Hoegeng, Jenderal Antisuap Hidup Pas-pasan dari Gaji Polisi
Minggu, 30 Juni 2024 - 05:15 WIB
Aditya Soetanto dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa(2009) menggambarkan bagaimana kejujuran dan kesederhanaan ayahnya. Polisi kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921 itu menolak segala bentuk hadiah atau pemberian yang bukan haknya. Suatu hari ada ada seorang pengusaha mengirimkan dua unit sepeda motor Lambretta ke rumah Hoegeng. Motor itu merupakan jatah bagi pejabat negara. Namun setelah diketahui asal usulnya, Hoegeng meminta ajudannya untuk mengembalikan sepeda motor itu karena merasa tidak berhak menerima.
Beberapa hari kemudian Adit diminta datang ke Mabes Polri. Hoegeng menanyakan kemantapan hati Adit yang ingin masuk militer. Namun ayahnya itu juga menyampaikan bahwa tidak ingin ada Hoegeng lain di Kepolisian. Adit sangat marah karena ayahnya tidak memberikan rekomendasi dan ternyata pendaftaran masuk Akabri telah tutup dua hari sebelumnya. Di tengah kemarahan anaknya itu, Hoegeng menjelaskan bahwa hati kecilnya berharap tidak ada lagi yang mengikuti jejaknya di angkatan. Tak hanya itu, Hoegeng juga menjelaskan alasannya tidak mengizinkan Adit bergabung di Akabri. Hoegeng tidak ingin jabatannya sebagai Kapolri akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.
Selepas penjelasan panjang lebar terkait alasannya tidak memberi izin bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Jenderal Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya untuk meminta maaf.
Itulah empat teladan dari Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Kapolri periode 1968-1971 yang melegenda hingga saat ini.
4. Antinepotisme
Hoegeng juga sosok antinepotisme seperti dikisahkan dalam buku berjudul Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanankarya Farouk Arnaz. Waktu itu, anak kedua Hoegeng, Aditya Soetanto Hoegeng berniat masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Ia lalu menemui ayahnya yang menjabat sebagai Kapolri untuk meminta surat izin. Namun Hoegeng mengatakan 'nanti saja'.Beberapa hari kemudian Adit diminta datang ke Mabes Polri. Hoegeng menanyakan kemantapan hati Adit yang ingin masuk militer. Namun ayahnya itu juga menyampaikan bahwa tidak ingin ada Hoegeng lain di Kepolisian. Adit sangat marah karena ayahnya tidak memberikan rekomendasi dan ternyata pendaftaran masuk Akabri telah tutup dua hari sebelumnya. Di tengah kemarahan anaknya itu, Hoegeng menjelaskan bahwa hati kecilnya berharap tidak ada lagi yang mengikuti jejaknya di angkatan. Tak hanya itu, Hoegeng juga menjelaskan alasannya tidak mengizinkan Adit bergabung di Akabri. Hoegeng tidak ingin jabatannya sebagai Kapolri akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri.
Selepas penjelasan panjang lebar terkait alasannya tidak memberi izin bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Jenderal Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya untuk meminta maaf.
Itulah empat teladan dari Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Kapolri periode 1968-1971 yang melegenda hingga saat ini.
(abd)
tulis komentar anda