Bicara Pentingnya Kebebasan Menyampaikan Pendapat, Bivitri Susanti: Seakan-akan Ruang Demokrasi Lagi Dikunci
Sabtu, 10 Februari 2024 - 00:17 WIB
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengingatkan tentang pentingnya kebebasan menyampaikan pendapat. Dia menilai saat ini ruang demokrasi seakan-akan sedang dikunci.
Menurut Bivitri, berdasarkan Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi dapat dilihat dari kebebasan berpendapat warga negaranya.
"Kita akan bisa melihat, pemilu yang rutin itu hanya satu kategori, tapi di bawahnya yang bikin Indonesia jeblok jadi flawed democracy atau demokrasi yang cacat, adalah ketika tidak ada civil liberty," kata Bivitri dalam acara deklarasi manifesto kebangsaan bertajuk 'Menjaga Api Demokrasi Tetap Menyala' di iNews Tower, Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2024).
Kebebasan sipil itu, kata Bivitri, dapat dilihat dari terbuka luasnya ruang partisipasi secara formal dalam pembentukan undang-undang. Jika ruang tersebut tertutup, maka demonstrasi merupakan jalan menyampaikan aspirasi.
"Apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil? Karena kita masyarakat sipil, tangan kita adalah para wakil kita (DPR). Kalau ruangnya tertutup, apa yang akan dilakukan? Bersuara di luar, bisa demonstrasi, bisa di medsos, melalui tulisan-tulisan," ujarnya.
Namun, Bivitri melihat bahwa demonstrasi pun tidak lagi bisa dilakukan sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Sebab, tidak sedikit dari massa aksi yang kehilangan nyawa dan menjadi korban pengeroyokan oknum aparat. Hal tersebut, kata Bivitri, menjadi bukti bahwa sulitnya ruang demokrasi di Indonesia beberapa tahun ke belakang.
"Waktu revisi Undang-undang KPK, demontrasi 'Reformasi Dikorupsi' maupun demontrasi 'Cipta Kerja', itu ribuan mahasiswa yang ditangkap, dan diperlakukan semena-mena dalam penangkapan itu. Dan jangan lupa, 'Reformasi Dikorupsi' ada lima orang meninggal dunia, mahasiswa dan pelajar. Jadi saya ingin bilang bahwa, seakan-akan ruang demokrasi itu sendiri sekarang lagi dikunci," ujarnya.
Menurut Bivitri, berdasarkan Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi dapat dilihat dari kebebasan berpendapat warga negaranya.
"Kita akan bisa melihat, pemilu yang rutin itu hanya satu kategori, tapi di bawahnya yang bikin Indonesia jeblok jadi flawed democracy atau demokrasi yang cacat, adalah ketika tidak ada civil liberty," kata Bivitri dalam acara deklarasi manifesto kebangsaan bertajuk 'Menjaga Api Demokrasi Tetap Menyala' di iNews Tower, Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2024).
Kebebasan sipil itu, kata Bivitri, dapat dilihat dari terbuka luasnya ruang partisipasi secara formal dalam pembentukan undang-undang. Jika ruang tersebut tertutup, maka demonstrasi merupakan jalan menyampaikan aspirasi.
"Apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil? Karena kita masyarakat sipil, tangan kita adalah para wakil kita (DPR). Kalau ruangnya tertutup, apa yang akan dilakukan? Bersuara di luar, bisa demonstrasi, bisa di medsos, melalui tulisan-tulisan," ujarnya.
Namun, Bivitri melihat bahwa demonstrasi pun tidak lagi bisa dilakukan sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Sebab, tidak sedikit dari massa aksi yang kehilangan nyawa dan menjadi korban pengeroyokan oknum aparat. Hal tersebut, kata Bivitri, menjadi bukti bahwa sulitnya ruang demokrasi di Indonesia beberapa tahun ke belakang.
"Waktu revisi Undang-undang KPK, demontrasi 'Reformasi Dikorupsi' maupun demontrasi 'Cipta Kerja', itu ribuan mahasiswa yang ditangkap, dan diperlakukan semena-mena dalam penangkapan itu. Dan jangan lupa, 'Reformasi Dikorupsi' ada lima orang meninggal dunia, mahasiswa dan pelajar. Jadi saya ingin bilang bahwa, seakan-akan ruang demokrasi itu sendiri sekarang lagi dikunci," ujarnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda