Pelibatan Militer di Sektor Pertanian Harus Dibatasi agar Tak Tumpang Tindih
Minggu, 22 Desember 2024 - 18:38 WIB
JAKARTA - Langkah Presiden Prabowo Subianto menempatkan sektor pangan dan pertanian sebagai isu publik yang strategis dan prioritas dinilai tepat. Meskipun timbul keresahan publik akibat pelibatan masif TNI aktif dan cara-cara militer dalam teknis implementasi kebijakannya.
"Militeristik yang diidentikkan dengan kekerasan (violence) masih belum otomatis mudah diterima masyarakat sipil, apalagi bagi dunia pangan dan pertanian," ujar politikus Partai Golkar Dina Hidayana, Minggu (22/12/2014).
Dina melihat strategi ini perlu dipandang sebagai jalan tengah dalam mengatasi kondisi abnormal. Meskipun pascareformasi, supremasi sipil dimaksudkan untuk memisahkan secara tegas peran sipil dan militer.
"Namun faktanya, hingga saat ini kecenderungan sipil dan birokrasi kita masih tertatih dalam menertibkan diri secara mandiri, karenanya perlu pendampingan dalam hal penegasan sistem komando dan kedisiplinan," ujar Ketua Umum IKATANI ini.
Reformasi birokrasi yang telah dijalankan selama beberapa dekade, kata Dina, meskipun terus mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, namun belum cukup signifikan dibandingkan dengan kemajuan negara-negara di kawasan regional dan global.
Berdasarkan skor yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2023 dalam mengukur kinerja dan efektivitas pemerintahan di dunia, indeks efektivitas birokrasi Indonesia masih berada di peringkat 73 dari 214 negara. Sedangkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 bahkan anjlok ke rangking 115 dari 180 negara, dengan skor yang sama persis dengan 2014.
"Sistem pemilu proporsional terbuka ditengarai sebagai hulu masifnya korupsi dan inefisiensi birokrasi," ucapnya.
Ketua Depinas Soksi ini memandang perlunya mengelaborasi keterpaduan peran militer dalam menjembatani kegentingan situasi di proses peralihan akibat tingginya inefisiensi dan mengguritanya korupsi di semua lini.
"Dalam konteks ini, penyiapan produksi skala nasional dan melancarkan rantai pasok pangan perlu pendampingan militer untuk mengatasi kebuntuan lapangan, misalnya menyangkut konflik pengadaan atau sengketa lahan, percepatan produksi, distribusi yang lebih efektif efisien ataupun penguatan manajemen," ujarnya.
Militer secara natural telah terlatih dengan pola komando yang terintegrasi untuk mencapai target sasaran yang lebih terukur. Selain itu ketegasan, kedisiplinan serta keseriusan dalam proses merupakan ciri khas pola militer.
Sementara sipil bisa mengadopsi tersebut di masa transisi, sehingga diharapkan terjadi akselerasi swasembada pangan sebagaimana misi bersama. "Meskipun demikian, supremasi sipil tetap fundamen dalam demokrasi, karenanya pelibatan aparat militer aktif hanya bisa dilakukan dalam rentang waktu, kondisi dan skala tertentu agar tidak menjadi bias, tumpang tindih dan kebablasan," kata alumni S3 Universitas Pertahanan (Unhan) ini.
"Militeristik yang diidentikkan dengan kekerasan (violence) masih belum otomatis mudah diterima masyarakat sipil, apalagi bagi dunia pangan dan pertanian," ujar politikus Partai Golkar Dina Hidayana, Minggu (22/12/2014).
Dina melihat strategi ini perlu dipandang sebagai jalan tengah dalam mengatasi kondisi abnormal. Meskipun pascareformasi, supremasi sipil dimaksudkan untuk memisahkan secara tegas peran sipil dan militer.
"Namun faktanya, hingga saat ini kecenderungan sipil dan birokrasi kita masih tertatih dalam menertibkan diri secara mandiri, karenanya perlu pendampingan dalam hal penegasan sistem komando dan kedisiplinan," ujar Ketua Umum IKATANI ini.
Reformasi birokrasi yang telah dijalankan selama beberapa dekade, kata Dina, meskipun terus mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, namun belum cukup signifikan dibandingkan dengan kemajuan negara-negara di kawasan regional dan global.
Berdasarkan skor yang dikeluarkan Bank Dunia pada 2023 dalam mengukur kinerja dan efektivitas pemerintahan di dunia, indeks efektivitas birokrasi Indonesia masih berada di peringkat 73 dari 214 negara. Sedangkan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 bahkan anjlok ke rangking 115 dari 180 negara, dengan skor yang sama persis dengan 2014.
"Sistem pemilu proporsional terbuka ditengarai sebagai hulu masifnya korupsi dan inefisiensi birokrasi," ucapnya.
Ketua Depinas Soksi ini memandang perlunya mengelaborasi keterpaduan peran militer dalam menjembatani kegentingan situasi di proses peralihan akibat tingginya inefisiensi dan mengguritanya korupsi di semua lini.
"Dalam konteks ini, penyiapan produksi skala nasional dan melancarkan rantai pasok pangan perlu pendampingan militer untuk mengatasi kebuntuan lapangan, misalnya menyangkut konflik pengadaan atau sengketa lahan, percepatan produksi, distribusi yang lebih efektif efisien ataupun penguatan manajemen," ujarnya.
Militer secara natural telah terlatih dengan pola komando yang terintegrasi untuk mencapai target sasaran yang lebih terukur. Selain itu ketegasan, kedisiplinan serta keseriusan dalam proses merupakan ciri khas pola militer.
Sementara sipil bisa mengadopsi tersebut di masa transisi, sehingga diharapkan terjadi akselerasi swasembada pangan sebagaimana misi bersama. "Meskipun demikian, supremasi sipil tetap fundamen dalam demokrasi, karenanya pelibatan aparat militer aktif hanya bisa dilakukan dalam rentang waktu, kondisi dan skala tertentu agar tidak menjadi bias, tumpang tindih dan kebablasan," kata alumni S3 Universitas Pertahanan (Unhan) ini.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda