harus mampu merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan riil pembangunan, bukan sekadar memenuhi agenda politik atau kepentingan jangka pendek. Artinya, dalam upaya memperkuat pembangunan nasional, kementerian harus memastikan setiap kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan pembangunan yang strategis, bukan sekadar keinginan sektoral.
Lihat Juga :
tulis komentar anda