PSI Tolak Pasal Penodaan Agama di RUU KUHP
Sabtu, 22 Agustus 2020 - 19:17 WIB
JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) konsisten menolak pasal tentang penodaan agama dicantumkan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
“Selama DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat dan RUU KUHP tetap dipaksakan memuat unsur-unsur penodaan agama, PSI konsisten menolak pasal tersebut,” kata Juru bicara PSI, Mohamad Guntur Romli, dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/8/2020).
Guntur menuturkan, alasan mendasar PSI menolak pasal penistaan agama dalam RUU KUHP adalah ketidakjelasan tolak ukur atau unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat memusuhi atau menodai agama. RUU KUHP yang kontroversial ini dikabarkan segera dibahas kembali, setelah pemerintah dan DPR sepakat menundanya pada akhir September 2019 lalu. (Baca juga: DPR-Menkumham Sepakat Lanjutkan RUU KUHP dan Pemasyarakatan)
Lebih jauh dia menjelaskan, di antara pasal 304 – 309 RUU KUHP yang memuat ketentuan tindak pidana terhadap agama, pasal 304 masih sangat subjektif dan multitafsir. Pasal ini juga rawan dipolitisasi, apalagi saat ini ada 270 daerah yang bersiap menggelar pemilihan kepada daerah (Pilkada) secara serentak.
Pasal 304 RUU KUHP menyebutkan, setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. (Baca juga: Ini Pasal-Pasal Kontroversial RUU KUHP yang Perlu Kamu Tahu)
“Semua pasal berunsur penodaan agama harus didudukkan dengan jelas, jangan sampai menyisakan ruang tafsir subjektif yang dapat mencederai keadilan dan kepastian hukum. Kalau pasal-pasal ini tetap dipaksakan, arus politisasi agama akan semakin kuat, terutama menjelang pilkada ini,” imbuh Guntur.
Di samping itu, Guntur juga menilai, jika DPR tetap bersikeras mengesahkan pasal penodaan agama, yang hadir justru majority rule dalam kehidupan beragama atau tafsir subjektif oleh mayoritas terhadap minoritas. “Jangan jadikan pasal penodaan agama alat untuk menindas. Seharusnya DPR membuat unsur-unsur pidana yang jelas untuk menghukum seseorang yang memang sengaja melakukan penghasutan atau provokasi dengan niat untuk memusuhi agama lain atau incitement to hatred,” kata kader Nahdlatul Ulama ini. (Baca juga: Komisi III DPR Tak Akan Bongkar Ulang RKUHP dan RUU PAS)
Guntur melanjutkan, pasal penodaan agama ini nantinya juga akan menambah masalah baru dalam tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Dari beberapa kasus, mereka yang dituduh melakukan penodaan agama diproses dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dengan tumpang tindih ini, lanjut Guntur, pasal penodaan agama dalam RUU KUHP justru akan menambah runyam masalah hukum ketatanegaraan di Indonesia.
PSI sejak awal menolak RKUHP karena tiga alasan utama. Pada medio September 2019, Juru Bicara PSI Rian Ernest menyampaikan tiga alasan penolakan. Pertama, pengadopsian hukum adat secara serampangan. Kedua, RKUHP terlalu banyak masuk ke ranah privat warga negara. Terakhir, masuknya pasal penodaan agama di RKUHP
“Selama DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat dan RUU KUHP tetap dipaksakan memuat unsur-unsur penodaan agama, PSI konsisten menolak pasal tersebut,” kata Juru bicara PSI, Mohamad Guntur Romli, dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/8/2020).
Guntur menuturkan, alasan mendasar PSI menolak pasal penistaan agama dalam RUU KUHP adalah ketidakjelasan tolak ukur atau unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menilai apakah suatu perbuatan bersifat memusuhi atau menodai agama. RUU KUHP yang kontroversial ini dikabarkan segera dibahas kembali, setelah pemerintah dan DPR sepakat menundanya pada akhir September 2019 lalu. (Baca juga: DPR-Menkumham Sepakat Lanjutkan RUU KUHP dan Pemasyarakatan)
Lebih jauh dia menjelaskan, di antara pasal 304 – 309 RUU KUHP yang memuat ketentuan tindak pidana terhadap agama, pasal 304 masih sangat subjektif dan multitafsir. Pasal ini juga rawan dipolitisasi, apalagi saat ini ada 270 daerah yang bersiap menggelar pemilihan kepada daerah (Pilkada) secara serentak.
Pasal 304 RUU KUHP menyebutkan, setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V. (Baca juga: Ini Pasal-Pasal Kontroversial RUU KUHP yang Perlu Kamu Tahu)
“Semua pasal berunsur penodaan agama harus didudukkan dengan jelas, jangan sampai menyisakan ruang tafsir subjektif yang dapat mencederai keadilan dan kepastian hukum. Kalau pasal-pasal ini tetap dipaksakan, arus politisasi agama akan semakin kuat, terutama menjelang pilkada ini,” imbuh Guntur.
Di samping itu, Guntur juga menilai, jika DPR tetap bersikeras mengesahkan pasal penodaan agama, yang hadir justru majority rule dalam kehidupan beragama atau tafsir subjektif oleh mayoritas terhadap minoritas. “Jangan jadikan pasal penodaan agama alat untuk menindas. Seharusnya DPR membuat unsur-unsur pidana yang jelas untuk menghukum seseorang yang memang sengaja melakukan penghasutan atau provokasi dengan niat untuk memusuhi agama lain atau incitement to hatred,” kata kader Nahdlatul Ulama ini. (Baca juga: Komisi III DPR Tak Akan Bongkar Ulang RKUHP dan RUU PAS)
Guntur melanjutkan, pasal penodaan agama ini nantinya juga akan menambah masalah baru dalam tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Dari beberapa kasus, mereka yang dituduh melakukan penodaan agama diproses dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dengan tumpang tindih ini, lanjut Guntur, pasal penodaan agama dalam RUU KUHP justru akan menambah runyam masalah hukum ketatanegaraan di Indonesia.
PSI sejak awal menolak RKUHP karena tiga alasan utama. Pada medio September 2019, Juru Bicara PSI Rian Ernest menyampaikan tiga alasan penolakan. Pertama, pengadopsian hukum adat secara serampangan. Kedua, RKUHP terlalu banyak masuk ke ranah privat warga negara. Terakhir, masuknya pasal penodaan agama di RKUHP
(cip)
tulis komentar anda