Pengilon di Galeri Nasional dan Isu Beredel
Minggu, 22 Desember 2024 - 05:49 WIB
Kita semua tahu bahwa kesenian dan elemen di dalamnya, termasuk infrastruktur seperti Galeri Nasional adalah simbol kekuasaan negara yang sejatinya terlemah. Negara belum menjadikan kesenian menjadi salah satu sektor penting menjadi Investasi Budaya yang dinamis dan kelak akan dipetik dalam rentang 15 sampai 20 tahun dari sekarang bagi Indonesia. Kesenian masih menjadi sisipan dan seremoni-seremoni kultural semata bagi negara. Secara sosiologis, Galeri Nasional Indonesia (GNI) itu sewajarnya menjadi manifestasi dari sebuah wadah bertemunya kepetingan ekosistem seni yang ada di level tinggi: Symbolic Capital.
GNI memiliki modal simbolik kekuasaan tentang seni yang merangkul menjadi satu kekuatan atas relasi modal sosial dan politik (seniman dan seluruh kompleksitas komunitas didalamnya), selain modal kultural (para cendekia seni serta kampus-kampus perguruan tinggi juga institusi sektor privat) dan terakhir adalah modal ekonomi (dengan menimbang adanya Dana Abadi Kebudayaan dan APBN untuk program-program kesenian).
Namun, saat sama implementasi UU Pemajuan Kebudayaan belum maksimal direalisasikan dan Galeri Nasional bukanlah yang menjadi garda terdepan tentang nilai-nilai ke-Indonesiaan yang menjadi soft power dalam diplomasi penting eksistensi negeri yang majemuk dan kaya budaya. Belum genap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah isu tentang pemberedelan karya seni benar-benar wajib disikapi dengan serius.
Ingatan tentang semangat menggebu pemerintahan baru dengan Asta Cita-nya, yang mencantumkan, bahkan sampai tiga kali relasinya dengan kekuatan ekonomi kreatif, kesempatan terbuka tentang industri kreatif sampai kekuatan budaya. Dalam hal ini konteks kesenian dan GNI, hendaknya memang menjadi pilar sungguh-sungguh menuju apa yang "dicitakan" dengan pernyataan melangit tentang keharmonisan, menjaga ketahanan negara, sampai upaya membuka kesempatan kerja sebagai manifestasi fasilitas untuk kemandirian anak negeri.
Intinya, isu pemberedelan atau pembatalan atau penundaan pameran Seni Yos Suprapto, yang sangat semrawut kronologinya terinfo ke publik dan argumen-argumen birokratis yang normatif serta diterima dengan cara menduga-duga dan meraba-raba, selain sistem pengambilan keputusan yang terburu-buru sangat memprihatinkan; dan hal itu jangan sampai terulang pada kasus sejenis di masa depan.
Sebagian kasus, memerlukan tak hanya persoalan secara teknis namun strategi substansial—semisal adanya manajemen krisis tatkala beririsan dengan isu politik nasional. Sebaliknya, kasus pemberedelan ini membuncah hikmah, membuka esensi yang sangat esensial, yang belum tersentuh, yakni: GNI dan seluruh aparatus di dalamnya, yakni struktur birokrasinya, sama sekali belum menunjukkan mewakili cita-cita besar Asta Cita dalam fundamen pembangunan manusia.
Status Galeri Nasional Indonesia atau Museum Nasional sewajarnya ada di bawah langsung komando Presiden Prabowo atau badan eksekutif langsung bentukan insitusi tinggi negara; dan meminta mulai dari pembahasan, pemilihan birokratnya, dan pelaksanaaan program dilaporkan dan di bawah Presiden. Menimbang strategisnya kesenian adalah bagian dari kebudayaan mewakili paras martabat dalam kebijakan soft power politik dan ekonomi dalam jangka panjang untuk Indonesia.
Jika di Amerika Serikat minimal memiliki semacam institusi National Endowments for The Arts yang dibentuk oleh UU di Kongres sejak 1965 sebagai lembaga independen negara Federal, Direktur Galeri Nasional semestinya bersanding setara bersama Dewan Kurator sebagai garda terdepan politik kebudayaan dan duta Indonesia tentang kesenian di mancanegara dan kekuataan mandiri secara internal di dalam negeri.
Balik pada isu pemberedelan, sejatinya pameran seni yang menyuarakan secara lantang sebentuk visualisasi kritik yang tajam bukanlah sebuah ancaman bagi negara. Karya – karya lukisan, patung, fotografi dan desain-desain yang provokatif justru membuka kesadaran bersama. Bahwa hak-hak warga terproteksi dalam iklim demokrasi sesuai amanat UUD 1945, selain mencerdaskan kehidupan bangsa pun memberi ruang dialog lebih luas bagi warga.
GNI memiliki modal simbolik kekuasaan tentang seni yang merangkul menjadi satu kekuatan atas relasi modal sosial dan politik (seniman dan seluruh kompleksitas komunitas didalamnya), selain modal kultural (para cendekia seni serta kampus-kampus perguruan tinggi juga institusi sektor privat) dan terakhir adalah modal ekonomi (dengan menimbang adanya Dana Abadi Kebudayaan dan APBN untuk program-program kesenian).
Namun, saat sama implementasi UU Pemajuan Kebudayaan belum maksimal direalisasikan dan Galeri Nasional bukanlah yang menjadi garda terdepan tentang nilai-nilai ke-Indonesiaan yang menjadi soft power dalam diplomasi penting eksistensi negeri yang majemuk dan kaya budaya. Belum genap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah isu tentang pemberedelan karya seni benar-benar wajib disikapi dengan serius.
Ingatan tentang semangat menggebu pemerintahan baru dengan Asta Cita-nya, yang mencantumkan, bahkan sampai tiga kali relasinya dengan kekuatan ekonomi kreatif, kesempatan terbuka tentang industri kreatif sampai kekuatan budaya. Dalam hal ini konteks kesenian dan GNI, hendaknya memang menjadi pilar sungguh-sungguh menuju apa yang "dicitakan" dengan pernyataan melangit tentang keharmonisan, menjaga ketahanan negara, sampai upaya membuka kesempatan kerja sebagai manifestasi fasilitas untuk kemandirian anak negeri.
Intinya, isu pemberedelan atau pembatalan atau penundaan pameran Seni Yos Suprapto, yang sangat semrawut kronologinya terinfo ke publik dan argumen-argumen birokratis yang normatif serta diterima dengan cara menduga-duga dan meraba-raba, selain sistem pengambilan keputusan yang terburu-buru sangat memprihatinkan; dan hal itu jangan sampai terulang pada kasus sejenis di masa depan.
Sebagian kasus, memerlukan tak hanya persoalan secara teknis namun strategi substansial—semisal adanya manajemen krisis tatkala beririsan dengan isu politik nasional. Sebaliknya, kasus pemberedelan ini membuncah hikmah, membuka esensi yang sangat esensial, yang belum tersentuh, yakni: GNI dan seluruh aparatus di dalamnya, yakni struktur birokrasinya, sama sekali belum menunjukkan mewakili cita-cita besar Asta Cita dalam fundamen pembangunan manusia.
Status Galeri Nasional Indonesia atau Museum Nasional sewajarnya ada di bawah langsung komando Presiden Prabowo atau badan eksekutif langsung bentukan insitusi tinggi negara; dan meminta mulai dari pembahasan, pemilihan birokratnya, dan pelaksanaaan program dilaporkan dan di bawah Presiden. Menimbang strategisnya kesenian adalah bagian dari kebudayaan mewakili paras martabat dalam kebijakan soft power politik dan ekonomi dalam jangka panjang untuk Indonesia.
Jika di Amerika Serikat minimal memiliki semacam institusi National Endowments for The Arts yang dibentuk oleh UU di Kongres sejak 1965 sebagai lembaga independen negara Federal, Direktur Galeri Nasional semestinya bersanding setara bersama Dewan Kurator sebagai garda terdepan politik kebudayaan dan duta Indonesia tentang kesenian di mancanegara dan kekuataan mandiri secara internal di dalam negeri.
Balik pada isu pemberedelan, sejatinya pameran seni yang menyuarakan secara lantang sebentuk visualisasi kritik yang tajam bukanlah sebuah ancaman bagi negara. Karya – karya lukisan, patung, fotografi dan desain-desain yang provokatif justru membuka kesadaran bersama. Bahwa hak-hak warga terproteksi dalam iklim demokrasi sesuai amanat UUD 1945, selain mencerdaskan kehidupan bangsa pun memberi ruang dialog lebih luas bagi warga.
Lihat Juga :
tulis komentar anda