Jelang Pemilu 2024, Narasi Inklusif dan Moderat Perlu Gencar Digaungkan
Kamis, 01 Februari 2024 - 17:02 WIB
JAKARTA - Memasuki tahun politik 2024, tantangan terbesar bukan hanya terletak pada persaingan antarcalon atau partai politik, tetapi juga pada potensi polarisasi masyarakat. Narasi-narasi eksklusif dan provokatif dapat menjadi pemicu perpecahan di tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia.
Mengantisipasi potensi polarisasi dan segregasi horizontal di masyarakat menjelang Pemilu 2024, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof Muh Irfan Idris menekankan pentingnya pengerahan kontra narasi terhadap ancaman intoleransi yang sarat kepentingan politik.
"Seperti halnya berhadapan dengan ombak yang menerjang, kita bisa rasakan semakin bertambahnya urgensi mempublikasikan narasi inklusif dan moderat karena gelombang Pemilu sudah di depan mata," kata Irfan dalam keterangannya dikutip, Kamis (1/2/2024).
Menurutnya, di era globalisasi dan informasi saat ini, tidak ada lagi batasan ruang dan waktu, terutama di dunia maya. Karena itu, diperlukan narasi-narasi yang inklusif untuk melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa mempersoalkan latar belakang atau golongan tertentu.
Irfan menjelaskan pentingnya sebaran narasi positif menjadi semakin nyata di tahun politik. Ia menambahkan dampak dari kontra narasi yang selama ini secara organik datang dari berbagai tokoh, terbukti dapat menciptakan narasi yang mencerahkan masyarakat dan sesuai dengan ideologi Pancasila.
"Meskipun begitu, saya menyadari bahwa masih ada kelompok yang berusaha mengganti ideologi negara dengan konsep Khilafah. Yang jarang kelompok radikal pahami, sesungguhnya Indonesia telah menerapkan syariat Islam, meskipun tidak memformalkannya," kata Irfan.
Irfan mengatakan, poin krusial dalam upaya menjaga kerukunan adalah selalu memberikan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal. Ia mengingatkan narasi intoleran tersebut seringkali menanamkan keraguan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Perlu dipahami bahwa perbandingan antara Pancasila dan kitab suci adalah komparasi tidak tepat, mengingat Indonesia mengakui enam agama yang memiliki kitab suci masing-masing. Menurutnya, hal ini bukanlah suatu perbandingan yang relevan.
"Komparasi antara Pancasila dengan kitab suci merupakan salah satu bentuk penanaman keraguan terhadap masyarakat. Kitab suci tentu bukan perbandingan sesuai terhadap Pancasila, begitu pun sebaliknya. Jika ingin membandingkan Pancasila, yang merupakan buah pikiran dari manusia, maka bandingkanlah Pancasila dengan ideologi negara lainnya yang juga lahir sebagai produk manusia," kata Irfan.
Mengantisipasi potensi polarisasi dan segregasi horizontal di masyarakat menjelang Pemilu 2024, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof Muh Irfan Idris menekankan pentingnya pengerahan kontra narasi terhadap ancaman intoleransi yang sarat kepentingan politik.
"Seperti halnya berhadapan dengan ombak yang menerjang, kita bisa rasakan semakin bertambahnya urgensi mempublikasikan narasi inklusif dan moderat karena gelombang Pemilu sudah di depan mata," kata Irfan dalam keterangannya dikutip, Kamis (1/2/2024).
Menurutnya, di era globalisasi dan informasi saat ini, tidak ada lagi batasan ruang dan waktu, terutama di dunia maya. Karena itu, diperlukan narasi-narasi yang inklusif untuk melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa mempersoalkan latar belakang atau golongan tertentu.
Irfan menjelaskan pentingnya sebaran narasi positif menjadi semakin nyata di tahun politik. Ia menambahkan dampak dari kontra narasi yang selama ini secara organik datang dari berbagai tokoh, terbukti dapat menciptakan narasi yang mencerahkan masyarakat dan sesuai dengan ideologi Pancasila.
"Meskipun begitu, saya menyadari bahwa masih ada kelompok yang berusaha mengganti ideologi negara dengan konsep Khilafah. Yang jarang kelompok radikal pahami, sesungguhnya Indonesia telah menerapkan syariat Islam, meskipun tidak memformalkannya," kata Irfan.
Irfan mengatakan, poin krusial dalam upaya menjaga kerukunan adalah selalu memberikan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal. Ia mengingatkan narasi intoleran tersebut seringkali menanamkan keraguan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Perlu dipahami bahwa perbandingan antara Pancasila dan kitab suci adalah komparasi tidak tepat, mengingat Indonesia mengakui enam agama yang memiliki kitab suci masing-masing. Menurutnya, hal ini bukanlah suatu perbandingan yang relevan.
"Komparasi antara Pancasila dengan kitab suci merupakan salah satu bentuk penanaman keraguan terhadap masyarakat. Kitab suci tentu bukan perbandingan sesuai terhadap Pancasila, begitu pun sebaliknya. Jika ingin membandingkan Pancasila, yang merupakan buah pikiran dari manusia, maka bandingkanlah Pancasila dengan ideologi negara lainnya yang juga lahir sebagai produk manusia," kata Irfan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda