Perjuangkan Kepentingan Indonesia di Kancah Global, Menlu Terapkan Diplomasi Ekonomi

Sabtu, 06 Januari 2024 - 16:30 WIB
“CPO memang tekanannya besar. Kita harus konsisten memperjuangkan CPO, terutama pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang tidak ramah lingkungan. Sebagian bisa jadi benar, tapi ada juga motif tersembunyi dari negara yang menolak CPO. Begitu pula dengan nikel, yang justru penolakan datang dari negara yang tidak mengimpor nikel mentah kita, yaitu Uni Eropa,” katanya, Sabtu (6/1/2024).

Faisal menyebut, langkah pemerintah sudah bagus hanya saja ada yang perlu diperkuat, utamanya terkait trade diplomacy, untuk melawan segala tuduhan yang tidak benar.

"Kalau ada tuduhan yang benar, ya kita perbaiki. Supaya dalam berargumen di arbitrase kita bisa mempertahankan kepentingan kita dari negara yang merasa kebijakan Indonesia bertentangan dengan WTO,” ucapnya.

Peraih gelar doktor ekonomi dari Universitas Queensland itu meyakini, ada kepentingan memperjuangkan produk substitusi CPO dari negara-negara yang menentang kebijakan ekspor Indonesia.

“Motif tersembunyi dari argumen sawit yang tidak ramah lingkungan misalnya menjaga produk substitusi, seperti Eropa mereka punya minyak bunga matahari, minyak kacang kedelai,” ungkap Faisal.

Lebih dari itu, ada juga upaya negara-negara maju untuk mencegah Indonesia naik kelas, dengan menolak kebijakan ekspor manufaktur yang bisa memberikan nilai tambah lebih dibanding sekadar ekspor komoditas.

Faisal mencontohkan persaingan dagang antara Amerika Serikat dengan China beberapa tahun lalu. China mulai dilihat sebagai ancaman karena penetrasi industri teknologinya semakin masif. Amerika Serikat pun membebankan pajak kepada barang-barang China yang dianggap bisa mengganggu pasarnya.

“China ingin naik kelas dengan tidak lagi ekspor barang bernilai tambah rendah. Tapi, pada produk teknologi 5G, Amerika mencoba untuk menjaga dominasinya dengan menerapkan tarif. Jadi itu hal yang umum terjadi, ketika negara memanfaatkan platform internasional untuk mencegah negara lain naik kelas. Ironinya, itu justru dicontohkan oleh negara yang menyuarakan perdagangan bebas,” beber dia.

Untuk larangan ekspor bijih nikel, Faisal melihat Indonesia sedikit mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi. Namun, kini hilirisasi telah menjadi salah satu faktor penting yang membuat neraca perdagangan Indonesia terus surplus.

“Memang di awal 2020 ekspor sempat menurun karena larangan ekspor bijih nikel. Tidak lama, logam dasar kita naik. Artinya, kerugiannya hanya jangka pendek, karena hasil dari hilirisasi sudah mulai terasa tanpa menunggu beberapa tahun lagi,” ungkap alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More