Implikasi Hukum Putusan MK Nomor 90 dan Putusan MA 23 Tahun 2024
Senin, 23 September 2024 - 06:03 WIB
Romli Atmasasmita
KERIBUTAN dan hiruk-pikuk tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 tampaknya telah usai, akan tetapi sesungguhnya belum selesai karena terhadap putusan aquo masih tersisa beberapa pertanyaan sebagai berikut.
Pertama, apakah dibolehkan menurut UU, seorang Hakim memiliki hubungan baik secara langsung atau tidak langsung atau ada hubungan keluarga dalam pememeriksaan suatu perkara permohonan uji materi yang di dalannya menyebut secara langsung kepentingan pencalonan seseorang dalam jabatan penyelenggara negara ?
Pertanyaan mendasar terkait putusan MKRI Nomor 90 Tahun 2023 yang memerlukan penjelasan secara transparan dan sistematis normatif diperlukan sebagai bahan pemikiran para ahli dan pembentuk UU bagaimana menyikapi masalah yang sama di masa yang akan datang, khususnya di era pemerintahan Prabowo Subianto?
Fakta pemeriksaan perkara Nomor 90 mengenai permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya pemilihan calon presiden dan wakil presiden ditemukan masalah hukum yaitu pertama, terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa ketua MK yang merangkap Ketua Majelis dalam Perkara Nomor 90 telah melakukan pelanggaran atas ketentuan larangan Nepotisme. Hal ini dibuktikan dari isi permohonan perkara no 90 yang antara lain menyatakan: angka 16. Bahwa Pemohon adalah pengagum dari Wali Kota Surakarta pada periode tahun 2020-2025 yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang saat dalam pemerintahan Gibran Rakabuming Raka pertumbuhan ekonomi di Surakarta meningkat 6,25 persen dari yang awal saat menjabat wali kota pertumbuhan ekonomi minus 1,74 persen.
Bahwa pertumbuhan ekonomi di Surakarta melebihi dua kota besar yaitu Yogyakarta dan Semarang, seperti yang kita tahu bahwasanya Solo bukanlah Ibu Kota Provinsi seperti Jawa Tengah maupun Yogyakarta, dan Solo hanya kota kecil yang memiliki wilayah geografis yang berukuran -/+ 44 KM dan bahkan Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 35 tahun sudah bisa membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral, dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.
Selanjutnya pada Putusan Perkara 90 angka 19 dan 20 antara lain dikemukakan: Bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah sosok yang dikagumi para generasi muda tidak dapat bisa mendaftarkan pencalonan Presiden sedari awal. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhdap Wali Kota Solo Gibran. Isi permohonan secara eksplisit menyebut nama Gibran yang tidak lain adalah keponakan Aanwar Usman yang menjabat Ketua MK merangkap Ketua Majelis perkara nomor 90.
Selanjutnya larangan Kolusi dan Nepotisme selain dicantumkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 (UU KKN) tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. Bahwa pada pelantikan setiap Penyelenggara Negara termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Mahkamah Agung (MA) dan jajarannya, wajib mengambil sumpah untuk mematuhi UUD dan UU dan seterusnya dan larangan konflik kepentingan bagi Hakim MK dan MA telah diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan antara lain bahwa Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
KERIBUTAN dan hiruk-pikuk tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 tampaknya telah usai, akan tetapi sesungguhnya belum selesai karena terhadap putusan aquo masih tersisa beberapa pertanyaan sebagai berikut.
Pertama, apakah dibolehkan menurut UU, seorang Hakim memiliki hubungan baik secara langsung atau tidak langsung atau ada hubungan keluarga dalam pememeriksaan suatu perkara permohonan uji materi yang di dalannya menyebut secara langsung kepentingan pencalonan seseorang dalam jabatan penyelenggara negara ?
Pertanyaan mendasar terkait putusan MKRI Nomor 90 Tahun 2023 yang memerlukan penjelasan secara transparan dan sistematis normatif diperlukan sebagai bahan pemikiran para ahli dan pembentuk UU bagaimana menyikapi masalah yang sama di masa yang akan datang, khususnya di era pemerintahan Prabowo Subianto?
Fakta pemeriksaan perkara Nomor 90 mengenai permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum khususnya pemilihan calon presiden dan wakil presiden ditemukan masalah hukum yaitu pertama, terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa ketua MK yang merangkap Ketua Majelis dalam Perkara Nomor 90 telah melakukan pelanggaran atas ketentuan larangan Nepotisme. Hal ini dibuktikan dari isi permohonan perkara no 90 yang antara lain menyatakan: angka 16. Bahwa Pemohon adalah pengagum dari Wali Kota Surakarta pada periode tahun 2020-2025 yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang saat dalam pemerintahan Gibran Rakabuming Raka pertumbuhan ekonomi di Surakarta meningkat 6,25 persen dari yang awal saat menjabat wali kota pertumbuhan ekonomi minus 1,74 persen.
Bahwa pertumbuhan ekonomi di Surakarta melebihi dua kota besar yaitu Yogyakarta dan Semarang, seperti yang kita tahu bahwasanya Solo bukanlah Ibu Kota Provinsi seperti Jawa Tengah maupun Yogyakarta, dan Solo hanya kota kecil yang memiliki wilayah geografis yang berukuran -/+ 44 KM dan bahkan Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 35 tahun sudah bisa membangun dan memajukan Kota Surakarta dengan kejujuran, integritas moral, dan taat serta patuh mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara.
Selanjutnya pada Putusan Perkara 90 angka 19 dan 20 antara lain dikemukakan: Bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah sosok yang dikagumi para generasi muda tidak dapat bisa mendaftarkan pencalonan Presiden sedari awal. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhdap Wali Kota Solo Gibran. Isi permohonan secara eksplisit menyebut nama Gibran yang tidak lain adalah keponakan Aanwar Usman yang menjabat Ketua MK merangkap Ketua Majelis perkara nomor 90.
Selanjutnya larangan Kolusi dan Nepotisme selain dicantumkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 (UU KKN) tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Berwibawa. Bahwa pada pelantikan setiap Penyelenggara Negara termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Mahkamah Agung (MA) dan jajarannya, wajib mengambil sumpah untuk mematuhi UUD dan UU dan seterusnya dan larangan konflik kepentingan bagi Hakim MK dan MA telah diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan antara lain bahwa Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
tulis komentar anda