Kisah Jenderal Oerip Soemohardjo, Sosok Panglima TNI Pertama yang Ganti Nama Setelah Jatuh dari Pohon Kemiri
Jum'at, 17 Mei 2024 - 06:03 WIB
Ketika suatu kali di Purworejo diadakan pertunjukan sirkus, Oerip memimpin kawan-kawan memanjat pohon yang tumbuh dekat tempat pertunjukan itu. Dengan demikian, anak-anak kecil itu dapat menonton dengan tak usah membayar.
Dikisahkan, ayah Oerip mempunyai beberapa ekor kerbau. Oerip senang sekali menggiring kerbau-kerbau itu di jalan-jalan di dalam kota. Ia dengan bangga duduk di atas punggung seekor kerbau besar.
Perbuatannya itu menyebabkan lalu lintas terhalang, bahkan suatu kali kendaraan Bupati Purworejo terpaksa berhenti. Akibatnya ayah Oerip dipanggil ke kabupaten dan mantri guru itu berjanji akan melarang anaknya melakukan pekerjaan yang tidak baik itu.
Bagi Oerip, duduk di dalam kelas merupakan siksaan. Dia beranggapan dengan sekolah itu kebebasannya bermain menjadi terhalang. Karena itu, Oerip tidak termasuk murid yang pintar.
Meski tak tergolong anak pintar, H.I.S berhasil diselesaikannya. Sesudah itu selama satu tahun, ia memasuki sekolah Belanda untuk memperlancar bahasa Belandanya. Di sekolah ini, ia terpaksa duduk satu kelas dengan anak-anak perempuan. Dengan cara itu, orang tuanya mengharapkan agar Oerip akan menjadi lebih tenang.
Baik orang tuanya maupun Bupati Wijayokusuma mengharapkan agar Oerip kelak menjadi seorang bupati menggantikan kakeknya. Kakeknya dari pihak ayahnya mengharapkan agar Oerip menjadi seorang alim dan suatu waktu kelak naik haji ke Makkah.
Namun perjalanan hidup Oerip berkata lain. Tidak satupun di antara harapan itu terkabul. Pada 1906, setelah menyelesaikan sekolah Belanda, Oerip dikirim ke Magelang untuk mengikuti pendidikan pada OSVIA (Opleiding School Voor Indische Ambtenaren-sekolah pendidikan untuk pegawai Pangreh Praja Hindia).
Tiga tahun setelah menjalani pendidikan OSVIA, Oerip menerima kabar duka. Ibundanya tercinta meninggal dunia. Bersamaan dengan itu meninggal pula kakeknya, Bupati Wijayokusumo.
Sejak kematian ibunya, Oerip berubah menjadi anak yang pendiam dan murung. OSVIA tidak lagi menarik perhatiannya. Oerip ingin mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang sesuai dengan panggilan jiwanya.
Sebab, menjadi seorang Pamong Praja bukanlah keinginannya. Ia memasuki OSVIA hanya karena desakan yang keras dari orang tuanya. Di Magelang yang terkenal sebagai kota militer, Oerip lantas berkenalan dengan salah seorang anggota militer Belanda.
Dikisahkan, ayah Oerip mempunyai beberapa ekor kerbau. Oerip senang sekali menggiring kerbau-kerbau itu di jalan-jalan di dalam kota. Ia dengan bangga duduk di atas punggung seekor kerbau besar.
Perbuatannya itu menyebabkan lalu lintas terhalang, bahkan suatu kali kendaraan Bupati Purworejo terpaksa berhenti. Akibatnya ayah Oerip dipanggil ke kabupaten dan mantri guru itu berjanji akan melarang anaknya melakukan pekerjaan yang tidak baik itu.
Bagi Oerip, duduk di dalam kelas merupakan siksaan. Dia beranggapan dengan sekolah itu kebebasannya bermain menjadi terhalang. Karena itu, Oerip tidak termasuk murid yang pintar.
Meski tak tergolong anak pintar, H.I.S berhasil diselesaikannya. Sesudah itu selama satu tahun, ia memasuki sekolah Belanda untuk memperlancar bahasa Belandanya. Di sekolah ini, ia terpaksa duduk satu kelas dengan anak-anak perempuan. Dengan cara itu, orang tuanya mengharapkan agar Oerip akan menjadi lebih tenang.
Baik orang tuanya maupun Bupati Wijayokusuma mengharapkan agar Oerip kelak menjadi seorang bupati menggantikan kakeknya. Kakeknya dari pihak ayahnya mengharapkan agar Oerip menjadi seorang alim dan suatu waktu kelak naik haji ke Makkah.
Namun perjalanan hidup Oerip berkata lain. Tidak satupun di antara harapan itu terkabul. Pada 1906, setelah menyelesaikan sekolah Belanda, Oerip dikirim ke Magelang untuk mengikuti pendidikan pada OSVIA (Opleiding School Voor Indische Ambtenaren-sekolah pendidikan untuk pegawai Pangreh Praja Hindia).
Tiga tahun setelah menjalani pendidikan OSVIA, Oerip menerima kabar duka. Ibundanya tercinta meninggal dunia. Bersamaan dengan itu meninggal pula kakeknya, Bupati Wijayokusumo.
Sejak kematian ibunya, Oerip berubah menjadi anak yang pendiam dan murung. OSVIA tidak lagi menarik perhatiannya. Oerip ingin mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang sesuai dengan panggilan jiwanya.
Sebab, menjadi seorang Pamong Praja bukanlah keinginannya. Ia memasuki OSVIA hanya karena desakan yang keras dari orang tuanya. Di Magelang yang terkenal sebagai kota militer, Oerip lantas berkenalan dengan salah seorang anggota militer Belanda.
Lihat Juga :
tulis komentar anda