100 Tahun Runtuhnya Turki Utsmani, Pakar UGM Urai Narasi Kebangkitan Khilafah
Jum'at, 12 Januari 2024 - 08:49 WIB
JAKARTA - Narasi kebangkitan khilafah menghiasi media sosial bersamaan dengan peringatan 100 tahun runtuhnya khilafah Utsmaniyah di Turki. Menggunakan tajuk kebangkitan khilafah, optimisme yang dibangun oleh para pendukung khilafah tampak semu dan inkomprehensif.
Pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Mohammad Iqbal Ahnaf mencoba mengurai narasi yang kembali mencuat mengenai kemungkinan kembalinya khilafah setelah 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. Sejak 1924, ketika khilafah Utsmaniyah runtuh, pada tahun ini beberapa kalangan mengklaim bahwa kembalinya khilafah akan menjadi kenyataan.
"Sejauh ini, klaim-klaim kebangkitan khilafah tidak pernah merujuk pada satu bentuk atau model yang pasti. Apakah yang bangkit nanti akan seperti khilafah di zaman Dinasti Utsmaniyah, atau seperti apa?" kata Iqbal Ahnaf dalam keterangannya dikutip, Jumat (12/1/2024).
Ia menjelaskan, klaim 100 tahun sebagai panduan waktu kembalinya khilafah harus dihadapi dengan kehati-hatian. Dalam Islam, perkara mengenai masa depan, termasuk tanda-tanda hari kiamat dan kemungkinan kembalinya khilafah, adalah rahasia Allah. Klaim yang spesifik terkait waktu, apalagi dengan percaya dirinya menyebutkan angka 100 tahun, menurut Iqbal, seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dari segi empiris, Iqbal mengungkapkan, perjuangan kelompok Hizbut Tahrir untuk menegakkan Islam dan khilafah sampai saat ini tidak menunjukkan indikasi keberhasilan. Meskipun terdapat upaya kudeta di beberapa negara, hasilnya tidak sesuai dengan harapan kelompok tersebut.
Selain itu, keterlibatan masyarakat di Indonesia menunjukkan bahwa basis dukungan terhadap model khilafah sebagai bentuk pemerintahan tidak menunjukkan peningkatan signifikan.
"Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan sebagai semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya jelas menggiurkan bagi beberapa masyarakat," katanya.
Menurutnya, ada dua jenis tawaran yang dibawa oleh pengusung khilafah. Pertama, adanya tawaran berupa ide atau gagasan khilafah itu sendiri. Kedua, adanya support system, baik moral ataupun material, terhadap mereka yang termarjinalkan.
Pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Mohammad Iqbal Ahnaf mencoba mengurai narasi yang kembali mencuat mengenai kemungkinan kembalinya khilafah setelah 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. Sejak 1924, ketika khilafah Utsmaniyah runtuh, pada tahun ini beberapa kalangan mengklaim bahwa kembalinya khilafah akan menjadi kenyataan.
"Sejauh ini, klaim-klaim kebangkitan khilafah tidak pernah merujuk pada satu bentuk atau model yang pasti. Apakah yang bangkit nanti akan seperti khilafah di zaman Dinasti Utsmaniyah, atau seperti apa?" kata Iqbal Ahnaf dalam keterangannya dikutip, Jumat (12/1/2024).
Ia menjelaskan, klaim 100 tahun sebagai panduan waktu kembalinya khilafah harus dihadapi dengan kehati-hatian. Dalam Islam, perkara mengenai masa depan, termasuk tanda-tanda hari kiamat dan kemungkinan kembalinya khilafah, adalah rahasia Allah. Klaim yang spesifik terkait waktu, apalagi dengan percaya dirinya menyebutkan angka 100 tahun, menurut Iqbal, seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dari segi empiris, Iqbal mengungkapkan, perjuangan kelompok Hizbut Tahrir untuk menegakkan Islam dan khilafah sampai saat ini tidak menunjukkan indikasi keberhasilan. Meskipun terdapat upaya kudeta di beberapa negara, hasilnya tidak sesuai dengan harapan kelompok tersebut.
Selain itu, keterlibatan masyarakat di Indonesia menunjukkan bahwa basis dukungan terhadap model khilafah sebagai bentuk pemerintahan tidak menunjukkan peningkatan signifikan.
"Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan sebagai semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya jelas menggiurkan bagi beberapa masyarakat," katanya.
Menurutnya, ada dua jenis tawaran yang dibawa oleh pengusung khilafah. Pertama, adanya tawaran berupa ide atau gagasan khilafah itu sendiri. Kedua, adanya support system, baik moral ataupun material, terhadap mereka yang termarjinalkan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda