33.000 Orang Mengungsi Akibat Hoaks Isu Tsunami Pascagempa di Bawean
Senin, 25 Maret 2024 - 22:12 WIB
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 33.000 jiwa mengungsi akibat hoaks atau kabar bohong mengenai isu tsunami pascagempa signifikan yang mengguncang Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Sebelumnya, gempa dangkal di Laut Jawa dekat dengan Pulau Bawean diawali dengan kekuatan M6,0 kemudian M6,5 pada kedalaman 10 km, terjadi pada Jumat, 22 Maret 2024. Bahkan, rentetan gempa juga terus terjadi di mana dalam tiga hari tercatat 267 kali gempa susulan.
“Jadi dari 33.000, ini yang perlu kita jelaskan ya dari 33.000 jiwa ya ini yang mengungsi, ini sebenarnya tidak merepresentasikan jumlah bangunan yang rusak,” ungkap Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam Disaster Briefing, Senin (25/3/2024).
Aam sapaan Abdul Muhari mengatakan jumlah bangunan rusak yang terdata hanya 799 namun tidak masuk kategori rusak berat. “Jadi jumlah bangunan yang rusak berat itu hingga saat ini terdata cuma 799, ini juga belum semuanya masuk dalam kategori rusak beratnya BNPB yang rusaknya hancur seperti yang kita lihat di Cianjur ya, tapi ini kita terima dulu data ini nanti kita akan validasi,” katanya.
“Nah kalau misalkan 800 rumah rusak, satu rumah itu dihitung satu KK misalkan 5 anggota keluarga 700 kali 5, baru 3.500 seharusnya pengungsinya. Kalau misalkan kemudian ada 33.000 pengungsi yang terdata artinya ini sebenarnya bukan merepresentasikan kondisi bangunan yang rusak,” ujar Aam.
Aam pun mengatakan ketika Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto berdialog langsung di Pulau Bawean, para pengungsi mengaku jika rumah yang ditempati tidak rusak. Namun, alasan mengungsi lebih pada trauma karena rentetan gempa susulan.
“Tetapi ketika kita Kepala BNPB kemarin berdialog dengan para pengungsi sebenarnya lebih banyak mereka menyampaikan rumah saya itu enggak apa-apa, rumah saya itu masih bisa ditempati tapi kami trauma karena gempa susulan nya masih sangat signifikan,” ujar Aam.
“Jadi kita lihat dalam apa dalam 3 hari itu sampai 267 kali gempa susulan, memang tidak semua dirasakan. Tetapi kalau misalkan dalam 2 jam terus goyang lagi, 3 jam goyang lagi ini membuat masyarakat tidak merasa aman untuk kembali ke rumah,” jelasnya.
Aam mengatakan selain trauma akibat rentetan gempa, juga tersebar kabar hoaks tsunami akan terjadi. Sehingga, masyarakat lebih memilih mengungsi. “Nah, faktor trauma ini yang kemudian juga ditambah lagi ada isu tsunami, ada isu hoaks tsunami akan terjadi.”
Padahal, kata Aam, jika dilihat gempa di Laut Jawa yang kedalamannya cuma 20 sampai 50 meter secara mekanisme tidak akan signifikan bisa mengangkat massa air dan menyebabkan tsunami. “Secara mekanisme teknisnya, apalagi ini gempanya gempa sesar geser ya. Kecuali kalau nanti ada longsoran di bawah lautnya,” katanya.
“Kalaupun ada longsor di bawah laut pola sedimentasi yang ada di laut Jawa mungkin tidak akan signifikan untuk itu, tidak ada palung-palung yang signifikan dan seterusnya. Jadi kita sudah sampaikan ke masyarakat bahwa tidak benar adanya isu-isu potensi tsunami di laut Jawa atau pasca gempa Bawean,” pungkasnya.
Sebelumnya, gempa dangkal di Laut Jawa dekat dengan Pulau Bawean diawali dengan kekuatan M6,0 kemudian M6,5 pada kedalaman 10 km, terjadi pada Jumat, 22 Maret 2024. Bahkan, rentetan gempa juga terus terjadi di mana dalam tiga hari tercatat 267 kali gempa susulan.
“Jadi dari 33.000, ini yang perlu kita jelaskan ya dari 33.000 jiwa ya ini yang mengungsi, ini sebenarnya tidak merepresentasikan jumlah bangunan yang rusak,” ungkap Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam Disaster Briefing, Senin (25/3/2024).
Aam sapaan Abdul Muhari mengatakan jumlah bangunan rusak yang terdata hanya 799 namun tidak masuk kategori rusak berat. “Jadi jumlah bangunan yang rusak berat itu hingga saat ini terdata cuma 799, ini juga belum semuanya masuk dalam kategori rusak beratnya BNPB yang rusaknya hancur seperti yang kita lihat di Cianjur ya, tapi ini kita terima dulu data ini nanti kita akan validasi,” katanya.
“Nah kalau misalkan 800 rumah rusak, satu rumah itu dihitung satu KK misalkan 5 anggota keluarga 700 kali 5, baru 3.500 seharusnya pengungsinya. Kalau misalkan kemudian ada 33.000 pengungsi yang terdata artinya ini sebenarnya bukan merepresentasikan kondisi bangunan yang rusak,” ujar Aam.
Aam pun mengatakan ketika Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto berdialog langsung di Pulau Bawean, para pengungsi mengaku jika rumah yang ditempati tidak rusak. Namun, alasan mengungsi lebih pada trauma karena rentetan gempa susulan.
“Tetapi ketika kita Kepala BNPB kemarin berdialog dengan para pengungsi sebenarnya lebih banyak mereka menyampaikan rumah saya itu enggak apa-apa, rumah saya itu masih bisa ditempati tapi kami trauma karena gempa susulan nya masih sangat signifikan,” ujar Aam.
“Jadi kita lihat dalam apa dalam 3 hari itu sampai 267 kali gempa susulan, memang tidak semua dirasakan. Tetapi kalau misalkan dalam 2 jam terus goyang lagi, 3 jam goyang lagi ini membuat masyarakat tidak merasa aman untuk kembali ke rumah,” jelasnya.
Aam mengatakan selain trauma akibat rentetan gempa, juga tersebar kabar hoaks tsunami akan terjadi. Sehingga, masyarakat lebih memilih mengungsi. “Nah, faktor trauma ini yang kemudian juga ditambah lagi ada isu tsunami, ada isu hoaks tsunami akan terjadi.”
Padahal, kata Aam, jika dilihat gempa di Laut Jawa yang kedalamannya cuma 20 sampai 50 meter secara mekanisme tidak akan signifikan bisa mengangkat massa air dan menyebabkan tsunami. “Secara mekanisme teknisnya, apalagi ini gempanya gempa sesar geser ya. Kecuali kalau nanti ada longsoran di bawah lautnya,” katanya.
“Kalaupun ada longsor di bawah laut pola sedimentasi yang ada di laut Jawa mungkin tidak akan signifikan untuk itu, tidak ada palung-palung yang signifikan dan seterusnya. Jadi kita sudah sampaikan ke masyarakat bahwa tidak benar adanya isu-isu potensi tsunami di laut Jawa atau pasca gempa Bawean,” pungkasnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda