Jokowi Menegasikan Ucapannya Sendiri, TPN: Kita Butuh Figur Presiden Negarawan
Kamis, 25 Januari 2024 - 22:22 WIB
JAKARTA - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud merespons keras pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024.
Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis menekankan Indonesia menuntut sikap negarawan dari sosok Jokowi sebagai pejabat yang bisa mengayomi semua pihak di atas kepentingan kelompok, golongan, suku, agama, dan partai politik.
“Presiden itu pertama menjadi negarawan, bukan politisi. Ketika dia maju sebagai capres, memang seorang politisi, tapi saat dilantik menjadi presiden, seharusnya menjadi negarawan,” ujar Todung di Media Center TPN, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Todung menilai pernyataan Presiden Jokowi itu tidak biasa dan tidak pernah terjadi pada era presiden sebelumnya. “Pernyataan ini sangat merisaukan karena bisa ditafsirkan sebagai pengingkaran sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara,” jelasnya.
Todung juga menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara hukum maka konsekuensi logisnya semua tindakan dan ucapan presiden harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Presiden tak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya. Jadi adalah aneh jika presiden mengatakan boleh berkampanye dan memihak, sebagaimana menteri juga boleh berkampanye, selama tidak menggunakan fasilitas negara,” tuturnya.
Selain itu, Todung menilai bahwa janji Jokowi sebelum ini untuk menjaga netralitas saat pemilu menjadi hampa dan dinihilkan dengan pernyataan di Lanud Halim Perdanakusuma beberapa waktu lalu.
“Sebenarnya, gestur presiden saat mengundang tiga capres makan siang di Istana sangat positif. Sayang, sikap tidak memihak salah satu paslon itu dinegasikan sendiri oleh Joko Widodo. Padahal, publik menginginkan pemilu yang jujur, adil, dan imparsial,” urainya.
Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis menekankan Indonesia menuntut sikap negarawan dari sosok Jokowi sebagai pejabat yang bisa mengayomi semua pihak di atas kepentingan kelompok, golongan, suku, agama, dan partai politik.
Baca Juga
“Presiden itu pertama menjadi negarawan, bukan politisi. Ketika dia maju sebagai capres, memang seorang politisi, tapi saat dilantik menjadi presiden, seharusnya menjadi negarawan,” ujar Todung di Media Center TPN, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Todung menilai pernyataan Presiden Jokowi itu tidak biasa dan tidak pernah terjadi pada era presiden sebelumnya. “Pernyataan ini sangat merisaukan karena bisa ditafsirkan sebagai pengingkaran sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara,” jelasnya.
Todung juga menggarisbawahi bahwa Indonesia adalah negara hukum maka konsekuensi logisnya semua tindakan dan ucapan presiden harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Presiden tak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya. Jadi adalah aneh jika presiden mengatakan boleh berkampanye dan memihak, sebagaimana menteri juga boleh berkampanye, selama tidak menggunakan fasilitas negara,” tuturnya.
Selain itu, Todung menilai bahwa janji Jokowi sebelum ini untuk menjaga netralitas saat pemilu menjadi hampa dan dinihilkan dengan pernyataan di Lanud Halim Perdanakusuma beberapa waktu lalu.
“Sebenarnya, gestur presiden saat mengundang tiga capres makan siang di Istana sangat positif. Sayang, sikap tidak memihak salah satu paslon itu dinegasikan sendiri oleh Joko Widodo. Padahal, publik menginginkan pemilu yang jujur, adil, dan imparsial,” urainya.
tulis komentar anda