Status Abu-abu Ibu Kota Negara
Senin, 11 Maret 2024 - 15:52 WIB
SEJATINYA secara administratif, posisi ibu kota negara Indonesia saat ini tengah dalam ketidakjelasan. Ini dipicu ketidaksepahaman antara DPR dan pemerintah terkait masa berakhirnya status Jakarta sebagai ibu kota negara.
Per 15 Februari 2024 lalu, Jakarta sebagaimana diungkap Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, Selasa (5/3/2024), telah hilang predikatnya sebagai daerah khusus ibu kota. Sebab per tanggal itu, Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah resmi berlaku sejak diundangkan tepat dua tahun sebelumnya. Praktis semenjak itu pula, segala persoalan berkaitan ibu kota negara telah beralih ke Nusantara di Kalimantan Timur. UU No 29 Tahun 2007 yang mengatur Jakarta sebagai ibu kota negara pun tak berlaku lagi.
Namun keyakinan DPR ini ditepis pemerintah. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menegaskan, Jakarta masih berstatus ibu kota kendati UU tentang IKN telah diundangkan. Pemerintah berdalih, 'masa tugas' DKI Jakarta sebagai ibu kota baru akan benar-benar berakhir jika sudah ada keputusan presiden (keppres). Namun soal kapan keppres ini akan terbit, Dini pun tidak tahu karena semua itu menjadi otoritas penuh Presiden Joko Widodo sebagai peneken regulasi tersebut. Yang pasti, status Jakarta sebagai ibu kota saat ini belum sedikitpun bergeser, merujuk isi pasal 39 ayat 1 UU IKN.
Apakah pernyataan Dini ini membuat kalangan DPR dan publik lantas mengamini? Bukankah lowongnya status ibu kota ini justru potret pemerintah yang bekerja lamban atau lalai? Dua tahun lalu ketika UU No 3 Tahun 2022 diundangkan, pemerintah telah menargetkan bisa menyusun sembilan regulasi turunannya. Sembilan regulasi itu, mulai tentang Peraturan Presiden tentang Susunan dan Tata Cara Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN, serta Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan IKN hingga Keppres tentang Pengalihan Kedudukan, Fungsi, dan Peran IKN dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sebagaimana tertuang di pasal 14 ayat (2) UU IKN ditarget beres pada April 2022. Namun dua tahun berselang, faktanya belum semua regulasi itu terbit, termasuk keppres yang kini jadi polemik.
Tidak ada yang tahu apa musabab keppres itu begitu lamban disusun. Yang pasti, isu ini kadung muncul dan ramai menjadi perbincangan publik. Dan tentu mencuatnya isu ini kian membuat sebagian masyarakat ragu. Benarkah pemerintah sudah siap betul untuk memboyong ibu kota dari Jakarta ke Nusantara? Keraguan itu beralasan, sebab jelang lima bulan dioperasikan, kesan kebijakan IKN cenderung dipaksakan alias belum dipikirkan sepenuhnya matang masih terngiang-ngiang. Regulasi yang tak pasti, undang-undang yang dibuat seolah kejar tayang, infrastruktur ala Roro Jonggrang hingga para aparatur sipil negara (ASN) yang masih bimbang menjadi indikasi bahwa kebijakan ini tampak bopeng sana sini.
Pemerintah otomatis dipaksa bekerja lebih keras lagi. Terutama dalam meyakinkan rakyat Indonesia bahwa kebijakan IKN ini adalah sebuah langkah tepat, visioner, berkeadilan dan tak sekadar bertumpu pada sisi keberanian atau gagah-gagahan semata. Semua risiko itu mau tak mau harus diterima oleh pemerintah karena sejak awal memang tampak gagap dalam mengomunikasikan kebijakan strategis ini ke publik.
Persoalan status ibu kota ini jelas menjadi salah satu bukti begitu lemahnya pemerintah melakukan legislasi dan komunikasi publik. Isu krusial ini tampak jelas tidak diantisipasi sedini mungkin. Mestinya, ketika UU No 3 Tahun 2022 ini diundangkan, pada saat yang sama pemerintah menyiapkan keppres dalam tempo tak terlalu lama. Atau setidaknya pemerintah mendahului dengan membuat narasi tentang status ibu kota secara lengkap sekaligus menenangkan. Sehingga kebingungan publik atas status DKI Jakarta seperti sekarang tidak sampai terjadi.
Munculnya respons ketika isu ini baru mencuat atau mungkin dianggap membahayakan jelas bukti bahwa ada ketidaksiapan dalam pengelolaan komunikasi. Lebih parah lagi di kala publik dilanda keingintahuan yang tinggi tentang apa sebenarnya status DKI, pemerintah ternyata tidak memiliki jawaban yang pasti. Ini tentu berakibat luas. Tak sekadar bagi rakyat Indonesia secara politis, abu-abunya status DKI juga berpotensi berdampak pada berbagai lini, seperti aspek hukum, investasi, kerjasama bilateral, pariwisata dan lainnya. Bisa dibayangkan, ketika ada investor berminat ke Indonesia, namun gara-gara status ibu kota yang tak jelas mereka akhirnya memilih wait and see atau malah pergi.
Per 15 Februari 2024 lalu, Jakarta sebagaimana diungkap Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, Selasa (5/3/2024), telah hilang predikatnya sebagai daerah khusus ibu kota. Sebab per tanggal itu, Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah resmi berlaku sejak diundangkan tepat dua tahun sebelumnya. Praktis semenjak itu pula, segala persoalan berkaitan ibu kota negara telah beralih ke Nusantara di Kalimantan Timur. UU No 29 Tahun 2007 yang mengatur Jakarta sebagai ibu kota negara pun tak berlaku lagi.
Namun keyakinan DPR ini ditepis pemerintah. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menegaskan, Jakarta masih berstatus ibu kota kendati UU tentang IKN telah diundangkan. Pemerintah berdalih, 'masa tugas' DKI Jakarta sebagai ibu kota baru akan benar-benar berakhir jika sudah ada keputusan presiden (keppres). Namun soal kapan keppres ini akan terbit, Dini pun tidak tahu karena semua itu menjadi otoritas penuh Presiden Joko Widodo sebagai peneken regulasi tersebut. Yang pasti, status Jakarta sebagai ibu kota saat ini belum sedikitpun bergeser, merujuk isi pasal 39 ayat 1 UU IKN.
Apakah pernyataan Dini ini membuat kalangan DPR dan publik lantas mengamini? Bukankah lowongnya status ibu kota ini justru potret pemerintah yang bekerja lamban atau lalai? Dua tahun lalu ketika UU No 3 Tahun 2022 diundangkan, pemerintah telah menargetkan bisa menyusun sembilan regulasi turunannya. Sembilan regulasi itu, mulai tentang Peraturan Presiden tentang Susunan dan Tata Cara Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus IKN, serta Persiapan, Pembangunan, dan Pemindahan IKN hingga Keppres tentang Pengalihan Kedudukan, Fungsi, dan Peran IKN dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sebagaimana tertuang di pasal 14 ayat (2) UU IKN ditarget beres pada April 2022. Namun dua tahun berselang, faktanya belum semua regulasi itu terbit, termasuk keppres yang kini jadi polemik.
Tidak ada yang tahu apa musabab keppres itu begitu lamban disusun. Yang pasti, isu ini kadung muncul dan ramai menjadi perbincangan publik. Dan tentu mencuatnya isu ini kian membuat sebagian masyarakat ragu. Benarkah pemerintah sudah siap betul untuk memboyong ibu kota dari Jakarta ke Nusantara? Keraguan itu beralasan, sebab jelang lima bulan dioperasikan, kesan kebijakan IKN cenderung dipaksakan alias belum dipikirkan sepenuhnya matang masih terngiang-ngiang. Regulasi yang tak pasti, undang-undang yang dibuat seolah kejar tayang, infrastruktur ala Roro Jonggrang hingga para aparatur sipil negara (ASN) yang masih bimbang menjadi indikasi bahwa kebijakan ini tampak bopeng sana sini.
Komunikasi Publik Tak Responsif
Terlepas dari argumen yang disampaikan oleh stafsus presiden, munculnya isu status ibu kota ini adalah sebuah langkah mundur bagi pemerintah. Isu ini pun jelas berpotensi kian menggerus imej soal IKN Nusantara yang telah digadang-gadang bisa dimulai berjalan Agustus tahun ini.Pemerintah otomatis dipaksa bekerja lebih keras lagi. Terutama dalam meyakinkan rakyat Indonesia bahwa kebijakan IKN ini adalah sebuah langkah tepat, visioner, berkeadilan dan tak sekadar bertumpu pada sisi keberanian atau gagah-gagahan semata. Semua risiko itu mau tak mau harus diterima oleh pemerintah karena sejak awal memang tampak gagap dalam mengomunikasikan kebijakan strategis ini ke publik.
Persoalan status ibu kota ini jelas menjadi salah satu bukti begitu lemahnya pemerintah melakukan legislasi dan komunikasi publik. Isu krusial ini tampak jelas tidak diantisipasi sedini mungkin. Mestinya, ketika UU No 3 Tahun 2022 ini diundangkan, pada saat yang sama pemerintah menyiapkan keppres dalam tempo tak terlalu lama. Atau setidaknya pemerintah mendahului dengan membuat narasi tentang status ibu kota secara lengkap sekaligus menenangkan. Sehingga kebingungan publik atas status DKI Jakarta seperti sekarang tidak sampai terjadi.
Munculnya respons ketika isu ini baru mencuat atau mungkin dianggap membahayakan jelas bukti bahwa ada ketidaksiapan dalam pengelolaan komunikasi. Lebih parah lagi di kala publik dilanda keingintahuan yang tinggi tentang apa sebenarnya status DKI, pemerintah ternyata tidak memiliki jawaban yang pasti. Ini tentu berakibat luas. Tak sekadar bagi rakyat Indonesia secara politis, abu-abunya status DKI juga berpotensi berdampak pada berbagai lini, seperti aspek hukum, investasi, kerjasama bilateral, pariwisata dan lainnya. Bisa dibayangkan, ketika ada investor berminat ke Indonesia, namun gara-gara status ibu kota yang tak jelas mereka akhirnya memilih wait and see atau malah pergi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda