Ganjar Bakal Sediakan Internet Cepat, Pengamat: Ketimpangan Digital Tantangan Ekonomi Kreatif
Jum'at, 12 Januari 2024 - 22:31 WIB
“Meski secara market besar, namun pasar-nya terkonsentrasi di kota tier 1 dan 2. Kota tier 3 dan 4 masih sangat terbuka, namun potensi-nya terbatas. Makanya perlu dukungan untuk bisa masuk ke kota tier 3 dan 4,” ungkap dia.
Tidak bisa dipungkiri, kaitan antara ekonomi digital dan ekonomi kreatif sangat erat. “Sehingga kenaikan ekonomi digital akan mengerek ekonomi kreatif juga,” jelas Nailul.
Kemudian sub sektor fashion dalam negeri menghadapi soalan persaingan. “Persaingan dengan produk impor yang nilainya sangat besar sekali, terutama di era digital. Banyak dari pemain fashion yang mengeluhkan persaingan dengan produk impor. Padahal industri fashion tengah naik. Ini juga perlu dukungan dari pemerintah,” tegas Nailul.
Dari semua itu, Nailul menilai, sub sektor makanan dan minuman yang free entry, free exit, bisa jadi andalan. Free entry dan free exit artinya, ada kebebasan penjual untuk membuka atau menghentikan usaha mereka di dalam pasar.
“Masuk ke bisnis FnB sangat gampang namun jika tidak mempunyai kualitas dan harga bersaing ya gampang exit juga. Tapi sektor ini mampu didorong terutama konsumsi masyarakat kita juga besar ditambah konsumsi leisure seperti beli makan di restoran atau cafe, meningkat,” tutur Nailul.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah patutnya memikirkan masalah mendasar dalam industri kreatif. Perlu diatasi lebih dahulu masalah yang selama ini menghambat perkembangan industri kreatif.
"Sebenarnya pemerintah atau pemerintah yang baru nantinya perlu balik kepada masalah-masalah dasar yang menghambat perkembangan ekonomi kreatif di dalam negeri," ujarnya.
Yusuf menyebut salah satu masalah mendasar adalah persaingan antara produk industri kreatif anak bangsa dengan produk dari luar negeri . "Seperti misalnya masalah persaingan dengan komponen atau produksi ekonomi kreatif di luar negeri," tambahnya.
Pemerintah juga patut memperhatikan gempuran budaya asing ke Indonesia. Selain itu, problem mendasar lain adalah apresiasi terhadap pelaku industri kreatif yang masih minim hingga akses pada pembiayaan. "Masuknya budaya asing kemudian juga masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi ekonomi kreatif. Masalah akses pasar dan pembiayaan hingga masalah adaptasi teknologi dan kelangkaan bahan baku," tegasnya.
Yusuf menilai pemerintah baru hasil Pilpres 2024 diharapkan mampu mengatasi masalah mendasar tersebut alih-alih memisahkan lembaga Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Tidak bisa dipungkiri, kaitan antara ekonomi digital dan ekonomi kreatif sangat erat. “Sehingga kenaikan ekonomi digital akan mengerek ekonomi kreatif juga,” jelas Nailul.
Kemudian sub sektor fashion dalam negeri menghadapi soalan persaingan. “Persaingan dengan produk impor yang nilainya sangat besar sekali, terutama di era digital. Banyak dari pemain fashion yang mengeluhkan persaingan dengan produk impor. Padahal industri fashion tengah naik. Ini juga perlu dukungan dari pemerintah,” tegas Nailul.
Dari semua itu, Nailul menilai, sub sektor makanan dan minuman yang free entry, free exit, bisa jadi andalan. Free entry dan free exit artinya, ada kebebasan penjual untuk membuka atau menghentikan usaha mereka di dalam pasar.
“Masuk ke bisnis FnB sangat gampang namun jika tidak mempunyai kualitas dan harga bersaing ya gampang exit juga. Tapi sektor ini mampu didorong terutama konsumsi masyarakat kita juga besar ditambah konsumsi leisure seperti beli makan di restoran atau cafe, meningkat,” tutur Nailul.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah patutnya memikirkan masalah mendasar dalam industri kreatif. Perlu diatasi lebih dahulu masalah yang selama ini menghambat perkembangan industri kreatif.
"Sebenarnya pemerintah atau pemerintah yang baru nantinya perlu balik kepada masalah-masalah dasar yang menghambat perkembangan ekonomi kreatif di dalam negeri," ujarnya.
Yusuf menyebut salah satu masalah mendasar adalah persaingan antara produk industri kreatif anak bangsa dengan produk dari luar negeri . "Seperti misalnya masalah persaingan dengan komponen atau produksi ekonomi kreatif di luar negeri," tambahnya.
Pemerintah juga patut memperhatikan gempuran budaya asing ke Indonesia. Selain itu, problem mendasar lain adalah apresiasi terhadap pelaku industri kreatif yang masih minim hingga akses pada pembiayaan. "Masuknya budaya asing kemudian juga masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi ekonomi kreatif. Masalah akses pasar dan pembiayaan hingga masalah adaptasi teknologi dan kelangkaan bahan baku," tegasnya.
Yusuf menilai pemerintah baru hasil Pilpres 2024 diharapkan mampu mengatasi masalah mendasar tersebut alih-alih memisahkan lembaga Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
tulis komentar anda