Justru di Ruang Siber, Indonesia Juga Harus Jaya!

Sabtu, 05 Oktober 2024 - 11:14 WIB
Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia R Mokhamad Luthfi. FOTO/IST
R Mokhamad Luthfi

Alumnus Program Pascasarjana Hubungan Internasional UI

PhD Cand di National Chengchi University, Taiwan



Dosen Tetap Universitas Al Azhar Indonesia

RENCANA Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk matra keempat di organisasi Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) merupakan langkah yang tepat meski cukup terlambat. Sejak masifnya penggunaan internet dan teknologi digital, Indonesia merupakan target empuk untuk serangan siber . Di ASEAN, berdasarkan data yang disampaikan oleh Michael Raska (2018) Indonesia merupakan negara kedua setelah Vietnam yang mendapatkan serangan siber terbanyak.

Paling tidak, terdapat 50.000 serangan siber per hari yang menghantam Indonesia. Lebih dari satu dekade yang lalu, yaitu sepanjang tahun 2010-2013 saja, Indonesia menghadapi serangan siber sebanyak 3,9 juta serangan. Oleh karenanya, pembentukan pasukan siber yang memiliki mindset serangan siber sebagai ancaman strategis terhadap pertahanan nasional, perlu didukung sepenuhnya.

Peretasan dan Kegagalan Institusi Siber Nasional

Peretasan Pusat Data Nasional (PDN) 2 Sementara pada Juni 2024 merupakan contoh nyata ketidaksiapan badan yang mengurusi siber untuk mengantisipasi dan menangkis serangan siber berjenis ransomware tersebut. Peretas yang menyebut Brain Cipher meminta tebusan sebesar USD8 juta atau sekira Rp122 miliar. Meski kasus ini kemudian meredup seiring dengan pemerintah mendapatkan kunci deskripsi untuk membuka akses membuka PDN 2 yang kabarnya secara gratis dari sang hacker, telah membuka mata semua pihak betapa rentan dan tidak berdayanya pertahanan dan keamanan siber Indonesia.

Kerugian dari peretasan ini sesungguhnya dapat dihitung dari dampak kacaunya pelayanan publik serta potensi data sensitif negara yang tersebar ke tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Peretasan Automatic Fingerprint Identification System (INAFIS) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI merupakan contoh besar kegagalan dan kerugian dalam perlindungan data yang dialami negara.

Secara politik, perlu diingat bahwa kegagalan negara melindungi siber, juga dapat berdampak politik berupa tudingan tidak kompetennya para pejabat di pemerintah dan tuntutan agar mereka mundur dari posisinya. Contohnya, bagaimana Pejabat Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Ditjen Aptika Kominfo), Samuel Pangerapan, harus melepas jabatannya karena peristiwa ini. Mungkin saja apabila peristiwa mirip terulang, tuntutan mundur terhadap pejabat politik dapat menggelinding menjadi sebuah ketidakpuasan besar terhadap pemerintah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More