Politikus PKS Sebut Pemerintah Gamang Tangani Pandemi Corona
Selasa, 25 Agustus 2020 - 18:43 WIB
JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang dinilai belum berhasil menekan persoalan akibat Corona, baik persoalan kesehatan maupun dampak ekonominya.
Seperti diketahui UU tersebut mengatur tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 dinilai belum berhasil menekan persoalan akibat corona, baik persoalan kesehatan maupun dampak ekonominya.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Andi Akmal Pasluddin mengatakan, sebenarnya Perppu ini sangat powerfull karena kekuasaan eksekutif ditambah baik dalam fungsi penganggaran (budgeting) dan fungsi yudikatif juga.
"Misalnya Pasal 2 dikatakan bahwa pemerintah hanya melalui Perpres (peraturan presiden) bisa menetapkan defisit APBN. Undang-undang APBN kita yang selama ini kan pada (Undang-Undang) 17/2003 itu mengatakan bahwa defisit maksimal 3 persen dari PDB kita," ujar Andi Akmal Pasluddin dalam diskusi Forum Legislasi bertema "Evaluasi Perppu Corona dan Ancaman Resesi Ekonomi" di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020).( )
Meskipun sangat powerfull, kata Andi Akmal, namun dari Januari sampai sekarang ini, output yang diinginkan dari aturan tersebut belum tercapai. "Kita beri pemerntah, Presiden sebagai sebagai CEO, chief executive officer, sebagai pemimpin tertinggi. Kita berikan kekuasaan, semua kekuasaan kita berikan, membuat undang-undang sendiri, dana anggaran bisa dipakai sendiri, bahkan para pejabat yang menjalankan ini bebas dari masalah hukum, inikan luar biasa sekali sebenarnya," katanya.
Namun, dari perjalanan yang ada, yang dinilai berhasil dari Perppu ini hanya menambah defisit APBN. "Catatan saya defisit kita ini sudah tiga kali diubah. Pertama kan APBN itu kan hanya 3 persen, kemudian karena adanya Perppu Nomor 1/2020 di atas 3 persen, kemudian kita melihat bahwa defisit di atas 3 persen itu dari Perpres sudah mencapai angka 5,7 persen dari PDB kita," katanya.
Menurut dia, dalam APBN 2020, seharusnya defisit hanya boleh maksimal Rp300 triliun karena tidak boleh lebih dari 3%. Dengan Perppu ini, defisit ditetapkan 5,7%, mencapai Rp853 triliun. "Dalam perjalanannya ternyata diubah lagi oleh pemerintah, bebas karena tidak perlu melalui persetujuan DPR, sekarang sudah membengkak menjadi Rp1.028 triliun defisit kita atau 6,7% dari PDB," paparnya.
Dikatakan Andi, dengan naiknya defisit artinya utang terus. Menurutnya, dari awal pemerintah gamang apakah yang diutamakan ini persoalan kesehatan atau ekonomi. Dalam perjalanannya, ternyata dua-duanya difokuskan dan dua-duanya tak ada yang berhasil. "Apa yang berhasil sekarang? Kesehatan terus juga kurvanya naik terus kan. Orang yang terkena juga semakin banyak. Ekonomi kita sekarang di kuartal II ini, kita sudah minus 5,32 persen. Kalau nanti minus lagi pada kuartal III berarti kita sudah masukin namanya resesi technical," tuturnya.
Andi Akmal menjelaskan berdasarkan teori ekonomi ada lima indikator resesi. Pertama, tidak seimbang antara konsumsi dan produksi. "Konsumsi kita menurun karena ya masyarakat membatasi pengeluaran. Kita lihat pertumbuhan ekonomi turun, kan sekarang ini terjadi," tuturnya. Selanjutnya, adanya inflasi, deflasi. Keempat, pengangguran, yang saat ini sudah 3 juta orang menurut data Depnaker dari data Juni. Kalau sekarang ini sampai Agustus ini, mungkin sudah lebih 3 juta. Itupun pengangguran artinya PHK, orang yang kerja formal, yang tidak kerja formal berapa juta," paparnya.
Melihat indikator tersebut, artinya saat ini sudah terjadi resesi. Sebab dari berbagai indikator yang positif hanya defisit neraca perdagangan. "Karena kita ekspor, pertanian itu kan menyumbang cukup besar 16 % dari PDB, itu lumayan positif, inflasinya juga masih terkendali," katanya.
Dengan melihat fakta tersebut, Andi Akmal menyebut hadirnya Perppu tersebut belum berhasil mengatasi masalah kesehatan maupun ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Seperti diketahui UU tersebut mengatur tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 dinilai belum berhasil menekan persoalan akibat corona, baik persoalan kesehatan maupun dampak ekonominya.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Andi Akmal Pasluddin mengatakan, sebenarnya Perppu ini sangat powerfull karena kekuasaan eksekutif ditambah baik dalam fungsi penganggaran (budgeting) dan fungsi yudikatif juga.
"Misalnya Pasal 2 dikatakan bahwa pemerintah hanya melalui Perpres (peraturan presiden) bisa menetapkan defisit APBN. Undang-undang APBN kita yang selama ini kan pada (Undang-Undang) 17/2003 itu mengatakan bahwa defisit maksimal 3 persen dari PDB kita," ujar Andi Akmal Pasluddin dalam diskusi Forum Legislasi bertema "Evaluasi Perppu Corona dan Ancaman Resesi Ekonomi" di Media Center Parlemen, Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020).( )
Meskipun sangat powerfull, kata Andi Akmal, namun dari Januari sampai sekarang ini, output yang diinginkan dari aturan tersebut belum tercapai. "Kita beri pemerntah, Presiden sebagai sebagai CEO, chief executive officer, sebagai pemimpin tertinggi. Kita berikan kekuasaan, semua kekuasaan kita berikan, membuat undang-undang sendiri, dana anggaran bisa dipakai sendiri, bahkan para pejabat yang menjalankan ini bebas dari masalah hukum, inikan luar biasa sekali sebenarnya," katanya.
Namun, dari perjalanan yang ada, yang dinilai berhasil dari Perppu ini hanya menambah defisit APBN. "Catatan saya defisit kita ini sudah tiga kali diubah. Pertama kan APBN itu kan hanya 3 persen, kemudian karena adanya Perppu Nomor 1/2020 di atas 3 persen, kemudian kita melihat bahwa defisit di atas 3 persen itu dari Perpres sudah mencapai angka 5,7 persen dari PDB kita," katanya.
Menurut dia, dalam APBN 2020, seharusnya defisit hanya boleh maksimal Rp300 triliun karena tidak boleh lebih dari 3%. Dengan Perppu ini, defisit ditetapkan 5,7%, mencapai Rp853 triliun. "Dalam perjalanannya ternyata diubah lagi oleh pemerintah, bebas karena tidak perlu melalui persetujuan DPR, sekarang sudah membengkak menjadi Rp1.028 triliun defisit kita atau 6,7% dari PDB," paparnya.
Dikatakan Andi, dengan naiknya defisit artinya utang terus. Menurutnya, dari awal pemerintah gamang apakah yang diutamakan ini persoalan kesehatan atau ekonomi. Dalam perjalanannya, ternyata dua-duanya difokuskan dan dua-duanya tak ada yang berhasil. "Apa yang berhasil sekarang? Kesehatan terus juga kurvanya naik terus kan. Orang yang terkena juga semakin banyak. Ekonomi kita sekarang di kuartal II ini, kita sudah minus 5,32 persen. Kalau nanti minus lagi pada kuartal III berarti kita sudah masukin namanya resesi technical," tuturnya.
Andi Akmal menjelaskan berdasarkan teori ekonomi ada lima indikator resesi. Pertama, tidak seimbang antara konsumsi dan produksi. "Konsumsi kita menurun karena ya masyarakat membatasi pengeluaran. Kita lihat pertumbuhan ekonomi turun, kan sekarang ini terjadi," tuturnya. Selanjutnya, adanya inflasi, deflasi. Keempat, pengangguran, yang saat ini sudah 3 juta orang menurut data Depnaker dari data Juni. Kalau sekarang ini sampai Agustus ini, mungkin sudah lebih 3 juta. Itupun pengangguran artinya PHK, orang yang kerja formal, yang tidak kerja formal berapa juta," paparnya.
Melihat indikator tersebut, artinya saat ini sudah terjadi resesi. Sebab dari berbagai indikator yang positif hanya defisit neraca perdagangan. "Karena kita ekspor, pertanian itu kan menyumbang cukup besar 16 % dari PDB, itu lumayan positif, inflasinya juga masih terkendali," katanya.
Dengan melihat fakta tersebut, Andi Akmal menyebut hadirnya Perppu tersebut belum berhasil mengatasi masalah kesehatan maupun ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda