Grounded Garuda dari Haji, Mungkinkah?
Minggu, 26 Mei 2024 - 11:04 WIB
MESINGaruda Indonesia terbakar di Bandara Hasanuddin Makassar, mesin Garuda rusak di Solo, delay Garuda di Bandara Madinah parah.
Itulah sederet pemberitaan penyelenggaraan haji yang banyak menyita perhatian publik sepekan terakhir. Kementerian Agama pun (Kemenag) kecewa berat. Jemaah ikut marah besar. Publik juga tak luput geram dengan kinerja Garuda.
Kekecewaan, kemarahan dan kegeraman itu beralasan. Kegagalan ini bukan kali ini saja dilakukan oleh Garuda yang notabene maskapai berstatus pelat merah satu-satunya dan jadi kebanggaan Indonesia. Isu pesawat rusak dan jadwal penerbangan molor jadi kabar rutin dalam setiap musim haji. Sentilan, kritikan dan protes tak henti dilayangkan. Namun faktanya, masalah menahun ini seolah sulit diubah. Banyak pihak dibuat jengah. Namun lagi-lagi Garuda tak juga mampu berbenah.
Lantas, di tengah kejengahan ini, semua harus dibuat pasrah atas ulah Garuda? Tentu jawabannya tidak. Apalagi dampak ketidakprofesionalan manajemen Garuda ini sangat memiliki rentetan panjang. Ya, bukan aspek psikologis semata yang membuat jemaah dan banyak pihak kecewa, marah hingga mengernyitkan dahi. Bagi Kementerian Agama, gangguan penerbangan jelas menjadi momok. Sebab, menit per menit jadwal telah diatur sedemikian rupa untuk mengendalikan pergerakan jemaah baik sejak masuk asrama, naik pesawat, penjemputan di bandara tujuan, akomodasi hotel, konsumsi, transportasi di Tanah Suci dan lainnya.
Selain melibatkan ribuan orang, seluruh tahapan itu juga menelan anggaran yang besar, mencapai miliaran rupiah. Artinya, sekali ada pesawat telat, maka panitia haji tak sekadar tercekat tapi juga tercekik. Mereka dipaksa mengubah skema dadakan yang jauh-jauh hari dipikir matang. Tubrukan jadwal pergerakan jemaah menjadi risiko yang pasti terjadi. Belum lagi panitia harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan otoritas Arab Saudi yang juga tidak mudah dilakukan. Sekali lagi, imbas delay pesawat tak sesederhana layaknya penerbangan komersial lainnya yang mungkin maskapai cukup memberi kompensasi dengan air mineral, jajanan ringan atau bahkan penginapan.
Soal transportasi haji ini semua patut mendudukkan secara proporsional. Artinya pendekatannya bukan semata dari kacamata maskapai dengan bendera Merah Putih atau tidak. Lebih dari itu, penyelenggaran haji termasuk dalam hal pengangkutan jemaah perlu menomorsatukan aspek pelayanan dan perlindungan. Ini sudah final menjadi mandat regulasi yakni Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Berangkat dari kesadaran itu, jika ada kerusakan mesin tak terdeteksi hingga sampai terbakar saat pesawat take off, bukankah itu bukti jauhnya aspek perlindungan? Bukankah delay yang tak henti hingga separuh masa pemberangkatan ini dikategorikan dalam keteledoran? Data Kemenag menyebut, hingga 19 Mei, tingkat delay Garuda mencapai 47,5 persen. Potensi delay tentu lebih besar lagi karena semakin mendekati masa akhir kedatangan jemaah dari seluruh dunia di Arab Saudi (closing date), lalu lintas penerbangan bakal kian padat.
Bagi pihak tertentu, mungkin menganggap berlebihan jika harus mengkritik keras manajemen Garuda Indonesia saat ini. Namun, kritikan ini adalah justru menjadi keharusan agar Garuda lebih cepat sadar akan kesalahan dan bangkit dari menjadi lebih baik ke depan. Tiga masalah mendasar yang setidaknya patut menjadi perhatian Garuda ke depan adalah soal manajemen sewa pesawat, perubahan sistem pengelolaan pesawat dan penguatan integritas.
Manajemen sewa pesawat ini penting sebab meski keputusan soal besaran biaya haji telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR lebih dini, faktanya Garuda tak mudah menjalankannya. Demikian pula, meski model sewa atau carter sudah jadi langganan, namun Garuda seperti diakui Direktur Utama Irfan Setiaputra cukup kesulitan mendapat pesawat dengan spesifikasi yang diinginkan. Ada banyak argumen di balik kesulitan itu. Mulai dari jumlah pesawat sewaan yang dinyatakan minim hingga terbatasnya pembuatan pesawat baru dari pabrikan.
Itulah sederet pemberitaan penyelenggaraan haji yang banyak menyita perhatian publik sepekan terakhir. Kementerian Agama pun (Kemenag) kecewa berat. Jemaah ikut marah besar. Publik juga tak luput geram dengan kinerja Garuda.
Kekecewaan, kemarahan dan kegeraman itu beralasan. Kegagalan ini bukan kali ini saja dilakukan oleh Garuda yang notabene maskapai berstatus pelat merah satu-satunya dan jadi kebanggaan Indonesia. Isu pesawat rusak dan jadwal penerbangan molor jadi kabar rutin dalam setiap musim haji. Sentilan, kritikan dan protes tak henti dilayangkan. Namun faktanya, masalah menahun ini seolah sulit diubah. Banyak pihak dibuat jengah. Namun lagi-lagi Garuda tak juga mampu berbenah.
Lantas, di tengah kejengahan ini, semua harus dibuat pasrah atas ulah Garuda? Tentu jawabannya tidak. Apalagi dampak ketidakprofesionalan manajemen Garuda ini sangat memiliki rentetan panjang. Ya, bukan aspek psikologis semata yang membuat jemaah dan banyak pihak kecewa, marah hingga mengernyitkan dahi. Bagi Kementerian Agama, gangguan penerbangan jelas menjadi momok. Sebab, menit per menit jadwal telah diatur sedemikian rupa untuk mengendalikan pergerakan jemaah baik sejak masuk asrama, naik pesawat, penjemputan di bandara tujuan, akomodasi hotel, konsumsi, transportasi di Tanah Suci dan lainnya.
Selain melibatkan ribuan orang, seluruh tahapan itu juga menelan anggaran yang besar, mencapai miliaran rupiah. Artinya, sekali ada pesawat telat, maka panitia haji tak sekadar tercekat tapi juga tercekik. Mereka dipaksa mengubah skema dadakan yang jauh-jauh hari dipikir matang. Tubrukan jadwal pergerakan jemaah menjadi risiko yang pasti terjadi. Belum lagi panitia harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan otoritas Arab Saudi yang juga tidak mudah dilakukan. Sekali lagi, imbas delay pesawat tak sesederhana layaknya penerbangan komersial lainnya yang mungkin maskapai cukup memberi kompensasi dengan air mineral, jajanan ringan atau bahkan penginapan.
Soal transportasi haji ini semua patut mendudukkan secara proporsional. Artinya pendekatannya bukan semata dari kacamata maskapai dengan bendera Merah Putih atau tidak. Lebih dari itu, penyelenggaran haji termasuk dalam hal pengangkutan jemaah perlu menomorsatukan aspek pelayanan dan perlindungan. Ini sudah final menjadi mandat regulasi yakni Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Berangkat dari kesadaran itu, jika ada kerusakan mesin tak terdeteksi hingga sampai terbakar saat pesawat take off, bukankah itu bukti jauhnya aspek perlindungan? Bukankah delay yang tak henti hingga separuh masa pemberangkatan ini dikategorikan dalam keteledoran? Data Kemenag menyebut, hingga 19 Mei, tingkat delay Garuda mencapai 47,5 persen. Potensi delay tentu lebih besar lagi karena semakin mendekati masa akhir kedatangan jemaah dari seluruh dunia di Arab Saudi (closing date), lalu lintas penerbangan bakal kian padat.
Bagi pihak tertentu, mungkin menganggap berlebihan jika harus mengkritik keras manajemen Garuda Indonesia saat ini. Namun, kritikan ini adalah justru menjadi keharusan agar Garuda lebih cepat sadar akan kesalahan dan bangkit dari menjadi lebih baik ke depan. Tiga masalah mendasar yang setidaknya patut menjadi perhatian Garuda ke depan adalah soal manajemen sewa pesawat, perubahan sistem pengelolaan pesawat dan penguatan integritas.
Manajemen sewa pesawat ini penting sebab meski keputusan soal besaran biaya haji telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR lebih dini, faktanya Garuda tak mudah menjalankannya. Demikian pula, meski model sewa atau carter sudah jadi langganan, namun Garuda seperti diakui Direktur Utama Irfan Setiaputra cukup kesulitan mendapat pesawat dengan spesifikasi yang diinginkan. Ada banyak argumen di balik kesulitan itu. Mulai dari jumlah pesawat sewaan yang dinyatakan minim hingga terbatasnya pembuatan pesawat baru dari pabrikan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda