Pertemuan AHY-Puan Jangan Dirusak dengan Narasi Dendam Politik Masa Lalu

Sabtu, 08 Agustus 2020 - 08:35 WIB
Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengunjungi Ketua DPR Puan Maharani di ruang kerjanya di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Kamis (6/8/2020). Foto/SINDOnews/kiswondari
JAKARTA - Setelah pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua DPR yang juga Ketua DPP PDIP, Puan Maharan i di gedung DPR, Senayan, Kamis (6/8/2020), muncul gejala adanya pihak-pihak yang tidak suka jika PDIP dan Partai Demokrat membangun komunikasi politik yang konstruktif.

Sejumlah perdebatan yang melibatkan masing-masing kelompok pendukung seketika bermunculan, utamanya terkait narasi membanding-bandingkan prestasi ekonomi antara era Presiden SBY dan Presiden Jokowi sebagai respons atas jatuhnya pertumbuhan ekonomi nasional hingga -5,32% atau terendah sejak krisis moneter 1997/1998. (Baca juga: Menakar Peluang Puan dan AHY di 2024, Pengamat: Mentok Jadi Cawapres)

Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam mengatakan pertemuan Puan dan AHY merupakan langkah positif yang harus diapresiasi di tengah krisis pandemi ini. “Saat situasi krisis, para pemimpin politik harus mengedepankan persatuan dan kebersamaan. Ada extra-ordinary situation. Komunikasi politik AHY dan Puan diharapkan akan mempercepat langkah-langkah taktis maupun strategi penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi negara,” ujar Umam kepada SINDOnews , Jumat (7/8/2020).



Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina itu melanjutkan dukungan politik AHY sebagai pimpinan partai penyeimbang ini sangat penting untuk percepatan langkah-langkah pemerintah. Kekuatan politik AHY dapat mendorong percepatan itu lewat pengawasan ekstra-ketat terhadap pembelanjaan alokasi anggaran penanganan pandemi yang mencapai Rp900-an triliun.

Sebelumnya, Presiden Jokowi marah-marah karena rasio tes virus yang lambat, langkah contact tracing yang kurang optimal, hingga pendistribusian bantuan sosial dan stimulus penyelamatan ekonomi yang sangat terlambat.

“Jika di kuartal I dan II semua langkah fundamental itu terlambat dilakukan sampai berdampak pada anjloknya ekonomi negara, maka pembelanjaan Rp900-an triliun dalam 5 bulan terakhir tahun 2020 ini akan membuka ruang penyalahgunaan hingga praktik megakorupsi yang masif dan berskala besar,” papar Doktor Ilmu Politik dari School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia itu. (Baca juga: Presiden Lagi-lagi Marahi Menteri, Effendi Simbolon: Dari Awal Bukan The Dream Team)

Karena itu, lanjut Umam, komunikasi politik itu hendaknya tidak dirusak oleh narasi yang membentur-benturkan dan mengeksploitasi dendam serta kebencian politik masa lalu. “Jangan terpancing mereka yang lagi-lagi mengeksploitasi dendam dan kebencian. Di tengah krisis, semua pihak harus menjaga kondusivitas politik nasional. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi di kuartal II kembali negatif, hingga terjadi resesi atau bahkan depresi di kuartal ke-IV," pungkas Umam.
(kri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More