Pemilu 2024 Diyakini Bakal Dikenang sebagai Pesta Demokrasi Medsos dan Bansos
Rabu, 28 Februari 2024 - 11:05 WIB
JAKARTA - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani meyakini bahwa Pemilu 2024 bakal dikenang sebagai pesta demokrasi media sosial (medsos) dan bantuan sosial (bansos). Ia juga menyoroti proses hasil hitung cepat, peran medsos dan bansos menutup segala kejanggalan Pemilu 2024, yang tidak bisa dijawab siapa pun.
“Pemilu 2024 akan dikenang oleh komponen rakyat yang paling besar jumlahnya yaitu, Gen Z dan Milenial. Karena mereka, Pemilu 2024 menjadi pemilu yang besar dengan dua kata,” katanya saat menjadi pembicara pada diskusi media bertajuk 'Save Election, Save Democracy' yang diadakan Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) dan PARA Syndicate di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
“Pertama, medsos, dan yang kedua bansos. Jadi, Pemilu 2024 itu akan dikenang karena medsos dan bansos. Tidak ada yang substantif, tapi inilah kondisi bobroknya sistem kita. Bobroknya pemilu kita dan hasilnya. Sudah pasti hasilnya boncos," sambung Julius.
Julius mengatakan predikat itu patut disandang menyusul berbagai keriuhan yang tampak sejak penyusunan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian diwarnai pembagian bansos dan perang di medsos, yang berujung pada penghitungan suara yang amburadul.
“Yang muncul ke permukaan sejak awal, bermula dari komposisi komisioner KPU dan Bawaslu, yang sarat nuansa politiknya sehingga terjadi berbagai pelanggaran. Ini orang-orang sakti semua. Dari persiapan saja sudah banyak yang janggal, enggak bisa dikoreksi. Pada saat pelaksanaan, se-bobrok apa pun mereka enggak akan bisa dikoreksi,” ucapnya.
Julius Menilai faktor-faktor inilah yang mendorong PBHI bergabung dalam Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) dan Para Syndicate mendesak 30 anggota DPR dari Fraksi Nasdem, PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menandatangani persetujuan pengajuan hak angket kecurangan Pemilu 2024.
Pada kesempatan itu, Julius juga menyampaikan bahwa PBHI menjadi himpunan masyarakat sipil pertama yang berdiri di Mahkamah Konstitusi (MK) mengajukan laporan dugaan pelanggaran etik dan memprotes gugatan atau permohonan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebelum permohonan Almas terkait syarat usia kepala daerah.
“Permohonan PSI sudah kita protes pada gelombang pertama. Jadi urutannya agak panjang, kemudian tetap bergulir tanpa ada satu legal standing yang jelas. Saat itu, kami katakan, nanti pasti akan ada proxy lain di antara berbagai macam proxy ini. Salah satunya akan dikabulkan dan ternyata benar sehingga keluar Putusan MK Nomor 90 dan dinyatakan terjadi pelanggaran etik berat. Salah satu poin yang saya sebut ada intervensi kekuasan yang kuat dan tertinggi untuk memutuskan putusan MK Nomor 90,” jelasnya.
Lebih lanjut, Julius mengungkapkan intervensi itu terlihat pada hasil investigasi, di mana dua dalil pertama ini digunakan untuk Gibran Rakabuming Raka. Kemudian, yang kedua adalah legal standing dari pemohon untuk legal standing Gibran sudah jelas. Tetapi, saat pendaftaran pencalonan Gibran masih menggunakan PKPU Nomor 19 yang mana syarat masih 40 tahun, namun lolos pendaftaran juga.
“Secara keseluruhan masalah Pemilu, ditambah pra kondisi. Kita tahu ada pengerahan TNI dan Polri, bahkan ada perintah hingga ke bawah untuk memenangkan paslon 02, sampai pengerahan aparat desa. Kemudian, fasilitas gaji, pensiun naik, dan sampai terakhir yang kita tahu terjadi kebobrokan secara sistemik dalam proses rekapitulasi baik dalam hal rekapitulasi C1 melalui aplikasi Sirekap,” ungkapnya.
“Pemilu 2024 akan dikenang oleh komponen rakyat yang paling besar jumlahnya yaitu, Gen Z dan Milenial. Karena mereka, Pemilu 2024 menjadi pemilu yang besar dengan dua kata,” katanya saat menjadi pembicara pada diskusi media bertajuk 'Save Election, Save Democracy' yang diadakan Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) dan PARA Syndicate di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
“Pertama, medsos, dan yang kedua bansos. Jadi, Pemilu 2024 itu akan dikenang karena medsos dan bansos. Tidak ada yang substantif, tapi inilah kondisi bobroknya sistem kita. Bobroknya pemilu kita dan hasilnya. Sudah pasti hasilnya boncos," sambung Julius.
Baca Juga
Julius mengatakan predikat itu patut disandang menyusul berbagai keriuhan yang tampak sejak penyusunan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang kemudian diwarnai pembagian bansos dan perang di medsos, yang berujung pada penghitungan suara yang amburadul.
“Yang muncul ke permukaan sejak awal, bermula dari komposisi komisioner KPU dan Bawaslu, yang sarat nuansa politiknya sehingga terjadi berbagai pelanggaran. Ini orang-orang sakti semua. Dari persiapan saja sudah banyak yang janggal, enggak bisa dikoreksi. Pada saat pelaksanaan, se-bobrok apa pun mereka enggak akan bisa dikoreksi,” ucapnya.
Julius Menilai faktor-faktor inilah yang mendorong PBHI bergabung dalam Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) dan Para Syndicate mendesak 30 anggota DPR dari Fraksi Nasdem, PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menandatangani persetujuan pengajuan hak angket kecurangan Pemilu 2024.
Pada kesempatan itu, Julius juga menyampaikan bahwa PBHI menjadi himpunan masyarakat sipil pertama yang berdiri di Mahkamah Konstitusi (MK) mengajukan laporan dugaan pelanggaran etik dan memprotes gugatan atau permohonan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebelum permohonan Almas terkait syarat usia kepala daerah.
“Permohonan PSI sudah kita protes pada gelombang pertama. Jadi urutannya agak panjang, kemudian tetap bergulir tanpa ada satu legal standing yang jelas. Saat itu, kami katakan, nanti pasti akan ada proxy lain di antara berbagai macam proxy ini. Salah satunya akan dikabulkan dan ternyata benar sehingga keluar Putusan MK Nomor 90 dan dinyatakan terjadi pelanggaran etik berat. Salah satu poin yang saya sebut ada intervensi kekuasan yang kuat dan tertinggi untuk memutuskan putusan MK Nomor 90,” jelasnya.
Lebih lanjut, Julius mengungkapkan intervensi itu terlihat pada hasil investigasi, di mana dua dalil pertama ini digunakan untuk Gibran Rakabuming Raka. Kemudian, yang kedua adalah legal standing dari pemohon untuk legal standing Gibran sudah jelas. Tetapi, saat pendaftaran pencalonan Gibran masih menggunakan PKPU Nomor 19 yang mana syarat masih 40 tahun, namun lolos pendaftaran juga.
“Secara keseluruhan masalah Pemilu, ditambah pra kondisi. Kita tahu ada pengerahan TNI dan Polri, bahkan ada perintah hingga ke bawah untuk memenangkan paslon 02, sampai pengerahan aparat desa. Kemudian, fasilitas gaji, pensiun naik, dan sampai terakhir yang kita tahu terjadi kebobrokan secara sistemik dalam proses rekapitulasi baik dalam hal rekapitulasi C1 melalui aplikasi Sirekap,” ungkapnya.
(rca)
tulis komentar anda