Djoko Tjandra dan Kotak Pandora Penegakan Hukum
Kamis, 13 Agustus 2020 - 06:08 WIB
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch
BURONAN kelas kakap sekaligus terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, akhirnya menyandang status sebagai warga binaan dan menempati hunian barunya di lembaga pemasyarakatan Salemba. Terhitung sejak putusan Peninjauan Kembali (PK) dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, praktis sudah sebelas tahun Djoko Tjandra dapat dengan mudah melalang buana ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Penangkapan Djoko Tjandra ini tentu bukan akhir dari segalanya, justru menjadi awal untuk membuka tabir gelap penegakan hukum.
Sebagaimana diketahui beberapa waktu lalu hampir seluruh masyarakat Indonesia dikejutkan oleh aksi licik dari buronan ini. Betapa tidak, Djoko Tjandra yang seharusnya mendekam selama dua tahun di penjara dapat dengan mudah lenggang kangkung mengurusi segala kebutuhan untuk mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mulai dari mendapatkan kartu tanda penduduk, paspor, hingga memperoleh surat jalan dari Bareskrim Polri. Sulit untuk membantah bahwa di balik pelarian Djoko Tjandra terdapat mafia hukum yang senantiasa melindunginya.
Pemerintah diharapkan tidak larut dalam keberhasilan penangkapan ini. Sebab, pasca tertangkapnya Djoko Tjandra, terdapat segudang pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan. Pertama, lembaga terkait – Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM – harus menindak tegas oknum yang membantu pelarian Djoko Tjandra. Pada Kepolisian sendiri, Kapolri harus dapat menjamin bahwa oknum perwira tinggi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra tidak hanya diberikan sanksi etik, namun mesti diproses hukum. Sebab, sampai saat ini Korps Bhayangkara itu baru menetapkan satu orang tersangka, yakni Brigjen Prasetyo Utomo. Tak hanya itu, Kepolisian juga harus segera menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka atas dugaan melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP saat menggunakan surat jalan palsu dalam pelariannya.
Kejaksaan Agung juga harus mengevaluasi kinerja dari tim eksekutor penangkapan Djoko Tjandra. Sebab, tim tersebut terbukti gagal dalam meringkus Djoko Tjandra. Selain itu, publik menanti hasil investigasi dari tim kejaksaan terkait kepentingan atau motif dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diketahui beberapa kali melakukan pertemuan dengan Djoko Tjandra. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa yang bersangkutan juga turut menjadi bagian dari rantai pengamanan Djoko Tjandra.
Begitu pula pada KemenkumHAM, penting untuk diingat bahwa kejadian seperti ini bukan kali pertama terjadi. Pada awal tahun ini publik juga sempat dihebohkan dengan keterangan yang simpang siur dari KemenkumHAM terkait dengan keberadaan Harun Masiku. Dengan berulangnya kasus seperti ini maka akan timbul pertanyaan serius: apakah kesalahan hanya sekadar pada sistem keimigrasian, atau justru terdapat oknum petinggi Kementerian yang kerap kali melindungi pelaku korupsi?
Di luar itu, peran KPK juga penting untuk membantu penegak hukum lain dalam membongkar skandal korupsi di balik pelarian Djoko Tjandra. Mulai dari dugaan tindak pidana suap oleh Djoko Tjandra atau pun advokatnya kepada oknum penegak hukum, sampai pada mengenakan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang obstruction of justice bagi pihak-pihak yang membantu persembunyian Djoko Tjandra. Lembaga Anti Rasuah ini dapat memanfaatkan fungsi koordinasi dan supervisi, bahkan mengambil alih penyidikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 jo Pasal 10 A Undang-Undang Nomor 19/2019 jika proses hukum di Kepolisian dan Kejaksaan Agung tidak berjalan dengan maksimal.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus mengevaluasi kinerja dari Kapolri, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelejen Negara, dan MenkumHAM. Sebab, sengkarut Djoko Tjandra ini benar-benar telah menampar wajah penegakan hukum dan seluruh masyarakat di Indonesia. Publik diperlihatkan sandiwara usang dari para penegak hukum yang justru malah bahu membahu membantu buronan kasus korupsi ini melarikan diri. Sebagai kepala negara, tentu Presiden harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada sektor penegakan hukum.
Selain dari tiga lembaga yang telah diulas pada bagian sebelumnya, kinerja BIN dalam hal ini juga layak untuk dipertanyakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2011, BIN memiliki fungsi koordinasi dan pencarian informasi terkait dengan keberadaan para buronan. Namun dengan lalu lalangnya Djoko Tjandra di Indonesia menandakan bahwa BIN di bawah komando Budi Gunawan tidak cukup memiliki kemampuan untuk mendeteksi buronan ini. Padahal berkaca pada tahun 2015 dan 2016 lalu, BIN berhasil membawa pulang dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Wibowo dan Samadikun Hartono.
Penting untuk dicatat bahwa Djoko Tjandra hanya satu dari sekian banyak buronan yang masih tersebar di beberapa negara. ICW mencatat setidaknya sampai saat ini masih ada 39 buronan kasus korupsi yang belum mampu ditangkap oleh penegak hukum. Nilai kerugian negara yang diakibatkan oleh para buronan ini pun terbilang fantastis, yakni mencapai Rp53 triliun. Maka dari itu kombinasi antara penangkapan serta mengembalikan aset negara yang telah dirampok menjadi penting untuk dipikirkan di masa mendatang.
Terakhir, momentum kasus Djoko Tjandra ini mesti dijadikan ajang evaluasi besar-besaran pada sektor penegakan hukum. Jika pembenahan tidak segera dilakukan, maka niscaya publik tidak akan lagi percaya dengan penegak hukum karena terbukti selalu berdamai dengan para mafia kejahatan.
Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch
BURONAN kelas kakap sekaligus terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, akhirnya menyandang status sebagai warga binaan dan menempati hunian barunya di lembaga pemasyarakatan Salemba. Terhitung sejak putusan Peninjauan Kembali (PK) dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, praktis sudah sebelas tahun Djoko Tjandra dapat dengan mudah melalang buana ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Penangkapan Djoko Tjandra ini tentu bukan akhir dari segalanya, justru menjadi awal untuk membuka tabir gelap penegakan hukum.
Sebagaimana diketahui beberapa waktu lalu hampir seluruh masyarakat Indonesia dikejutkan oleh aksi licik dari buronan ini. Betapa tidak, Djoko Tjandra yang seharusnya mendekam selama dua tahun di penjara dapat dengan mudah lenggang kangkung mengurusi segala kebutuhan untuk mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mulai dari mendapatkan kartu tanda penduduk, paspor, hingga memperoleh surat jalan dari Bareskrim Polri. Sulit untuk membantah bahwa di balik pelarian Djoko Tjandra terdapat mafia hukum yang senantiasa melindunginya.
Pemerintah diharapkan tidak larut dalam keberhasilan penangkapan ini. Sebab, pasca tertangkapnya Djoko Tjandra, terdapat segudang pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan. Pertama, lembaga terkait – Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM – harus menindak tegas oknum yang membantu pelarian Djoko Tjandra. Pada Kepolisian sendiri, Kapolri harus dapat menjamin bahwa oknum perwira tinggi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra tidak hanya diberikan sanksi etik, namun mesti diproses hukum. Sebab, sampai saat ini Korps Bhayangkara itu baru menetapkan satu orang tersangka, yakni Brigjen Prasetyo Utomo. Tak hanya itu, Kepolisian juga harus segera menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka atas dugaan melanggar Pasal 263 ayat (2) KUHP saat menggunakan surat jalan palsu dalam pelariannya.
Kejaksaan Agung juga harus mengevaluasi kinerja dari tim eksekutor penangkapan Djoko Tjandra. Sebab, tim tersebut terbukti gagal dalam meringkus Djoko Tjandra. Selain itu, publik menanti hasil investigasi dari tim kejaksaan terkait kepentingan atau motif dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diketahui beberapa kali melakukan pertemuan dengan Djoko Tjandra. Sebab, tidak menutup kemungkinan bahwa yang bersangkutan juga turut menjadi bagian dari rantai pengamanan Djoko Tjandra.
Begitu pula pada KemenkumHAM, penting untuk diingat bahwa kejadian seperti ini bukan kali pertama terjadi. Pada awal tahun ini publik juga sempat dihebohkan dengan keterangan yang simpang siur dari KemenkumHAM terkait dengan keberadaan Harun Masiku. Dengan berulangnya kasus seperti ini maka akan timbul pertanyaan serius: apakah kesalahan hanya sekadar pada sistem keimigrasian, atau justru terdapat oknum petinggi Kementerian yang kerap kali melindungi pelaku korupsi?
Di luar itu, peran KPK juga penting untuk membantu penegak hukum lain dalam membongkar skandal korupsi di balik pelarian Djoko Tjandra. Mulai dari dugaan tindak pidana suap oleh Djoko Tjandra atau pun advokatnya kepada oknum penegak hukum, sampai pada mengenakan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang obstruction of justice bagi pihak-pihak yang membantu persembunyian Djoko Tjandra. Lembaga Anti Rasuah ini dapat memanfaatkan fungsi koordinasi dan supervisi, bahkan mengambil alih penyidikan sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 jo Pasal 10 A Undang-Undang Nomor 19/2019 jika proses hukum di Kepolisian dan Kejaksaan Agung tidak berjalan dengan maksimal.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus mengevaluasi kinerja dari Kapolri, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelejen Negara, dan MenkumHAM. Sebab, sengkarut Djoko Tjandra ini benar-benar telah menampar wajah penegakan hukum dan seluruh masyarakat di Indonesia. Publik diperlihatkan sandiwara usang dari para penegak hukum yang justru malah bahu membahu membantu buronan kasus korupsi ini melarikan diri. Sebagai kepala negara, tentu Presiden harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada sektor penegakan hukum.
Selain dari tiga lembaga yang telah diulas pada bagian sebelumnya, kinerja BIN dalam hal ini juga layak untuk dipertanyakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17/2011, BIN memiliki fungsi koordinasi dan pencarian informasi terkait dengan keberadaan para buronan. Namun dengan lalu lalangnya Djoko Tjandra di Indonesia menandakan bahwa BIN di bawah komando Budi Gunawan tidak cukup memiliki kemampuan untuk mendeteksi buronan ini. Padahal berkaca pada tahun 2015 dan 2016 lalu, BIN berhasil membawa pulang dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Wibowo dan Samadikun Hartono.
Penting untuk dicatat bahwa Djoko Tjandra hanya satu dari sekian banyak buronan yang masih tersebar di beberapa negara. ICW mencatat setidaknya sampai saat ini masih ada 39 buronan kasus korupsi yang belum mampu ditangkap oleh penegak hukum. Nilai kerugian negara yang diakibatkan oleh para buronan ini pun terbilang fantastis, yakni mencapai Rp53 triliun. Maka dari itu kombinasi antara penangkapan serta mengembalikan aset negara yang telah dirampok menjadi penting untuk dipikirkan di masa mendatang.
Terakhir, momentum kasus Djoko Tjandra ini mesti dijadikan ajang evaluasi besar-besaran pada sektor penegakan hukum. Jika pembenahan tidak segera dilakukan, maka niscaya publik tidak akan lagi percaya dengan penegak hukum karena terbukti selalu berdamai dengan para mafia kejahatan.
(ras)
tulis komentar anda