Pidato Kenegaraan Presiden: Jauh Panggang dari Api
Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:14 WIB
Bukhori Yusuf
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS
SEBELUMNYA, saya perlu menyampaikan apresiasi kepada segenap pihak atas keberhasilan penyelenggaraan sejumlah agenda besar kenegaraan yang diselenggarakan di Gedung DPR/MPR pada Jumat lalu. Agenda berlangsung khidmat dan aman meskipun di tengah situasi pandemi.
Sesi penyampaian pidato kenegaraan Presiden merupakan salah satu agenda kenegaraan yang menjadi sorotan publik. Dengan mengenakan pakaian khas Nusa Tenggara Timur, Presiden Jokowi tampil menyampaikan sejumlah pesan positif kepada masyarakat sekaligus melaporkan beberapa capaian kinerja pemerintah yang telah dilakukan sejauh ini.
Pada bagian ini, saya benar-benar mencermati betul setiap kata dan kalimat yang Presiden sampaikan sekaligus menggali secara mendalam terkait kebenaran atas apa yang Presiden sampaikan dalam pidatonya. Atau lebih tepatnya, atas apa yang disuguhkan oleh orang-orang di sekeliling Presiden sebagai bahan dari teks pidato tersebut. Sebab, dalam satu dua hal, saya tidak bisa menerima klaim yang disampaikan oleh Presiden sepenuhnya jika dikontekstualisasikan dengan kondisi faktual di lapangan.
Merespon atas pidato kenegaraan tersebut, saya berhasil menghimpun sejumlah catatan kritis pada berbagai aspek yang sempat disinggung oleh Presiden dalam pidatonya. Hal ini dilakukan dalam rangka menguji kebenaran yang disampaikan sekaligus bagian dari fungsi pengawasan kami (legislatif) untuk memastikan penyajian informasi yang lurus dan berimbang kepada publik agar tidak menjadi misleading di masyarakat. Sehingga, melalui catatan kritis ini kita bisa mengetahui sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat melalui sejumlah kebijakan yang sudah diselenggarakan selama ini.
Catatan kritis pertama adalah terkait narasi berikut; “Pada usia ke-75 ini kita telah menjadi negara Upper Middle Income Country. Dan 25 tahun lagi pada usia seabad RI kita harus mencapai kemajuan yang besar, menjadikan Indonesia menjadi negara maju.. ”
Bank Dunia memang secara resmi telah menaikan peringkat Indonesia dari Lower Middle Income Country menjadi negara Upper Middle Income Country. Narasi ini terkesan fantastis di permukaan. Apalagi, pencapaian ini diraih di tengah pandemi, tepatnya ketika perekonomian dunia tengah lesu. Kendati demikian, perlu dicermati bahwa pencapaian ini turut menyimpan sejumlah konsekuensi serius dibaliknya. Menyadur pada analisis dari Bhima Yudistira, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kenaikan peringkat ini setidaknya membawa dua konsekuensi serius bagi Indonesia; Pertama, Indonesia semakin dianggap sebagai negara yang mampu membayar bunga dengan rate lebih mahal sehingga biaya utang pemerintah bisa lebih mahal. Sementara itu, kreditur akan lebih memprioritaskan negara dengan pendapatan yang lebih rendah dari Indonesia. Alhasil, pembiayaan murah yang biasa diandalkan pemerintah jadi terbatas.
Kedua, sejumlah negara akan memiliki alasan kuat untuk menghapus faslitas perdagangan ke Indonesia. Misalnya fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) AS, yakni pemotongan tarif bea masuk ke pasar negara AS. Perlu diketahui, model kebijakan ini dilakukan oleh negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sejauh ini kebijakan tersebut cukup memberikan keuntungan bagi produk lokal seperti tekstil, pertanian, perikananan, dll.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS
SEBELUMNYA, saya perlu menyampaikan apresiasi kepada segenap pihak atas keberhasilan penyelenggaraan sejumlah agenda besar kenegaraan yang diselenggarakan di Gedung DPR/MPR pada Jumat lalu. Agenda berlangsung khidmat dan aman meskipun di tengah situasi pandemi.
Sesi penyampaian pidato kenegaraan Presiden merupakan salah satu agenda kenegaraan yang menjadi sorotan publik. Dengan mengenakan pakaian khas Nusa Tenggara Timur, Presiden Jokowi tampil menyampaikan sejumlah pesan positif kepada masyarakat sekaligus melaporkan beberapa capaian kinerja pemerintah yang telah dilakukan sejauh ini.
Pada bagian ini, saya benar-benar mencermati betul setiap kata dan kalimat yang Presiden sampaikan sekaligus menggali secara mendalam terkait kebenaran atas apa yang Presiden sampaikan dalam pidatonya. Atau lebih tepatnya, atas apa yang disuguhkan oleh orang-orang di sekeliling Presiden sebagai bahan dari teks pidato tersebut. Sebab, dalam satu dua hal, saya tidak bisa menerima klaim yang disampaikan oleh Presiden sepenuhnya jika dikontekstualisasikan dengan kondisi faktual di lapangan.
Merespon atas pidato kenegaraan tersebut, saya berhasil menghimpun sejumlah catatan kritis pada berbagai aspek yang sempat disinggung oleh Presiden dalam pidatonya. Hal ini dilakukan dalam rangka menguji kebenaran yang disampaikan sekaligus bagian dari fungsi pengawasan kami (legislatif) untuk memastikan penyajian informasi yang lurus dan berimbang kepada publik agar tidak menjadi misleading di masyarakat. Sehingga, melalui catatan kritis ini kita bisa mengetahui sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat melalui sejumlah kebijakan yang sudah diselenggarakan selama ini.
Catatan kritis pertama adalah terkait narasi berikut; “Pada usia ke-75 ini kita telah menjadi negara Upper Middle Income Country. Dan 25 tahun lagi pada usia seabad RI kita harus mencapai kemajuan yang besar, menjadikan Indonesia menjadi negara maju.. ”
Bank Dunia memang secara resmi telah menaikan peringkat Indonesia dari Lower Middle Income Country menjadi negara Upper Middle Income Country. Narasi ini terkesan fantastis di permukaan. Apalagi, pencapaian ini diraih di tengah pandemi, tepatnya ketika perekonomian dunia tengah lesu. Kendati demikian, perlu dicermati bahwa pencapaian ini turut menyimpan sejumlah konsekuensi serius dibaliknya. Menyadur pada analisis dari Bhima Yudistira, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kenaikan peringkat ini setidaknya membawa dua konsekuensi serius bagi Indonesia; Pertama, Indonesia semakin dianggap sebagai negara yang mampu membayar bunga dengan rate lebih mahal sehingga biaya utang pemerintah bisa lebih mahal. Sementara itu, kreditur akan lebih memprioritaskan negara dengan pendapatan yang lebih rendah dari Indonesia. Alhasil, pembiayaan murah yang biasa diandalkan pemerintah jadi terbatas.
Kedua, sejumlah negara akan memiliki alasan kuat untuk menghapus faslitas perdagangan ke Indonesia. Misalnya fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) AS, yakni pemotongan tarif bea masuk ke pasar negara AS. Perlu diketahui, model kebijakan ini dilakukan oleh negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sejauh ini kebijakan tersebut cukup memberikan keuntungan bagi produk lokal seperti tekstil, pertanian, perikananan, dll.
Lihat Juga :
tulis komentar anda