PKS: Stop Impor TKA, Sudah Waktunya Berdayakan Insinyur Dalam Negeri
Kamis, 27 Agustus 2020 - 11:29 WIB
JAKARTA - Kabar adanya insinyur Indonesia yang ikut andil dalam penemuan sumur gas terbesar di Turki disambut baik oleh Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Kabar tersebut merupakan bukti nyata bahwa kemampuan para ahli Indonesia tidak kalah dibanding sejawat mereka di luar negeri.
Bahkan, kata Mulyanto, saat ini sudah banyak ilmuwan Indonesia yang mempunyai jabatan strategis di lembaga-lembaga penelitian sains bergengsi di luar negeri. Doktor nuklir alumnus Tokyo Institute of Technology itu menyebut kemampuan ilmuwan Indonesia di luar negeri sangat dihargai. Mereka diberi kesempatan yang cukup untuk meneliti dan mengaplikasikan ilmu yang dipelajari.
"Sayangnya di Indonesia kemampuan ilmuwan-ilmuwan berbakat itu kurang dihargai. Mereka ditempatkan pada lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian, tapi dengan sarana terbatas. Bahkan anggaran untuk melakukan riset persoalan yang penting tidak disediakan secara memadai. Masih kalah dengan anggaran untuk influencer," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/8/2020).(Baca Juga: Indonesia Temukan Cadangan Gas Baru)
Sebelumnya dikabarkan terdapat sejumlah tenaga kerja Indonesia yang turut andil dalam penemuan cadangan gas alam terbesar di sumur Tuna-1 di Laut Hitam, sekitar 100 mil laut di pantai utara Turki, dengan kapasitas sebesar 320 miliar meter kubik (atau setara dengan 11.3 TCF). Angka ini mendekati besarnya cadangan gas di Blok Masela Maluku, sebesar 303 milyar meter kubik (10.7 TCF) dan di bawah cadangan gas Blok Natuna, yang sebesar 40 TCF. Dimana total cadangan gas Indonesia (hingga 2018) sebanyak 135,55 TCF.
Menurut Mulyanto, penemuan itu merupakan prestasi luar biasa dalam industri migas dunia. Apalagi temuan itu berada di laut off shore, yang jauh lebih sulit ketimbang on shore.
Jadi, menurut Mulyanto, tidak benar, kalau ada stigma bahwa kualitas para sarjana dan insinyur Indonesia rendah. "Delapan orang insinyur kita ini sekali lagi membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya bisa. Bahkan, tidak sedikit para ilmuwan kita yang menjadi professor dan ahli di lab-lab pusat penelitian saintifik internasional, baik di Jepang, Eropa maupun Amerika. Mereka produktif menghasilkan karya ilmiah internasional, termasuk paten," ujarnya.
Begitu juga, kata dia, alumni insinyur pesawat PT Dirgantara Indonesia yang kini bekerja di Boeing, USA serta industri pesawat terbang di Eropa, yang membuktikan kualitas keahlian mereka untuk mampu bekerja dalam sistem dengan standar internasional.( )
"Jadi Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Karena itu kalau kita masih tetap mendatangkan TKA untuk mengisi lapangan kerja domestik kita, apalagi untuk buruh tanpa keahlian, ini langkah mundur luar biasa. Jangankan tenaga buruh domestik, tenaga ahli kita berlimpah, bahkan berprestasi secara internasional," kata Mulyanto.
Mulyanto menambahkan pengembangan hulu migas, persoalan utama yang dihadapi Indonesia bukan pada soal SDM, tapi pada masalah investasi dan penggarapan proyek. Proyek Natuna misalnya, Kementerian ESDM sampai saat ini belum ada perkembangan yang berarti dalam penggarapan proyeknya.
Begitu juga Blok Masela terdengar berita Shell akan mundur dari kesertaan menggarap Blok ini. Beberapa perusahaan migas dunia, yang beroperasi di Indonesia, terdengar kabar berencana melepas sahamnya dalam pengelolaan blok-blok migas di wilayah kerja Indonesia.
"Secara umum investasi migas ini mengalami penurunan, apalagi selama masa pandemi COVID-19. SKK Migas memproyeksikan realisasi investasi hulu migas tahun 2020 ini sebesar USD11,60 miliar. Nilai itu jauh di bawah target yang ditetapkan, yaitu sebesar 13,83 miliar USD," katanya.
Bahkan, kata Mulyanto, saat ini sudah banyak ilmuwan Indonesia yang mempunyai jabatan strategis di lembaga-lembaga penelitian sains bergengsi di luar negeri. Doktor nuklir alumnus Tokyo Institute of Technology itu menyebut kemampuan ilmuwan Indonesia di luar negeri sangat dihargai. Mereka diberi kesempatan yang cukup untuk meneliti dan mengaplikasikan ilmu yang dipelajari.
"Sayangnya di Indonesia kemampuan ilmuwan-ilmuwan berbakat itu kurang dihargai. Mereka ditempatkan pada lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian, tapi dengan sarana terbatas. Bahkan anggaran untuk melakukan riset persoalan yang penting tidak disediakan secara memadai. Masih kalah dengan anggaran untuk influencer," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/8/2020).(Baca Juga: Indonesia Temukan Cadangan Gas Baru)
Sebelumnya dikabarkan terdapat sejumlah tenaga kerja Indonesia yang turut andil dalam penemuan cadangan gas alam terbesar di sumur Tuna-1 di Laut Hitam, sekitar 100 mil laut di pantai utara Turki, dengan kapasitas sebesar 320 miliar meter kubik (atau setara dengan 11.3 TCF). Angka ini mendekati besarnya cadangan gas di Blok Masela Maluku, sebesar 303 milyar meter kubik (10.7 TCF) dan di bawah cadangan gas Blok Natuna, yang sebesar 40 TCF. Dimana total cadangan gas Indonesia (hingga 2018) sebanyak 135,55 TCF.
Menurut Mulyanto, penemuan itu merupakan prestasi luar biasa dalam industri migas dunia. Apalagi temuan itu berada di laut off shore, yang jauh lebih sulit ketimbang on shore.
Jadi, menurut Mulyanto, tidak benar, kalau ada stigma bahwa kualitas para sarjana dan insinyur Indonesia rendah. "Delapan orang insinyur kita ini sekali lagi membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya bisa. Bahkan, tidak sedikit para ilmuwan kita yang menjadi professor dan ahli di lab-lab pusat penelitian saintifik internasional, baik di Jepang, Eropa maupun Amerika. Mereka produktif menghasilkan karya ilmiah internasional, termasuk paten," ujarnya.
Begitu juga, kata dia, alumni insinyur pesawat PT Dirgantara Indonesia yang kini bekerja di Boeing, USA serta industri pesawat terbang di Eropa, yang membuktikan kualitas keahlian mereka untuk mampu bekerja dalam sistem dengan standar internasional.( )
"Jadi Indonesia tidak kekurangan tenaga ahli. Karena itu kalau kita masih tetap mendatangkan TKA untuk mengisi lapangan kerja domestik kita, apalagi untuk buruh tanpa keahlian, ini langkah mundur luar biasa. Jangankan tenaga buruh domestik, tenaga ahli kita berlimpah, bahkan berprestasi secara internasional," kata Mulyanto.
Mulyanto menambahkan pengembangan hulu migas, persoalan utama yang dihadapi Indonesia bukan pada soal SDM, tapi pada masalah investasi dan penggarapan proyek. Proyek Natuna misalnya, Kementerian ESDM sampai saat ini belum ada perkembangan yang berarti dalam penggarapan proyeknya.
Begitu juga Blok Masela terdengar berita Shell akan mundur dari kesertaan menggarap Blok ini. Beberapa perusahaan migas dunia, yang beroperasi di Indonesia, terdengar kabar berencana melepas sahamnya dalam pengelolaan blok-blok migas di wilayah kerja Indonesia.
"Secara umum investasi migas ini mengalami penurunan, apalagi selama masa pandemi COVID-19. SKK Migas memproyeksikan realisasi investasi hulu migas tahun 2020 ini sebesar USD11,60 miliar. Nilai itu jauh di bawah target yang ditetapkan, yaitu sebesar 13,83 miliar USD," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda