Kontroversi Izin Tambang Ormas dan Energi sebagai Kekuatan Masa Depan
Sabtu, 03 Agustus 2024 - 08:17 WIB
Dalam konteks inilah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 yang menjadi dasar kebijakan pemberian izin usaha pertambangan ormas keagamaan mendapatkan momentum. Sejarah dunia adalah sejarah energi. Penguasaan atas sumber-sumber energi telah menjadikan sebuah bangsa atau negara berdaya dan berjaya dalam pentas dunia. Karena itu, tidak bisa tidak, Indonesia dituntut mampu mengonversi kekayaan sumber daya energinya menjadi kekuatan pembangunan ekonomi masa depan untuk menghadapi tantangan ketersediaan pangan dunia. Sudah waktunya Indonesia mandiri dalam energi, sebagaimana angan-angan berdikari Soekarno. Tiba gilirannya masyarakat terlibat sebagai penyedia sekaligus konsumen energi, seperti cita-cita ekonomi kerakyatan Hatta.
Hal ini lalu mendorong ”kesadaran global” untuk menyelamatkan bumi, yang berarti menyelamatkan kehidupan manusia, melalui pengembangan konsep dan gerakan yang dewasa ini disebut sebagai green economy. Konsep ini menekankan agar aktivitas pembangunan ekonomi di saat yang bersamaan harus berorientasi pada aspek kelestarian lingkungan hidup dan sosial.
Tetapi konsep ini seolah dipahami sebagai larangan untuk melakukan aktivitas pertambangan minyak bumi dan batubara karena dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Padahal bagi negara seperti Indonesia, tambang batubara masih akan sangat membantu memenuhi kebutuhan energi untuk bisa keluar dari middle income trap.
Kalau memang demikian yang dimaksud, bagaimana tanggung jawab negara-negara maju yang dianggap telah melewati masa penggunaan energi fosil? Faktanya sampai hari ini negara-negara maju justru menjadi produsen emisi karbon terbesar di dunia. Menurut Tinjauan Statistik Energi Dunia 2024 yang dikeluarkan Institut Energi, China, Amerika Serikat, dan India adalah negara penyumbang emisi karbon terbesar pada 2023.
Angka tersebut sejalan dengan konsumsi batubara di tiga negara ini. Menurut estimasi International Energy Agency (IEA), sepanjang 2023 volume konsumsi batu bara global mencapai 8,5 miliar ton, meningkat 1,4% dibanding 2022. China menjadi negara konsumen terbesar yaitu 4,74 miliar ton, disusul India sekitar 1,26 miliar ton, dan AS sebanyak 360 juta ton.
Indonesia yang merupakan penghasil batubara terbesar ketiga pada 2023, di tahun yang sama justru berhasil menurunkan emisi sektor energi sebanyak 3 juta ton. Data ini mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan dan penggunaan batubara di Indonesia untuk menghasilkan listrik, relatif sejalan dengan upaya pengendalian emisi karbon. Melihat fakta tersebut, rasanya kurang adil melarang Indonesia memanfaatkan kekayaan sumber daya energinya dengan dalih kerusakan lingkungan.
Namun ini bukan berarti pula merusak lingkungan demi mendorong pertumbuhan ekonomi dibolehkan. Pada dasarnya setiap kegiatan ekstraktif bersifat merusak. Justru karena sifat merusaknya itulah ilmu pengetahuan dan teknologi terus dikembangkan untuk memitigasi dan menekan risiko-risiko yang mungkin terjadi selama proses hingga pasca aktivitas tambang.
Tetapi ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis layak diberikan kesempatan untuk mengelola pertambangan. Tentu kesempatan itu diberikan dengan harapan agar pengelolaan tambang yang selama ini dianggap buruk, bisa dilakukan lebih baik, sehingga Indonesia memiliki kemampuan dan sumber daya manusia SDM yang mumpuni. Ini berarti juga mendorong peningkatan penguasaan teknologi untuk memitigasi kerusakan lingkungan hidup dan sosial.
Melawan Hegemoni Wacana Lingkungan
Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan menyimpulkan telah terjadi peningkatan suhu permukaan bumi yang dipicu rusaknya lapisan ozon di atmosfer akibat emisi karbon yang berlebih. Industri pertambangan minyak bumi dan batubara menjadi kambing hitam.Hal ini lalu mendorong ”kesadaran global” untuk menyelamatkan bumi, yang berarti menyelamatkan kehidupan manusia, melalui pengembangan konsep dan gerakan yang dewasa ini disebut sebagai green economy. Konsep ini menekankan agar aktivitas pembangunan ekonomi di saat yang bersamaan harus berorientasi pada aspek kelestarian lingkungan hidup dan sosial.
Tetapi konsep ini seolah dipahami sebagai larangan untuk melakukan aktivitas pertambangan minyak bumi dan batubara karena dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Padahal bagi negara seperti Indonesia, tambang batubara masih akan sangat membantu memenuhi kebutuhan energi untuk bisa keluar dari middle income trap.
Kalau memang demikian yang dimaksud, bagaimana tanggung jawab negara-negara maju yang dianggap telah melewati masa penggunaan energi fosil? Faktanya sampai hari ini negara-negara maju justru menjadi produsen emisi karbon terbesar di dunia. Menurut Tinjauan Statistik Energi Dunia 2024 yang dikeluarkan Institut Energi, China, Amerika Serikat, dan India adalah negara penyumbang emisi karbon terbesar pada 2023.
Angka tersebut sejalan dengan konsumsi batubara di tiga negara ini. Menurut estimasi International Energy Agency (IEA), sepanjang 2023 volume konsumsi batu bara global mencapai 8,5 miliar ton, meningkat 1,4% dibanding 2022. China menjadi negara konsumen terbesar yaitu 4,74 miliar ton, disusul India sekitar 1,26 miliar ton, dan AS sebanyak 360 juta ton.
Indonesia yang merupakan penghasil batubara terbesar ketiga pada 2023, di tahun yang sama justru berhasil menurunkan emisi sektor energi sebanyak 3 juta ton. Data ini mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan dan penggunaan batubara di Indonesia untuk menghasilkan listrik, relatif sejalan dengan upaya pengendalian emisi karbon. Melihat fakta tersebut, rasanya kurang adil melarang Indonesia memanfaatkan kekayaan sumber daya energinya dengan dalih kerusakan lingkungan.
Namun ini bukan berarti pula merusak lingkungan demi mendorong pertumbuhan ekonomi dibolehkan. Pada dasarnya setiap kegiatan ekstraktif bersifat merusak. Justru karena sifat merusaknya itulah ilmu pengetahuan dan teknologi terus dikembangkan untuk memitigasi dan menekan risiko-risiko yang mungkin terjadi selama proses hingga pasca aktivitas tambang.
Harapan terhadap Ormas Keagamaan
Prinsip yang sama pun berlaku pada ormas keagamaan. Beberapa kalangan mengkhawatirkan ormas melalui badan usaha yang dibentuk tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam industri ekstraktif. Hal itu dapat dimaklumi lantaran ormas belum memulai aktivitas pertambangan. Kekhawatiran tersebut terbangun dalam alam pikiran melalui perspektif dan kepentingan masing-masing.Tetapi ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis layak diberikan kesempatan untuk mengelola pertambangan. Tentu kesempatan itu diberikan dengan harapan agar pengelolaan tambang yang selama ini dianggap buruk, bisa dilakukan lebih baik, sehingga Indonesia memiliki kemampuan dan sumber daya manusia SDM yang mumpuni. Ini berarti juga mendorong peningkatan penguasaan teknologi untuk memitigasi kerusakan lingkungan hidup dan sosial.
Lihat Juga :
tulis komentar anda