Kisah Jenderal Oerip Soemohardjo, Sosok Panglima TNI Pertama yang Ganti Nama Setelah Jatuh dari Pohon Kemiri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jenderal TNI Oerip Soemohardjo merupakan salah seorang tokoh militer Indonesia yang diperhitungkan di Tanah Air. Rekam jejaknya yang mumpuni di militer mengantarkannya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Malang melintang di militer pada masa revolusi nasional dengan menduduki jabatan Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat ke-1 atau Panglima TNI untuk saat ini, Oerip menyimpan kisah unik dalam pemilihan namanya. Hal itu terjadi setelah Oerip terjatuh dari pohon kemiri.
Dikutip dari situs Pusat Sejarah TNI, Jumat (17/5/2024), Oerip Soemohardjo terlahir dengan nama Muhammad Sidik. Dia lahir di Sindurjan, Purworejo pada 22 Februari 1893.
Karena kenakalan atau lebih tepatnya disebut keberaniannya, pada suatu hari Sidik terjatuh dari pohon kemiri. Beberapa jam lamanya tidak sadarkan diri. Berita ini sangat mencemaskan kakeknya Tumenggung Wijayakusuma.
Sang kakek lalu mengirimkan utusan ke Purworejo. Memberitahukan kepada orang tua Sidik, agar nama anak itu diganti dengan Oerip dengan harapan akan hidup terus.
Menurut kepercayaan sebagian orang Indonesia, bila seorang anak sangat nakal atau sering sakit-sakitan, maka nama anak harus diganti dengan nama lain. Ketika itu Muhammad Sidik sudah duduk di H.I.S (Hollandsch Inlandsche School–Sekolah Dasar).
Perubahan nama tersebut ternyata tidak mengubah perilakunya. Ia tetap Sidik yang dulu walaupun dengan nama baru. Oerip menjadi pemimpin dari gerombolan anak-anak di Sindurejan.
Ia menentukan apa yang harus dilakukan oleh kawan-kawannya. Oerip akan berdiri di barisan paling depan untuk melindungi mereka, kalau diganggu oleh gerombolan anak-anak lainnya.
Ketika suatu kali di Purworejo diadakan pertunjukan sirkus, Oerip memimpin kawan-kawan memanjat pohon yang tumbuh dekat tempat pertunjukan itu. Dengan demikian, anak-anak kecil itu dapat menonton dengan tak usah membayar.
Dikisahkan, ayah Oerip mempunyai beberapa ekor kerbau. Oerip senang sekali menggiring kerbau-kerbau itu di jalan-jalan di dalam kota. Ia dengan bangga duduk di atas punggung seekor kerbau besar.
Perbuatannya itu menyebabkan lalu lintas terhalang, bahkan suatu kali kendaraan Bupati Purworejo terpaksa berhenti. Akibatnya ayah Oerip dipanggil ke kabupaten dan mantri guru itu berjanji akan melarang anaknya melakukan pekerjaan yang tidak baik itu.
Bagi Oerip, duduk di dalam kelas merupakan siksaan. Dia beranggapan dengan sekolah itu kebebasannya bermain menjadi terhalang. Karena itu, Oerip tidak termasuk murid yang pintar.
Meski tak tergolong anak pintar, H.I.S berhasil diselesaikannya. Sesudah itu selama satu tahun, ia memasuki sekolah Belanda untuk memperlancar bahasa Belandanya. Di sekolah ini, ia terpaksa duduk satu kelas dengan anak-anak perempuan. Dengan cara itu, orang tuanya mengharapkan agar Oerip akan menjadi lebih tenang.
Baik orang tuanya maupun Bupati Wijayokusuma mengharapkan agar Oerip kelak menjadi seorang bupati menggantikan kakeknya. Kakeknya dari pihak ayahnya mengharapkan agar Oerip menjadi seorang alim dan suatu waktu kelak naik haji ke Makkah.
Namun perjalanan hidup Oerip berkata lain. Tidak satupun di antara harapan itu terkabul. Pada 1906, setelah menyelesaikan sekolah Belanda, Oerip dikirim ke Magelang untuk mengikuti pendidikan pada OSVIA (Opleiding School Voor Indische Ambtenaren-sekolah pendidikan untuk pegawai Pangreh Praja Hindia).
Tiga tahun setelah menjalani pendidikan OSVIA, Oerip menerima kabar duka. Ibundanya tercinta meninggal dunia. Bersamaan dengan itu meninggal pula kakeknya, Bupati Wijayokusumo.
Sejak kematian ibunya, Oerip berubah menjadi anak yang pendiam dan murung. OSVIA tidak lagi menarik perhatiannya. Oerip ingin mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang sesuai dengan panggilan jiwanya.
Sebab, menjadi seorang Pamong Praja bukanlah keinginannya. Ia memasuki OSVIA hanya karena desakan yang keras dari orang tuanya. Di Magelang yang terkenal sebagai kota militer, Oerip lantas berkenalan dengan salah seorang anggota militer Belanda.
Dari perkenalan itu, Oerip banyak mengetahui kehidupan seorang tentara. Oerip mulai merasa bahwa kehidupan yang itulah yang sesuai dengan jiwanya. Keinginan untuk menjadi tentara pun semakin kuat.
Pada 1910, Oerip kemudian meninggalkan Magelang. Ketika itu, Oerip harusnya memasuki OSVIA bagian kedua. Tanpa memberitahu ayahnya, ia berangkat ke Jakarta dan mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan militer.
Ia lalu diterima pada sekolah perwira (Inlandsche Oficier) di Jatinegara. Mengetahui hal itu, ayahnya tidak setuju. Namun, ayahnya tak kuasa membantah keinginan putra sulungnya itu.
Di sekolah perwira di Jatinegara, Oerip berlatih menjadi seorang infantri. Empat tahun kemudian ia sudah dilantik sebagai perwira Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda dengan pangkat Letnan Dua.
Sepanjang menjadi serdadu KNIL, Oerip Soemohardjo telah banyak mendapat penugasan beragam. Namun, pasca Belanda mengalami kekalahan, Jepang menawan para tentara Belanda, termasuk Oerip.
Beberapa waktu setelahnya, Oerip dibebaskan oleh Jepang. Sempat ditawari untuk bergabung, dia menolaknya dan memilih pergi ke Gentan untuk menjadi petani.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Oerip heran mengapa pemerintah tak kunjung membentuk angkatan perang untuk menghadapi ancaman. Untungnya, pemerintah akhirnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Saat itu, pemerintah mengumpulkan bekas-bekas serdadu KNIL yang bersedia bergabung TKR. Pada pemanggilan ini, nama Oerip tak luput menjadi salah satu yang terdaftar.
Beberapa waktu setelah berdirinya TKR, Oerip Soemohardjo ditunjuk menjadi Kepala Staf Umum. Momen ini menandai juga kembalinya Oerip ke dunia militer.
Oerip Soemohardjo wafat pada 17 November 1948. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Melihat kontribusi dalam perjuangannya demi bangsa Indonesia, Oerip mendapat banyak penghargaan. Di antaranya seperti Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan lain sebagainya.
Kemudian, Oerip juga mendapat kenaikan pangkat dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta. Tak hanya itu, pada tanggal 10 Desember 1964, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 314 Tahun 1964.
Malang melintang di militer pada masa revolusi nasional dengan menduduki jabatan Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat ke-1 atau Panglima TNI untuk saat ini, Oerip menyimpan kisah unik dalam pemilihan namanya. Hal itu terjadi setelah Oerip terjatuh dari pohon kemiri.
Baca Juga
Dikutip dari situs Pusat Sejarah TNI, Jumat (17/5/2024), Oerip Soemohardjo terlahir dengan nama Muhammad Sidik. Dia lahir di Sindurjan, Purworejo pada 22 Februari 1893.
Karena kenakalan atau lebih tepatnya disebut keberaniannya, pada suatu hari Sidik terjatuh dari pohon kemiri. Beberapa jam lamanya tidak sadarkan diri. Berita ini sangat mencemaskan kakeknya Tumenggung Wijayakusuma.
Sang kakek lalu mengirimkan utusan ke Purworejo. Memberitahukan kepada orang tua Sidik, agar nama anak itu diganti dengan Oerip dengan harapan akan hidup terus.
Menurut kepercayaan sebagian orang Indonesia, bila seorang anak sangat nakal atau sering sakit-sakitan, maka nama anak harus diganti dengan nama lain. Ketika itu Muhammad Sidik sudah duduk di H.I.S (Hollandsch Inlandsche School–Sekolah Dasar).
Perubahan nama tersebut ternyata tidak mengubah perilakunya. Ia tetap Sidik yang dulu walaupun dengan nama baru. Oerip menjadi pemimpin dari gerombolan anak-anak di Sindurejan.
Ia menentukan apa yang harus dilakukan oleh kawan-kawannya. Oerip akan berdiri di barisan paling depan untuk melindungi mereka, kalau diganggu oleh gerombolan anak-anak lainnya.
Ketika suatu kali di Purworejo diadakan pertunjukan sirkus, Oerip memimpin kawan-kawan memanjat pohon yang tumbuh dekat tempat pertunjukan itu. Dengan demikian, anak-anak kecil itu dapat menonton dengan tak usah membayar.
Dikisahkan, ayah Oerip mempunyai beberapa ekor kerbau. Oerip senang sekali menggiring kerbau-kerbau itu di jalan-jalan di dalam kota. Ia dengan bangga duduk di atas punggung seekor kerbau besar.
Perbuatannya itu menyebabkan lalu lintas terhalang, bahkan suatu kali kendaraan Bupati Purworejo terpaksa berhenti. Akibatnya ayah Oerip dipanggil ke kabupaten dan mantri guru itu berjanji akan melarang anaknya melakukan pekerjaan yang tidak baik itu.
Bagi Oerip, duduk di dalam kelas merupakan siksaan. Dia beranggapan dengan sekolah itu kebebasannya bermain menjadi terhalang. Karena itu, Oerip tidak termasuk murid yang pintar.
Meski tak tergolong anak pintar, H.I.S berhasil diselesaikannya. Sesudah itu selama satu tahun, ia memasuki sekolah Belanda untuk memperlancar bahasa Belandanya. Di sekolah ini, ia terpaksa duduk satu kelas dengan anak-anak perempuan. Dengan cara itu, orang tuanya mengharapkan agar Oerip akan menjadi lebih tenang.
Baik orang tuanya maupun Bupati Wijayokusuma mengharapkan agar Oerip kelak menjadi seorang bupati menggantikan kakeknya. Kakeknya dari pihak ayahnya mengharapkan agar Oerip menjadi seorang alim dan suatu waktu kelak naik haji ke Makkah.
Namun perjalanan hidup Oerip berkata lain. Tidak satupun di antara harapan itu terkabul. Pada 1906, setelah menyelesaikan sekolah Belanda, Oerip dikirim ke Magelang untuk mengikuti pendidikan pada OSVIA (Opleiding School Voor Indische Ambtenaren-sekolah pendidikan untuk pegawai Pangreh Praja Hindia).
Tiga tahun setelah menjalani pendidikan OSVIA, Oerip menerima kabar duka. Ibundanya tercinta meninggal dunia. Bersamaan dengan itu meninggal pula kakeknya, Bupati Wijayokusumo.
Sejak kematian ibunya, Oerip berubah menjadi anak yang pendiam dan murung. OSVIA tidak lagi menarik perhatiannya. Oerip ingin mencari sesuatu yang lain, sesuatu yang sesuai dengan panggilan jiwanya.
Sebab, menjadi seorang Pamong Praja bukanlah keinginannya. Ia memasuki OSVIA hanya karena desakan yang keras dari orang tuanya. Di Magelang yang terkenal sebagai kota militer, Oerip lantas berkenalan dengan salah seorang anggota militer Belanda.
Dari perkenalan itu, Oerip banyak mengetahui kehidupan seorang tentara. Oerip mulai merasa bahwa kehidupan yang itulah yang sesuai dengan jiwanya. Keinginan untuk menjadi tentara pun semakin kuat.
Pada 1910, Oerip kemudian meninggalkan Magelang. Ketika itu, Oerip harusnya memasuki OSVIA bagian kedua. Tanpa memberitahu ayahnya, ia berangkat ke Jakarta dan mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan militer.
Ia lalu diterima pada sekolah perwira (Inlandsche Oficier) di Jatinegara. Mengetahui hal itu, ayahnya tidak setuju. Namun, ayahnya tak kuasa membantah keinginan putra sulungnya itu.
Di sekolah perwira di Jatinegara, Oerip berlatih menjadi seorang infantri. Empat tahun kemudian ia sudah dilantik sebagai perwira Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda dengan pangkat Letnan Dua.
Sepanjang menjadi serdadu KNIL, Oerip Soemohardjo telah banyak mendapat penugasan beragam. Namun, pasca Belanda mengalami kekalahan, Jepang menawan para tentara Belanda, termasuk Oerip.
Beberapa waktu setelahnya, Oerip dibebaskan oleh Jepang. Sempat ditawari untuk bergabung, dia menolaknya dan memilih pergi ke Gentan untuk menjadi petani.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Oerip heran mengapa pemerintah tak kunjung membentuk angkatan perang untuk menghadapi ancaman. Untungnya, pemerintah akhirnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Saat itu, pemerintah mengumpulkan bekas-bekas serdadu KNIL yang bersedia bergabung TKR. Pada pemanggilan ini, nama Oerip tak luput menjadi salah satu yang terdaftar.
Beberapa waktu setelah berdirinya TKR, Oerip Soemohardjo ditunjuk menjadi Kepala Staf Umum. Momen ini menandai juga kembalinya Oerip ke dunia militer.
Oerip Soemohardjo wafat pada 17 November 1948. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Melihat kontribusi dalam perjuangannya demi bangsa Indonesia, Oerip mendapat banyak penghargaan. Di antaranya seperti Bintang Sakti (1959), Bintang Mahaputra (1960), Bintang Republik Indonesia Adipurna (1967), dan lain sebagainya.
Kemudian, Oerip juga mendapat kenaikan pangkat dari Letnan Jenderal menjadi Jenderal Anumerta. Tak hanya itu, pada tanggal 10 Desember 1964, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 314 Tahun 1964.
(kri)