Suhu Bumi Meningkat Sangat Cepat, 2023 Tercatat Tahun Terpanas

Minggu, 23 Juni 2024 - 09:56 WIB
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya. Hal itu berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup.

Berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global telah meningkat dengan cepat, dengan rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat celsius pada 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era Revolusi Industri.

Padahal di 2020, menurut laporan WMO tentang keadaan iklim global, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat celsius. Hal ini berarti hanya dalam beberapa tahun, ada peningkatan suhu permukaan yang signifikan.







"Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas, dan informasi inihanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian yang sistematis, informasi yang diberikan bisa menyesatkan atau salah. Pengamatan kebumian yang sistematis ini diperlukan baik di tingkat nasional, regional, maupun global," ungkap Dwikorita dalam keterangan resminya, dikutip Minggu (23/6/2024).

Dwikorita mengatakan, pengataman sistematis sangat dibutuhkan untuk berbagai keperluan, di antaranya untuk memberikan data dukung dalam aksi adaptasi iklim, aksi mitigasi iklim, atau keputusan atau kebijakan apa pun terkait mitigasi dan adaptasi iklim. Oleh karena itu, Dwikorita meminta agar pengamatan sistematis perlu diikuti oleh tindakan sistematis di segala lini agar dampak panas ekstrem tersebut dan dampak perubahan iklim lainnya dapat ditangani secara efektif.

Dia mencontohkan agar informasi mengenai fenomena El Nino yang menyebabkan kenaikan panas laut yang meluas di Pasifik tropis bagian timur merupakan hasil pengamatan kebumian sistematis yang didukung juga oleh pemantauan satelit. Selain itu, prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan pada 2050 mendatang juga merupakan hasil dari pengamatan kebumian yang sistematis secara global, nasional, dan lokal.

Singkatnya, tambah dia, pengamatan sistematis tersebut, memungkinkan seluruh negara di dunia untuk melakukan analisis dan prediksi lebih lanjut. "Analisis masa lalu merupakan cara untuk memvalidasi dampak dari peningkatan suhu yang berlangsung dan kondisi Bumi kekinian,” katanya.

“Selanjutnya, pada analisis lebih lanjut yang didasarkan pada data pengamatan sistematis dapat diketahui bahwa ternyata perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, menghasilkan hotspot air. Nah, hal ini dapat ditangkap dan dianalisis lagi berdasarkan pengamatan sistematis," sambungnya.

Dwikorita menegaskan, peningkatan suhu global tidak dapat dianggap sepele. Tidak hanya berdampak pada suhu bumi yang makin panas, kondisi tersebut juga meningkatkan frekuensi bencana hidrometeorologi, kekeringan, buruknya kualitas udara, kebakaran hutan dan lahan, gelombang panas, risiko kesehatan, penurunan kualitas hidup, hingga ancaman kelangsungan hidup spesies di bumi.

"Situasi tersebut, pada akhirnya tentu akan mengganggu stabilitas perekonomian dan politik dunia," pungkasnya.
(rca)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More